Penyalin Cahaya: Seni Membungkam Suara Penyintas Kekerasan Seksual

752
Cover Poster Film Penyalin Cahaya (Foto: Rekata Studio)

Judul Film: Penyalin Cahaya

 Sutradara: Wregas Bhanuteja

 Perusahaan Produksi: Rekata Studio; Kaninga Pictures

 Tanggal Rilis Awal: 8 Oktober 2021

Antara membaur di keramaian teman-teman teater atau menyendiri dengan bising suara mesin fotokopi, Sur memilih opsi yang kedua demi terungkapnya pelaku pada malam itu. Itulah adegan dalam film dengan judul “Penyalin Cahaya” yang masih menjadi perbincangan hangat. Mulai dari prestasinya membawa pulang 12 Piala Festival Film Indonesia (FFI), hingga skandal kru yang tersangkut kasus pelecehan seksual. Namun, yang paling disorot oleh masyarakat adalah bagaimana “Penyalin Cahaya” menggambarkan realitas di mana penyintas kekerasan seksual ‘kalah’ secara gamblang karena mengakarnya relasi kuasa dan budaya patriarki di Indonesia.

“Penyalin Cahaya” merupakan film panjang perdana dari Wregas Bhanuteja, yang sebelumnya terkenal melalui deretan film pendeknya, seperti “Lemantun”, “Prenjak”, dan “Tak Ada yang Gila di Kota Ini”. Menempatkan Shenina Syawalita Cinnamon sebagai pemeran utamanya, film ini berkisah tentang Sur, salah satu anggota baru dalam klub Teater Mata Hari. Euforia kemenangan Teater Mata Hari dan pesta malam setelahnya menjerumuskan dirinya terjebak dalam satu kasus yang membuat beasiswa kuliahnya dicabut dan berusaha untuk mengungkap kebenarannya bersama Amin, sahabat kecilnya yang bekerja sebagai tukang fotokopi di kampusnya.

Sepanjang lebih dari dua jam, penonton diajak memahami Sur melalui dinamika kehidupannya sejak malam itu. Dalam situasi yang intens, penonton dapat dengan mudah menebak bahwa Sur sedang berada di titik terendahnya. Mulai dari proses Sur yang berusaha mencari kebenaran tentang fotonya yang tersebar. Kemudian, ia meretas ponsel para anggota teater, mencari celah bukti, dan petunjuk atas kejadian malam itu. Tak disangka, fakta-fakta baru pun bermunculan. Sur pun menyadari bahwa dirinya, kedua temannya (Tariq dan Farah), menjadi korban pelecehan seksual.

Ranah Kekerasan Seksual dan Realitas Korbannya

Belum ada penjelasan umum yang dipakai untuk mendefinisikan kekerasan seksual, tapi WHO dalam World Report on Violence and Health 2002, mendefinisikan kekerasan seksual sebagai “any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances, or acts to traffic, or otherwise directed, against a person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work.” Dari definisi kekerasan seksual yang dijabarkan oleh WHO ini tidak terbatas pada tindak pemerkosaan, melainkan bisa juga dalam bentuk pemaksaan tanpa konsen (Hairi, 2015).

Di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001- 2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4,336 kasus kekerasan seksual, di mana 2,920 kasus diantaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan (1620 kasus). Sedangkan pada tahun 2013, kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual. Usia korban yang ditemukan antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun (komnasperempuan.go.id).

“Penyalin Cahaya” mengambil latar kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus dengan kenyataan bahwa Sur, sebagai korban, dibungkam oleh pihak kampus karena status dan kondisi finansial Rama, sang pelaku, yang lebih baik membuatnya terjamin ‘aman’. Hal ini divisualisasikan secara satir oleh Wregas Bhanuteja dalam kasus Sur yang dipaksa kalah demi kepentingan banyak pihak. Nyatanya, memang demikian. Komnas Perempuan menyebutkan banyak kasus kekerasan seksual di kampus tidak dilaporkan oleh korban. Entah itu karena diancam oleh pihak kampus karena alasan nama baik kampus yang bisa tercoreng atau korban takut melapor (nasional.tempo.co, 31/10/2021).

Ini menandakan adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban kekerasan seksual. Relasi kuasa dalam kekerasan seksual merupakan unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban. Dalam artian lebih sederhana, relasi kuasa mencakup “penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, ketergantungan seseorang” (hukumonline.com, 19/8/2019). Dalam film “Penyalin Cahaya” misalnya, status sosial Rama jelas lebih tinggi daripada Sur dan korban lainnya. Dengan begitu, Rama bisa menyewa pengacara dan menuntut balik Sur. Kondisi ini membuat keluarga Suryani takut dan memilih menyelesaikan kasus secara kekeluargaan. Sur pun diminta membuat video permintaan maaf pada Rama. Ini juga jadi salah satu bukti adanya ketimpangan relasi kuasa dan ketidakberpihakan kepada korban kekerasan seksual.

Tidak Selalu Berbasis Fisik dan Tidak Selalu Perempuan

 Bukan pemerkosaan. “Penyalin Cahaya” tidak menampilkan kasus pemerkosaan sebagai kasus kekerasan seksual yang dipermasalahkan. Antagonis dalam film ini, Rama, tidak bermaksud cabul saat menelanjangi dan memotret tubuh korban-korbannya. “Tubuh kau itu hanya jadi inspirasi untuk instalasi teater, toh teater kita juga menang kan karena saya”, begitu menurut Rama ketika ditanyakan maksud dari bukti-bukti yang dikumpulkan Sur.

Apakah tindakan Rama di atas berarti membenarkan justifikasinya dan bukan termasuk kekerasan seksual? Salah! Yang harus diperhatikan dalam setiap kasus kekerasan seksual adalah konsen. Individu mempunyai hak atas tubuhnya sendiri, berhak menentukan batasan boleh atau tidaknya ketika seseorang menyentuh bagian tubuhnya. Dalam kasus Sur, tubuh Sur digunakan tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan dari Sur. Apapun tindakannya kepada tubuh korban, apabila itu tidak mendapat konsen persetujuan atau dari paksaan, kasus itu tetap termasuk kekerasan seksual.

Selain itu, yang menarik bagi saya adalah bagaimana “Penyalin Cahaya” juga menyiratkan isu kekerasan seksual yang terjadi pada laki-laki. Alur pada penghujung film yang menunjukkan bahwa bukan hanya Sur satu-satunya korban Rama, melainkan ada juga Thariq dan Farah, mencitrakan korban laki-laki pada isu kekerasan seksual.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku adalah laki-laki. Namun, fakta tersebut tidak dapat menafikkan bahwa kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki, khususnya anak laki-laki. Kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID pada tahun 2020, ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual, khususnya dalam bentuk pelecehan seksual (ijrs.or.id/28/09/2021).

Selama ini toxic masculinity membuat kita meyakini bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan adalah hal yang tidak masuk akal. Laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seksual sehingga mereka tidak bisa diperkosa. Laki-laki harus cukup kuat untuk bisa melawan—sehingga mereka seharusnya dapat melawan dan kejahatan perkosaan hampir tidak mungkin terjadi. Mitos tersebut berkontribusi pada budaya di mana pemerkosaan terhadap laki-laki seringkali diabaikan dan tidak dilaporkan.  Belum lagi, adanya asumsi masyarakat yang menggeneralisir korban perkosaan sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual. Acapkali korban dikaitkan dengan ‘praktik homoseksualitas’ yang dianggap tabu dan tidak “normal”.

Akhir kata, “Penyalin Cahaya” berhasil menyadarkan kita dengan berbagai realitas kekerasan seksual di sekitar kita. Satu hal penting yang patut dipelajari dari film ini adalah untuk selalu berpihak pada korban dan mengayomi korban. Dalam Penyalin Cahaya”, Suryani tidak mendapatkan itu dari sang ayah. Sikap ayah Sur ini jadi salah satu contoh mengapa kekerasan seksual di Indonesia sulit teratasi, karena kebanyakan dari kita mungkin masih sering menyalahkan korban, bukan membela atau berpihak pada korban.

Bagaimanapun juga, korban dari kekerasan seksual juga manusia yang dilanggar hak asasinya. Maka dari itu, penting untuk menyediakan ruang aman bagi korban bercerita dan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya ke pihak-pihak yang terkait. Dan, penting untuk memastikan hukum dan segala perangkatnya menjamin dan memberikan perlindungan untuk itu, termasuk pemulihan korban.

Referensi

 Jurnal

Hairi, P. (2015). Problem Kekerasan Seksual: Menelaah Arah Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangannya. Vol. 6, No. 1, Juni 2015. Diakses pada 24 Januari 2022, pukul 16.00 WIB.

 Artikel

https://www.hukumonline.com/berita/a/menyelami-frasa-relasi-kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh–riki-perdana-raya-waruwu-lt5d59f78ee5f04?page=3 Diakses pada 25 Januari 2022, pukul 16.00 WIB.

 http://ijrs.or.id/kekerasan-seksual-pada-laki-laki-diabaikan-dan-belum-ditangani-serius/ Diakses pada 25 Januari 2022, pukul 16.30 WIB.

https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan Diakses pada 25 Januari 2022, pukul 15.27 WIB.

https://nasional.tempo.co/read/1523102/komnas-perempuan-sebut-banyak-kekerasan-seksual-di-kampus-tak-dilaporkan Diakses pada 25 Januari 2022, pukul 15.50 WIB.