
Frasa “pelemahan kebebasan sipil” rasanya tidak dapat dilepaskan dari Indonesia. Hal ini melihat dari sekian banyak fenomena yang terjadi di Indonesia. Hal inilah yang kemudian jadi alasan mengapa banyak peneliti dan ahli Indonesia menyatakan negara ini sedang mengalami kemerosotan demokrasi.
Kebebasan sipil, yang secara teoritik, sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari konsep negara hukum seharusnya berimplikasi pada adanya pengakuan konstitusional dan jaminan perlindungan yang merupakan elemen esensial konstruksi bangsa Indonesia modern. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Hal ini setali tiga uang dengan laporan indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Meskipun Indonesia berada di peringkat ke-52, peringkat ini naik dari yang tadinya peringkat ke-64, dari 167 negara dengan skor 6,71. Namun, Indonesia masih berada di bawah Malaysia yang berada di peringkat ke-39 dengan skor 7,24. Beberapa kategori, seperti proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan terhadap aspek-aspek tersebut, khususnya kebebasan sipil.
Berkaitan dengan kebebasan berekspresi misalnya, topik mengenai pasal penodaan agama dan ujaran kebencian menjadi hal yang hampir selalu membelakkan mata. Berita terhangat terkait dengan penetapan tersangka para staf yang bekerja di Holywings misalnya. Hal ini merupakan isu yang menimbulkan pro dan kontra, serta patut disayangkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Mengingat hal ini bukan sekali ini saja terjadi. Beberapa kasus, seperti Ge Pamungkas, Basuki Tjahaya Purnama, hingga Meiliana yang harus berurusan dengan hukum. Tentu, hal ini menunjukkan semangat yang berlawanan dengan kebebasan berekspresi dan berbicara.
Seperti diketahui, bahwa tidak sedikit yang mengkritik dampak negatif dari pasal tersebut. Pengaturan pasal-pasal tersebut berisi banyak pasal karet, yang melanggar kebebasan berekspresi dan berbicara. Namun, yang patut disayangkan adalah, sebagian masyarakat masih banyak melihat hal ini hanya agar tidak tercipta konflik horizontal, seperti keresahan dan disintegrasi saja, serta tidak melihat efek negatif karena berpotensi penyalahgunaan dalam penegakannya.
Begitu juga dengan pemberitaan Pengadilan Negeri Suarabaya yang mengesahkan pernikahan beda agama. Alih-alih melihat alasan mengapa pengadilan memberikan keputusan hal yang bersifat demikian, justru yang terjadi justifikasi pribadi masih nampak dominan dalam melihat persoalan ini secara umum di masyarakat. Padahal, kewenangan pengadilan tersebut juga bukan kewenangan yang ringan, melainkan melalui pertimbangan mendalam yang berdampak pada perlindungan kekuatan hukum bagi para subyek hukum yang bersangkutan.
Selain itu, dalam beberapa waktu terakhir tak luput dari linimasa informasi tentang ramainya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat mulai berlaku. Berita ini cukup mencengangkan publik dengan informasi yang akan melakukan pemblokiran besar-besaran kepada sejumlah perusahaan atau badan yang menggelar layanan digital atau online, seperti Google, Facebook, YouTube, dan sebagainya.
Secara garis besar, Permenkominfo tersebut mengatur ihwal pendaftaran, tata kelola, moderasi informasi atau dokumen elektronik, dan permohonan pemutusan akses atas informasi atau dokumen yang dilarang. Namun, aturan tersebut juga mengatur pemberian akses data pribadi untuk kepentingan pengawasan penegakan hukum, serta sanksi administratif yang mungkin dijatuhkan pada PSE yang ada di Indonesia. Misalnya, apabila dalam hal pendaftaran, ada PSE yang belum mendaftar, maka akan mendapatkan sanksi administrasi berupa pemutusan akses alias pemblokiran pemblokiran (access blocking) maupun take down. Hal ini akan dilakukan dengan merujuk pada pasal tentang Penjatuhan Sanksi Administratif dan Normalisasi.
Ketentuan terkait PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau data elektronik kepada Kementerian atau lembaga, serta aparat penegak hukum, dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejatinya juga memberikan gambaran bahwa hak-hak berkaitan dengan aspek privasi di mana negara begitu dominan dalam memiliki kewenangan yang besar dalam mengatur internet. Kondisi ini dapat mengancam demokrasi dan kebebasan sipil di ruang digital.
Melihat berbagai macam persoalan di atas, sudah seharusnya setiap individu masyarakat memupuk dan merawat kebebasan sipil sebagai hak asasi manusia yang sejatinya harus betul-betul dipahami sebagai sesuatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Aspek ini harus mampu terejawantahkan dalam setiap kebijakan, hukum, dan perilaku sebagai konsekuensi moral bagaimana perlakuan yang ideal terhadap setiap individu warga negara dan pengaturan relasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang tetap didasarkan atas pentingnya penghormatan terhadap kebebasan individu dan HAM, serta hak-hak sipil warga negara.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.