Kajian beberapa peneliti belakangan ini menunjukkan bahwa praktik oligarki (Noor, 2016) di Indonesia masih menampakkan gelagatnya dan terus berjalan meski kehidupan politik Indonesia diyakini telah jauh lebih demokratis. Sementara itu, khusus dalam soal hubungan eksekutif dan legislatif, pola yang terbangun juga belum menunjukkan sebentuk demokrasi yang solid. Pola hubungan yang terjadi justru mengindikasikan kecenderungan relasi kartel politik, yakni di antara kedua lembaga itu cenderung bersikap saling menguntungkan, baik terselubung maupun manifes, yang pada akhirnya menyebabkan kontrol terhadap kekuasaan tidak berjalan efektif.
Secara praktik pun, hal mengenai basis “perbedaan” antara individu dalam tubuh pemerintah maupun partai-partai politik yang tidak bisa dijumpai. Dibandingkan perbedaan dalam ideologi seperti Konservatif dan Liberal, di Indonesia, perbedaan antar partai lebih kentara pada tingkat Relijius dan Nasionalis (Non-religius). Tidak jarang ada kesamaan pendirian antar partai soal kebijakan fiskal, kesejahteraan sosial, program-program yang ditawarkan. Hal ini membuat perbedaan ideologi partai presiden yang berkuasa tidak memiliki implikasi substansial untuk pembuatan kebijakan di Indonesia. Koalisi partai, dukungan partai terhadap kandidat presiden bukan semata-mata karena mereka mendukung program yang ditawarkan, atau relevansinya terhadap ideologi partai. Melainkan untuk kekuasaan, mendapat dukungan publik di Pemilu mendatang, istilah anak mudanya adalah, numpang eksis.
Fenomena inilah yang kemudian tampak serupa dengan apa yang disebut oleh O’Donnel (1996) sebagai “delegative democracy”, yaitu demokrasi hidup di tengah lemahnya pelaksanaan checks and balances. Padahal, prinsip check and balances itu sendiri merupakan salah satu syarat penting dalam pelaksanaannya.
Berangkat dari permasalahan tersebut, mengenai masih cukup kuatnya keberadaan oligarki atau elitisme yang menunjukkan dengan jelas bahwa fenomena pelaksanaan kekuasaan (power exercise) hingga kini sejatinya masih minim kontrol karena kekuatan penyeimbang (balancer) yang memadai belum cukup kokoh. Dalam situasi seperti ini, penguatan eksistensi kekuatan penyeimbang—yang notabene melekat pada kelompok oposisi—menjadi perlu lebih diperhatikan dan secara fundamental merupakan kebutuhan mendesak, setidaknya untuk mengurangi praktik oligarki dengan segenap aspek buruk yang ditimbulkannya.
Pembahasan mengenai oposisi di Indonesia tentu bukan persoalan baru. Studi Kroef (1977) misalnya, telah membahas oposisi dengan cukup mendalam. Meski demikian, kajian tersebut memang lebih fokus pada masa sebelum dan menjelang era reformasi. Pada masa reformasi pun, mempertahankan konsolidasi demokrasi di Indonesia menjadi sebuah tantangan pula, mengingat jatuh bangunnya institusi demokrasi sebelumnya.
Pada dasarnya, kelompok oposisi atau partai politik yang berbeda pandangan dari pemerintah berfungsi sebagai kontrol atas sikap, pandangan atau kebijakan pemerintah, yaitu check and balance (Noor 2016: 1). Peran oposisi dalam demokrasi memiliki peran penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan bahwa pemerintahan tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Robert Dahl (1971, 3), misalnya, bahkan menyebutkan keberadaan partisipasi dan koreksi terhadap pemerintahan jauh lebih utama ketimbang pemilu. Hal ini juga menunjukkan hakikat demokrasi terletak pada penumbuhan tradisi atau budaya demokratis yang menumbuhkan kesadaran dan upaya untuk mewujudkannya secara sistematis dan substantif.
Lebih dari itu, kajian demokrasi terkini juga menempatkan persoalan seputar kedaulatan rakyat, yang mencakup pertanggungjawaban pemerintah, kekuasaan yang terbatas, partisipasi publik, dan pembagian kekuasaan sebagai hal yang utama, di samping pelaksanaan pemilu itu sendiri (Noor, 2016). Sehubungan dengan hal-hal tersebut, keberadaan oposisi dapat menemukan relevansinya. Untuk menjaga pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan pemerintah, perlu kekuatan di luar pemerintahan yang dapat turut menjaga bahwa kedaulatan rakyat itu tetap ada dan berfungsi. Dalam artian lain, keberadaan oposisi juga berkaitan erat dengan kepentingan menegakkan kedaulatan rakyat itu sendiri.
Keberadaan oposisi juga dapat dikatakan sebagai bagian yang penting dari perjalanan demokrasi, terutama dalam meningkatkan kesadaran politik masyarakat. Terkait peningkatan kesadaran politik masyarakat ini, oposisi menyediakan alternatif pandangan terhadap berbagai masalah sehingga masyarakat memiliki beragam opsi, serta dapat memperoleh gambaran yang lebih komprehensif. Bahkan, oposisi bisa mendorong dialog dan diskusi yang lebih terbuka di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Fungsi keberadaan oposisi inilah yang kemudian menjadi akar dari partisipasi politik. Kesadaran politik tersebut semacam ini membuka peluang bagi setiap warga negara untuk berperan sesuai dengan kesadarannya, atau disebut juga partisipasi politik. Peluang dari kebebasan berpartisipasi ini pada akhirnya memberikan jalan bagi munculnya perbedaan sikap dan pandangan, termasuk terhadap penguasa, mengingat kesadaran setiap orang tidaklah sama.
Dengan demikian, oposisi dalam konteks demokrasi menjadi tidak terpisahkan. Adanya eksistensi oposisi diharapkan dapat dipertimbangkan pelaku, penyelenggara, maupun pengawas berjalannya proses demokrasi kita. Mulai dari penanaman ide, toleransi antara perbedaan ide untuk menanggulangi macetnya demokrasi di Indonesia yang masih perlu dibenahi, hingga budaya politik yang lebih terbuka lagi.
Daftar Pustaka
Dahl, R. (1971). Poliarchy: participation and oppo- sition. New Haven, CT, and London: Yale University Press.
Kroef, J. Van Der. (1977). “The Indonesian Opposition”. Asian Affairs, 5(2), 109–125.
Noor, F. (2016). “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi Sebagai”. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1). Diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/152332-ID-oposisi-dalam-kehidupan-demokrasi-arti-p.pdf
O’Donell, G. (1996). Delegative Democracy. Dalam Larry Diamond & M. F. Plattner, Global Resurgence of Democracy. Baltimore and London: John Hopkins University Press.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.