Beberapa waktu lalu, perusahaan wahana antariksa milik miliarder asal Britania Raya, Sir Richard Branson, Virgin Galactic, berhasil meluncurkan pesawat berawak pertama mereka ke wilayah sub-orbit Bumi. Wahana tersebut membawa Branson sebagai salah satu penumpangnya, beserta lima orang kru lainnya (space.com, 14/7/2021).
Branson dalam hal ini berhasil mendahului salah satu saingan terbesarnya, yakni pemilik perusahaan e-commerce Amazon, Jeff Bezos, yang juga memiliki perusahaan wahana antariksa bernama Blue Origin. Bezos sendiri berencana untuk meluncurkan wahana berawaknya dalam waktu beberapa hari ke depan (space.com, 17/4/2021).
Virgin Galactic milik Richard Branson, Blue Origin milik Jeff Bezos, bersama dengan SpaceX milik Elon Musk, saat ini dianggap merupakan tiga perusahaan terdepan dalam mengembangkan wahana antariksa. Ketiganya telah mengembangkan wahana agar luar angkasa tidak hanya bisa diraih oleh para astronot profesional, namun juga oleh masyarakat umum.
Namun, tidak semua orang setuju dengan munculnya fenomena komersialisasi dan privatisasi tersebut. Astronot dan sekaligus manusia pertama yang pernah menjejakkan kakinya di Bulan, Neil Armstrong, misalnya, menentang keras upaya yang dianggapnya merupakan bentuk komersialisasi dan privatisasi penerbangan luar angkasa (space.com, 16/3/2012).
Lantas, apakah pandangan Armstrong tersebut merupakan sesuatu yang tepat?
*****
Luar angkasa memang merupakan tempat yang menjadi misteri sekaligus mengagumkan bagi umat manusia selama ribuan tahun. Selama berabad-abad, tidak sedikit manusia yang memiliki impian untuk menggapai wilayah luar planet Bumi yang telah menjadi rumah kita selama ratusan ribu tahun. Namun, di masa lalu, kita memiliki keterbatasan pemahaman dan teknologi tentang bagaimana cara menggapai tempat gelap tersebut.
Pada 12 April 1961, 20 tahun yang lalu, akhirnya untuk pertama kalinya, spesies manusia bisa menggapai luar angkasa. Kosmonot asal Uni Soviet, Yuri Gagarin, menjadi manusia pertama yang berhasil terbang hingga ke orbit bumi. Untuk pertama kalinya, akhirnya ada manusia yang bisa pergi keluar planet yang menjadi rumah kita (cnn.com, 12/4/2021).
Delapan tahun kemudian, pada 20 Juli 1969, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita berhasil mengirim manusia untuk menjejakkan kaki di benda langit lain selain Bumi. Di tanggal tersebut, dua astronot asal Amerika Serikat, Neil Armstrong dan Buzz Aldrin yang mengendarai wahana Apollo 11, mendarat dan menjejakkan kaki mereka di Bulan. Bersama dengan kru Apollo 11 lainnya, Michael Collins, ketiga astronot tersebut juga berhasil kembali ke bumi dengan selamat (mesquite-news.com, 17/7/2021).
Hingga hari ini, hanya ada 12 orang yang pernah menjejakkan kaki di Bulan. Penerbangan terakhir ke Bulan terakhir berlangsung pada tahun 1972 (nbcnews.com, 20/7/2019). Hal ini mendorong berbagai perusahaan berlomba-lomba untuk membuat wahana ruang angkasa, yang tidak hanya dapat mencapai Bulan, namun juga planet lain seperti Mars.
Program Apollo sendiri yang bertujuan untuk membawa manusia ke Bulan, yang diluncurkan oleh Pemerintah Amerika Serikat, menelan biaya yang tidak sedikit. Bila dihitung berdasarkan inflasi, Program Apollo telah menelan biaya sebesar USD288 miliar dari tahun 1960 – 1973 (cbsnews.com, 16/7/2019).
Selain itu, hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah, Program Apollo yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik internasional pada masa itu. Dunia pada saat itu sedang mengalami Perang Dingin antara Blok Komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet, dan Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Program Apollo merupakan bagian dari perlombaan antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, di mana Amerika Serikat berupaya menunjukkan superioritas teknologi mereka dibandingkan dengan Uni Soviet (space.com, 8/8/2019).
Di sinilah salah satu bahaya dan kelemahan besar bila program antariksa hanya bersandar pada pemerintah belaka. Program tersebut akan sangat terkait dengan politisasi, dan bila sudah tidak sesuai dengan keinginan para pemimpin politik, atau ketika kondisi politik sudah berubah, program tersebut menjadi semakin melambat perkembangannya. Hal ini bisa dilihat misalnya melalui fenomena penghentian pengiriman manusia ke Bulan pada tahun 1972.
Selain itu, tingginya biaya program antariksa yang dikelola oleh pemerintah juga merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Hal ini membuat semakin sulit bagi masyarakat umum untuk dapat turut serta menjadi bagian dari petualang angkasa. Untuk itu, peran pihak swasta merupakan hal yang sangat penting.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa, pada dekade lalu, terdapat barrier to-entry yang sangat besar bagi swasta untuk terlibat dalam bidang penerbangan antariksa, mulai dari keterbatasan dana hingga teknologi. Namun, pada hari ini, barrier tersebut semakin kecil yang membuka semakin banyak pihak swasta untuk terlibat.
Bila program antariksa tidak dimonopoli oleh pemerintah dan juga dibuka untuk pihak swasta, baik untuk kebutuhan riset maupun komersialisasi, tentu hal tersebut akan mendorong inovasi dan kompetisi. Hal ini berpotensi besar akan menurunkan biaya dan membuka peluang lebih besar ke lebih banyak orang untuk terlibat dalam perjalanan ke luar angkasa.
Perusahaan milik Elon Musk, SpaceX, misalnya, sudah berhasil merancang roket yang bisa dipakai berkali-kali untuk perjalanan antariksa. Salah satu penyebab perjalanan antariksa membutuhkan biaya yang sangat besar adalah, di masa lalu, roket antariksa hanya bisa diterbangkan satu kali, dan setelah itu tidak bisa digunakan kembali. Hal ini bisa dibayangkan betapa mahalnya perjalanan udara bila sebuah pesawat hanya bisa digunakan satu kali untuk setiap perjalanan. Adanya roket yang bisa digunakan berkali-kali untuk perjalanan antariksa tentu akan semakin membuat perjalanan ke luar angkasa dapat lebih murah dan bisa dijangkau oleh lebih banyak orang (NYTimes, 30/3/2017).
Sebagai penutup, semakin terlibatnya pihak swasta dalam program dan penerbangan antariksa merupakan hal yang sangat positif dan harus kita dorong. Dengan semakin meningkatnya kompetisi dan inovasi, niscaya kita dapat menggapai batas-batas langit baru yang sebelumnya belum pernah kita capai.
Referensi
https://www.cbsnews.com/news/apollo-11-moon-landing-how-much-did-it-cost/ Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 17.55 WIB.
https://edition.cnn.com/2021/04/12/world/space-race-yuri-gagarin-scn/index.html Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 16.50 WIB.
https://mesquite-news.com/national-moon-day-commemorates-1969-lunar-landing/ Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 17.15 WIB.
https://www.nbcnews.com/slideshow/12-men-who-walked-moon-n707951 Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 17.35 WIB.
https://www.nytimes.com/2017/03/30/science/space-x-reuseable-rockets-launch.html Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 19.10 WIB.
https://www.space.com/blue-origin-jeff-bezos-new-shepard-first-crewed-launch-explained Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 15.35 WIB.
https://www.space.com/space-race.html Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 18.20 WIB.
https://www.space.com/virgin-galactic-richard-branson-first-spaceflight-photos Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 15.10 WIB.
https://www.space.com/14936-spacex-ceo-elon-musk-60-minutes-interview.html Diakses pada 18 Juli 2021, pukul 16.05 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.