Pentingnya Menjaga Kebebasan Warga Negara di Indonesia

    477

    Liberalisme merupakan kata yang lazim terdengar oleh telinga kita. Kata liberalisme seolah menjadi kata yang sudah tercemar. Hal ini mungkin disebabkan karena liberalisme diasosiasikan dengan gagasan Barat dan penjajahan. Pupuk citra buruk terhadap liberalisme yang terus menerus berkembang akhirnya melahirkan suatu kebencian. Akibatnya, pemaknaan liberalisme yang didasari pada kebebasan semakin hari semakin luruh dari pemaknaan yang seharusnya.

    Hingga hari ini, liberalisme masih terkesan dianggap sebagai gagasan yang negatif oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Liberalisme atau paham kebebasan pada umumnya diasosiasikan dengan gaya hidup bebas, free sex, free love, konsumsi minuman keras, narkoba, dan hidup serba boleh. Stigma ini terus bergulir, berkembang dan menjadikan liberalisme menjadi suatu hal yang najis. Tak dapat dipungkiri, kebebasan akhirnya dianggap sebagai suatu keliaran. Lantas, apakah kebebasan dalam liberalisme memang bermakna demikian?

    *****

    Kebebasan berpandangan manusia sebagai makhluk yang secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir dan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Karena itu, jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat, kebebasan berarti sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu untuk memilih bagi diri mereka sendiri (Basyaib, 2006).

    Indonesia sekarang dapat kita katakan sedang berada dalam situasi krisis kebebasan. Mengapa? Dapat kita saksikan dengan mudah betapa banyaknya praktek anti kebebasan di negara ini. Salah satu contohnya yaitu dalam hal kebebasan berpendapat. Maraknya pembungkaman suara yang diduga mengusik dan merugikan pemerintah akan dijatuhi hukuman yang katanya setimpal. Padahal, nyatanya berpendapat adalah perwujudan dari kebebasan yang merupakan hak individu warga negara itu sendiri. Peristiwa seperti ini sudah begitu banyak terjadi di negara kita.

    Jika hal tersebut terus-menerus terjadi, eksistensi oposisi yang memberi kritik terhadap pemerintah akan semakin berkurang. Akibatnya, peluang kemunculan pemerintah yang otoriter akan semakin terbuka lebar yang jelas tak sesuai dengan nilai kebebasan itu sendiri.

    Situasi pandemi global saat ini ternyata juga sangat berpengaruh dalam pengekangan kebebasan berpendapat. Penyebaran berita bohong atau hoaks semakin masif seiring dengan meningkatnya kasus positif virus Corona di Indonesia. Merujuk UU Informasi dan Transaksi Elektornik, dalam Pasal 45A ayat (1), setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara enam tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar (kompas.com, 17/03/2020).

    Menurut SAFEnet, pada tahun 2020, tercatat 59 kasus terkait kebebasan berpendapat dengan dugaan penyebaran berita hoaks. Mirisnya, 44 orang dari kasus tersebut merupakan warga awam biasa. Mereka yang dituduh melanggar UU ITE ini didominasi oleh warga awam yang berprofesi sebagai pegawai swasta, ibu rumah tangga, buruh, tukang tambal ban, hingga nelayan (cnnindonesia.com, 20/10/2020).

    Warga tersebut dilaporkan karena mengunggah konten-konten yang dianggap tidak akurat terkait COVID-19. Padahal, SAFEnet mengatakan hoaks terbagi menjadi dua jenis, yaitu misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi salah dan tak akurat yang disebarkan oleh warga, tapi ia tidak tahu bahwa informasi itu salah atau tidak akurat. SAFEnet mengatakan kasus UU ITE sepanjang 2020 ini merupakan kasus misinformasi, bukan disinformasi. Terlapor tidak tahu kalau informasi yang mereka sebarkan itu keliru.

    Lebih lanjut, ada jenis hoaks bernama disinformasi. Ini adalah informasi yang sengaja disebarkan di media sosial dan pelakunya tahu informasi itu salah atau keliru. Informasi ini sengaja mereka ciptakan untuk mungkin mencari kepentingan tertentu misalnya keuntungan ekonomi atau membuat provokasi. SAFEnet mengatakan kasus UU ITE sepanjang 2020 ini merupakan kasus misinformasi, bukan disinformasi. Terlapor tidak tahu kalau informasi yang mereka sebarkan itu keliru (cnnindonesia.com, 20/10/2020).

    Pasca reformasi, Indonesia merupakan negara demokrasi yang tentunya harus melindungi kebebasan berbicara. Melihat situasi sekarang, kebebasan berekspresi dan berbicara seakan semakin berkurang dan dibatasi. UU ITE seakan jadi dalih dalam pembungkaman suara yang sedikit mengelintir bagi pemerintah dan orang lain.

    Hal ini tentu hal yang berbahaya. Jika sampai masyarakat enggan bersuara, kita tentu akan semakin sulit untuk mendapatkan kebenaran. Hak-hak kebebasan berpendapat adalah hak individual yang tidak dapat dirampas oleh negara dalam kondisi apapun, terkecuali kondisi yang benar benar ekstrim.

    Pelanggaran kebebasan yang terjadi di Indonesia bukan hanya terhadap kebebasan berbicara, namun juga kebebasan beragama. Di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, pernah ada satu sekolah yaitu Sekolah Dasar Negeri III Karangtengah di Wonosari, yang melansir surat edaran kontroversi yang mewajibkan semua pelajarnya mengenakan “seragam muslim”.

    Seragam muslim diasosiasikan sebagai baju yang menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan bagi perempuan, serta menutupi bagian lutut ke badan bagi lelaki. Dalam surat edaran tersebut, semua siswa tanpa terkecuali diminta mengikuti aturan tersebut mulai tahun ajaran 2020/2021 (vice.com, 1/7/19).

    Seragam muslim ini pada umumnya adalah perihal pemakaian jilbab  Apabila aturan tersebut diwajibkan bagi siswi muslim, maka masih bisa diperdebatkan, karena menurut pandangan sebagian ulama, jilbab tersebut merupakan bagian dari ajaran agama yang patut digunakan. Namun, apabila hal tersebut dipaksakan terhadap kaum non-Muslim, maka hal ini merupakan bentuk kebebasan beragama, karena jilbab bukan merupakan bagian dari ajaran agama yang mereka anut.

    Disinilah kita perlu mengembalikan makna kebebasan yang sesungguhnya. Stigma buruk terhadap kebebasan yang selama ini melekat dalam diri kita sebagai warga negara Indonesia haruslah perlahan kita hilangkan. Defenisi kebebasan sebagai keliaran hendaknya sudah dapat kita tinggalkan supaya jalan menuju kebenaran semakin terbuka lebar karena sejatinya, kebebasan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan.

    Oleh karena itu, kemungkinan besar peluang hidup dalam kebebasan akan semakin terbuka lebar. Pemerintah dan masyarakat yang masih salah dalam mendefenisikan kebebasan hendaknya kembali memahami artian kebebasan tersebut secara luas, lugas,tepat dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Secara komparatif, kita bisa melihat kemajuan negara kita dengan negara lain yang menjunjung tinggi nilai kebebasan. Negara yang menjunjung tinggi kebebasan jauh lebih makmur daripada negara kita, yang masih belum menjalankan kebebasan secara konsisten. Jika negara kita ingin maju, hendaknya kebebasan diberi dan dilembagakan menjadi perilaku, kitab hukum, dan juga sistem politik.

     

    Referensi

    Buku

    Basyaib, H. 2006. Membela Kebebasan: Percakapan Tentang Demokrasi Liberal. Jakarta: Pustaka Alvabet.

     

    Internet

    https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20201020160620-185-560594/safenet-kebebasan-berpendapat-di-medsos-memburuk diakses pada 19 Desember 2020, pukul 00.44 WIB.

    https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/17/121703965/polri-penyebar-hoaks-corona-bisa-kena-uu-ite-terancam-6-tahun-penjara?page=all diakses pada 22 Desember 2020, pukul 02.00 WIB.

    https://www.vice.com/id/article/neayeg/kasus-sekolah-negeri-paksa-pelajar-pakai-hijab-terdeteksi-di-24-provinsi-indonesia diakses pada 22 Desember 2020, pukul 02.16 WIB.