Soe Hok Gie pernah berkata, bahwa generasinya harus lebih baik karena orang tua yang duduk kursi di pemerintahan adalah orang-orang yang dibesarkan di era kolonial. Sementara, berbeda dengan Gie, generasi saya tentu harus bisa menjadi tonggak reformasi dan pembaruan, karena saat ini, yang duduk di pemerintahan adalah orang-orang yang dibesarkan di era Orde Baru.
Berbicara politik generasi milenial, momentum yang paling mencolok ialah ketika Pemilu 2019. Menurut Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI, Sarah Suaini Siregar, berdasarkan hasil survei, sekitar 35 persen sampai 40 persen pemilih dalam Pemilu 2019 didominasi pemilih generasi milenial. (unja.ac.id, 04/05/2020).
Sementara itu, berdasarkan riset IDN Research Institute, dalam laporan bertajuk “Indonesian Millenial Report 2019”, sebesar 23,4% milenial suka mengikuti berita mengenai politik. Namun, tidak dinyatakan bahwa pemilih milenial tersebut paham akan politik. Kaum milenial cenderung menganggap politik hanya untuk orang-orang yang kuno atau generasi “old school” (unja.ac.id, 04/05/2020).
Selama ini, politik mendapat stigma sebagai sesuatu yang kotor. Tentu anggapan tersebut sesuatu yang kurang tepat. Politik adalah sesuatu yang sangat berkaitan dengan kehidupan kita. Semua dalam kehidupan kita sangat terkait dengan politik, dan sangat penting generasi milenial untuk memahami hal tersebut. Jadi, “melek” politik itu menyangkut bagaimana generasi muda bisa mengerti politik dalam kehidupan sehari-hari.
“Politik ada di keseharian kita? Memangnya pemilu tiap bulan?”. Seringkali saya jumpai pertanyaan tersebut dari banyak orang, seakan politik hanya sebatas pemilu. Misalnya saja, bagi seorang siswa yang mengemban ilmu di sekolah negeri seperti saya, ada beberapa berbagai hal yang sangat terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh para politisi. Misalnya, cuti dari pemerintah bagi guru PNS, hingga panggilan dari dinas yang sangat sering sehingga banyak guru terpaksa menitipkan tugas. Begitu juga dengan sekolah swasta. Ujian sekolah, peraturan mengenakan seragam sekolah, dan syarat lulus dengan mengikuti Ujian Nasional (UN) juga merupakan kebijakan yang dibuat oleh politisi.
Menurut saya pribadi, melek politik tidak hanya sekedar tahu cara kerja dan sistem, melainkan juga ke arah mana pemerintah mengintervensi kehidupan sehari-sehari. Contohnya sederhana, seperti pertimbangan membeli barang pre-order yang impor dari luar negeri misalnya. Tentu kita harus tahu bagaimana kebijakan pemerintah di negara kita terkait kuota dan harga impor, hal ini kemudian jadi pengetahuan kita sendiri.
Pengetahuan seperti itu penting karena, tanpa mengerti betul konsep pasar, ideologi, dan ranah pemerintah-publik, pemerintah akan lebih mudah memberi narasi-narasi “pro rakyat” yang sekedar untuk mendapatkan suara. Padahal, pengetahuan politik bukan sekedar masalah untuk memilih kandidat yang mana, melainkan juga untuk menentukan ke depannya kita mau jadi seperti apa.
Oke, kembali lagi ke pertanyaan yang sering dijumpai saya saat argumen di atas diutarakan. “Lho, kalau ada yang mengarah radikalisme gimana? Tidak semua ide tentu harus diizinkan oleh pemerintah.”
Bila demikian, maka pemerintah akan menghambat laju ide-ide tertentu kepada konsumennya, misalnya gagasan mengenai konservatisme agama. Jika marketplace of ideas kita mumpuni, kelompok produsen ide lain, termasuk oposisi, tentu diperbolehkan untuk masuk dan ikut berdagang. Ide-ide yang dianggap radikal dan ekstrimis, dipaksa harus berkompetisi dengan ide-ide lain. Sementara, konsumen dihadapkan oleh berbagai “pilihan produk” ide-ide yang ada di pasar.
Dengan kata lain, sebagai produsen, kita memiliki pasar untuk menjajakan barang dagang kita, yakni ide dan opini. Inilah peran kita sebagai produsen ide juga harus mampu menyampaikan ide dan opini kita dengan cara-cara persuasif agar mampu diterima oleh orang lain
Saat melalui tahap-tahap di atas, kita akhirnya masuk ke bagian paling krusial, di mana pertarungan dan kompetisi ide terjadi. Layaknya pasar pada umumnya, konsumen memiliki kuasa untuk memilih produk ia anggap sesuai. Konsumen akan mulai membandingkan suatu produk dengan produk-produk lain yang ada di pasar.
Konsumen juga akan membandingkan kualitas, entah dengan konfirmasi ke pihak tertentu mengenai validasi informasi tersebut, melakukan pengecekan data, atau melihat relevansi ide tersebut dengan identitas, pengalaman, maupun latar belakangnya.
Mungkin muncul dilema saat Anda mulai membaca tulisan di atas, “Jadi gue boleh dong ya jadi anak-anak aksi yang suka ide-ide revolusi?” Secara hukum, sebagai warga negara yang memiliki hak kebebasan berekspresi, tentu setiap individu memiliki hak untuk mnegutarakan dan mengekspresikan opininya.
Sebagai penutup, inti dari melek politik yang perlu dimiliki milenial adalah ikut terlibat dalam demokrasi dan kebebasan ide. Itulah mengapa, pertarungan ide, baik menjelang pemilu maupun tidak, adalah hal yang sangat penting untuk generasi milenial ikut berpartisipasi.
Referensi
https://www.unja.ac.id/2020/05/04/milenial-melek-politik-kenapa-tidak/ Diakses pada 7 November 2020, pukul 20.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.