Pentingnya Perlindungan Netizen dan Jurnalisme Warga Dari Kriminalisasi

    151
    Sumber gambar: https://www.libertarianism.org/essays/libertarian-vision-for-digital-expression

    Tak ada yang memungkiri bahwa evolusi jurnalisme dan pers kita sudah amat berkembang. Jurnalisme yang awalnya identik dengan surat kabar kini mulai bergeser setelah era digital muncul di akhir abad ke-20. Ekspansi digital yang merambah ke berbagai lini tak terkecuali juga merambah ke dunia pers.

    Munculnya media online dan koran digital, menyeruk mendorong surat kabar cetak ke tepi jurang kepunahan. Begitu juga dengan munculnya media sosial. Media sosial kini bukan lagi sebagai alat untuk komunikasi atau sharing kegiatan harian seperti tahun 2010an lalu, tetapi juga sebagai sarana berbagi berita antar sesama.

    Dulu kita mendapatkan informasi dari koran atau mulut ke mulut. Sekarang semua informasi bisa didapat dan disebarkan lewat aplikasi seluler, karena informasi-informasi yang disebarkan oleh warganet itu pula proses hukum, penggalangan dana sosial, ekonomi dan politik jadi lebih mudah dan transparan.

    Beberapa contoh kasus hukum yang mendapat perhatian dari warganet adalah kasus Ferdy Sambo. Banyak warganet awam atau pengamat profesional menyampaikan kejanggalannya pada kasus pembunuhan Brigadir Yosua.

    Keriuhan inilah yang mendorong transparansi hukum. Begitu juga cepatnya informasi soal gempa dahsyat Cianjur berkat partisipasi warganet yang membuat batuan logistik, serta obat-obatan bisa sampai hari itu juga.

    Dua hal di atas menjadi contoh bahwa warganet bukan sekedar penonton yang pasif, tapi mereka juga sebagai “pewarta” informasi meski bukan berprofesi sebagai wartawan. Ini yang membuat istilah citizen journalism atau jurnalisme warga mulai terkenal kemuka.  Kini masyarakat bukan sebagai penerima informasi, tetapi bisa sebagai pemberi informasi juga kepada banyak orang.

    Dengan demikian, keterangan serta video amatir oleh warga bisa sebagai sumber acuan bagi suatu berita. Namun, partisipasi warga yang besar dalam menyebarkan informasi ini juga menimbulkan berbagai masalah, terutama masalah yang menyangkut hak kebebasan sipil mereka.

    Jurnalisme Warga Tak Dilindungi Payung Hukum

     Dalam UU Pers, para wartawan yang menyebarkan informasi ke khalayak ramai mendapat jaminan hukum dan impunitas selama kerja profesional merek berlandaskan kode etik dan fakta. Setiap hasil tulisan, video, artikel analitis yang ditulis para wartawan dijamin secara hukum, sehingga pers bisa bebas dalam menunaikan tugasnya.

    Hal ini berbeda jauh dengan warganet dan content writer. Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Bangun dalam paparannya di Seminar Kemenkumham, 4 Februari 2021, dalam rangka Hari Pers Nasional, ia mengatakan bahwa media sosial bukan produk jurnalistik sehingga informasinya rawan terkena UU ITE (Tegas.co, 04/02/2021).

    Di situs Hukumonline.com pun disebutkan bahwa warganet masih bisa dikenakan UU ITE salah satunya jika mereka menyebarkan hal yang membuat kerusuhan dan kebencian (Hukumonline.com, 11/05/2022). Dengan kata lain, warganet yang ‘terjebak’ UU ITE, maka dia tak dilindungi oleh UU Pers dan tak mendapat pendampingan hukum dari Dewan Pers atau LBH Pers.

    Dengan kata lain, informasi yang disebarkan oleh warganet sebenarnya bukan produk jurnalistik dan bisa saja diperkarakan jika ada pihak-pihak yang ingin membawanya ke ranah hukum. Dan tentu saja, ini sangat berbahaya bagi kebebasan sipil dan warganet itu sendiri karena informasi yang mereka sebar (meski sesuai fakta) bisa saja dikriminalisasi.

    ***

    Beberapa waktu lalu saya membaca berita bahwa seorang anggota DPRD di sebuah daerah bernafsu untuk memenjarakan orang yang menyebarkan video anaknya. Hal ini bermula ketika pelaku pergi ke sebuah pesta, ia memarkirkan mobilnya di bagian depan toko, sehingga akses pelanggan tertutup mobil. Seorang tukang parkir sudah meminta agar pelaku tidak memarkirkan mobilnya di toko tersebut. Hal ini membuat pelaku kesal dan menganiaya tukang parkir tersebut (Detik.com, 03/02/2023).

    Penganiayaan ini terekam oleh kamera CCTV dan seseorang yang iba terhadap si tukang parkir menyebarkan video itu ke media sosial. Sikap arogan pelaku yang notabene adalah anak DPRD membuat warganet geram. Berbagai media berita mengekspos kejadian keji itu dan menggerakkan aparat penegak hukum untuk menahan pelaku. Pelaku yang telah resmi menyandang status sebagai tersangka membuat sang ayah gusar dan berusaha untuk memenjarakan si penyebar video anaknya itu (Detik.com, 03/02/2023).

    Peristiwa di atas adalah salah satu contoh betapa rentannya warganet dikriminalisasi. Jurnalisme warga yang baru tumbuh di Indonesia dan sangat membantu proses demokratisasi bisa jadi dikebiri karena tak dilindungi oleh hukum. Ini yang menurut penulis harus dipertimbangkan. Pers atau press dalam bahasa Inggris, bermakna tulisan yang dicetak. Maknanya karya pers sebenarnya memiliki makna apa yang ditulis dan dicetak oleh warga.

    Jadi ,sudah seharusnya UU pers kita bukan hanya melindungi wartawan profesional, tetapi juga penulis lepas, kolumnis, content writer dan warganet yang memberi informasi. Kebebasan berekspresi sangat penting untuk dilindungi pada masa digital ini. Warganet sudah menjadi salah satu pihak yang dapat memberikan informasi.

    Karena itu, penulis berharap UU Pers dimodernkan dan diperbaiki, dengan tujuan melindungi para penulis online dan warganet. Dengan begitu, kebebasan akan terjaga dan kualitas demokrasi kita akan semakin membaik.

     

    Referensi

    http://jakarta.tegas.co/2021/05/19/fenomena-baru-dunia-digital-di-mata-uu-pers-dan-kode-etik-jurnalistik/. Diakses pada 28 Februari 2023, pukul 02.50 WIB.

    https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6549892/legislator-wajo-akan-polisikan-penyebar-cctv-anaknya-tendang-pukul-jukir/amp. Diakses pada 28 Februari 2023, pukul 02.57 WIB.

    https://www.hukumonline.com/berita/a/batasan-dan-aturan-konten-kreator-dalam-mengunggah-konten-digital-lt627b67fc16ccb?page=all. Diakses pada 28 Februari 2023, pukul 02.55 WIB.