Adanya peringatan Hari Kartini pada bulan April membuat bulan ini menjadi bulan yang spesial bagi perempuan Indonesia. Bisa dikatakan, bulan April merupakan bulan untuk perempuan.
Tentu saja, Hari Kartini bukan hanya sekedar perayaan festival seperti yang dilakukan saat bersekolah dahulu, seperti memakai pakaian adat, memasak makanan tradisional, mengadakan berbagai acara kebudayaan, yang sebenarnya sama sekali tidak relevan dengan semangat Hari Kartini. Bagi saya, Hari Kartini adalah momen refleksi bagi bangsa ini. Sudah sejauh manakah perempuan mendapatkan hak yang setara sebagaimana mestinya?
Selain itu, Hari Kartini juga menjadi ajang bagi penegakan hukum di Indonesia, seperti apakah kasus kekerasan terhadap perempuan sudah menurun? Apakah korban kekerasan seksual sudah mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya?
Koreksi dan perenungan tersebut jelas lebih baik ketimbang mengadakan perayaan-perayaan yang tidak relevan, meskipun tidak apa-apa juga jika memang acara tersebut mengandung edukasi gender pada para siswa-siswi di sekolah.
Ada suatu pepatah yang disandarkan sebagai hadis Nabi,
الْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ
Artinya, “Perempuan adalah tiang negara, apabila perempuan itu baik maka akan baiklah negara, dan apabila perempuan itu rusak, maka akan rusak pula negara.” Dari hadis tersebut, sangat jelas betapa persoalan perempuan ini begitu penting.
Harumbi Prastya, seorang intelektual muslimah, menulis dalam artikelnya, bahwa partisipasi perempuan dalam politik dapat meningkatkan standar kehidupan yang lebih tinggi di dalam suatu negara. Hal ini memiliki pengaruh dalam produktivitas ekonomi, aspek pendidikan, pembangunan infrastruktur, aspek kesehatan, serta langkah-langkah konkret yang diambil untuk mewujudkan demokrasi (bincangmuslimah.com, 21/6/2020).
Belakangan ini, masalah-masalah mengenai perempuan mengalami titik stagnasi. Contohnya, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih menjadi perdebatan berlarut-larut yang membuat RUU tersebut urung disahkan. Padahal, adanya perlindungan untuk perempuan adalah salah satu faktor yang menentukan untuk menjamin perempuan dapat beraktivitas secara bebas dan aman dalam ranah publik dengan jaminan hukum yang pasti.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Vennetia Danes, mengatakan bahwa pengesahan RUU PKS begitu penting karena “Konstruksi sosial masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan seringkali tidak didengar. Hal ini berimplikasi bagi perempuan korban kekerasan seksual justru direviktimisasi masyarakat” (jurnalperempuan.com, 30/6/2020).
Dalam suatu diskusi dengan sahabat, saya mendengar bahwa urungnya RUU PKS ini disahkan karena RUU ini miskin dukungan politik. Sontak saja saya terkejut, apakah kepentingan elit politik lebih diutamakan ketimbang perlindungan terhadap perempuan?
Namun di sisi lain, penulis merenung bahwa masalah yang fundamental terkait dengan RUU PKS adalah butuhnya dukungan laki-laki yang “melek” kesetaraan gender untuk berpartisipasi dalam menyukseskan RUU ini. Diakui atau tidak, kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam membangun sebuah konstruksi kebudayaan yang berbasis kesetaraan gender sangat penting untuk dilakukan. Jika laki-laki tidak diikutsertakan dalam menyebarkan semangat emansipasi, justru kedepannya yang hadir adalah konflik antar gender yang ujungnya gagasan emansipasi akan mengalami stagnasi.
Melihat Ke Belakang
Jika kita menyinggung sosok Kartini, gagasan dan pikiran Kartini yang maju mengenai perempuan Indonesia tidak hadir dalam ruang hampa. Dalam film “Kartini” (1982) besutan sutradara Sjumanjaja, kita akan melihat peran besar kakak Kartini, Raden Sosrokartono sebagai salah satu pendorong agar adiknya menjadi perempuan yang maju.
Sang kakak, Sosrokartono, memberi Kartini berbagai buku dan gagasan modern tentang emansifatie perempuan. Dalam kata pengantar buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Armijin Pane menulis perihal Sosrokartono, “Tetapi, buku-buku yang diberikan kepada adiknya itu memberi bukti, dia (Sosrokartono) setuju dengan pikiran adiknya (Kartini)” (Pane, 2008).
Begitu pula ketika surat kabar perempuan pertama di Indonesia, Poetri Hindia, terbit. Surat Kabar tersebut dapat terbit dengan bantuan dari Tirto Adhi Soerjo. Dalam sejarahnya, Poetri Hindia adalah ruang kebebasan bagi perempuan untuk mengekspresikan gagasan mereka yang selama ratusan tahun dibungkam oleh adat patriarki (Toer, 1985).
Hidup dan berdirinya Poetri Hindia pun tak lepas dari kerja sama antara perempuan dan laki-laki. Raden Tirto Adhi Soerjo dan istrinya, Prinses Fatimah, yang mendorong agar perempuan Hindia (Indonesia) berani menulis dan mengedukasi sesama perempuan lewat surat kabar (Toer, 1985).
*****
Dari kilasan sejarah singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mensukseskan kampanye emansipasi dan kesetaraan gender, dibutuhkan kolaborasi bersama antara perempuan dan laki-laki. Jika perempuan hanya memandang laki-laki dari sudut pandang konflik, maka cita-cita emansipasi justru cenderung stagnan.
Bukan berarti perempuan harus mengemis dukungan laki-laki. Tetapi, sangat diperlukan adanya komunikasi dan dialog antara perempuan dan laki-laki mengenai kondisi saat ini, seperti kasus kekerasan perempuan yang makin marak, kontribusi perempuan di sektor publik dan lain sebagainya.
Membangun sebuah budaya yang berasas keadilan gender adalah kepentingan bersama, baik perempuan maupun laki-laki. Emansipasi bukan hanya berbicara soal perempuan atau Kartini, tetapi juga menyangkut kepentingan laki-laki.
Tujuan emansipasi adalah menciptakan masyarakat harmonis di mana antar gender terjadi interaksi positif. Bayangkan, dalam satu keluarga antara suami dan istri bermitra dalam membangun bahtera rumah tangga. Dengan jalinan komunikasi dan kerja sama yang baik, serta hubungan yang setara, tentu keluarga bahagia akan terwujud.
Selain itu, penting juga bgai aktivis perempuan saat ini agar jangan hanya menghujat dan “mengomeli” laki-laki, tetapi juga penting untuk merangkul mereka, seperti melalui dialog positif, dan ajak mereka untuk bersama membangun lingkungan hidup yang berasas pada keharmonisan antar gender.
Referensi
Buku
Pane, Armijin (Editor). 2008. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.
Toer, Pramoedya Ananta. 1985. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
Internet
https://bincangmuslimah.com/kajian/perempuan-dan-politik-bagaimana-islam-memandang-partisipasi-politik-perempuan-29211/ Diakses pada 22 April 2021, pukul 00.13 WIB.
http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/urgensi-pengesahan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual Diakses pada 22 April 2021, pukul 01.29 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com