Pentingnya Mengawal Penegakan Hukum Pasca Pengesahan RUU TPKS

    386
    Sumber gambar: dpr.go.id/berita/detail/id/38589/t/DPR+Setujui+RUU+TPKS+Menjadi+UU

    Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang. Hal ini dilakukan  dalam Rapat Paripurna ke-19 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2021-2022, pada hari Selasa (12/4). Hal ini menjadi angin segar, di mana sejak disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR pada 18 Januari 2022 pemerintah dan DPR menunjukkan komitmen kuat untuk menyelesaikan UU yang telah lama menjadi pembahasan ini (cnnindonesia.com, 13/4/2022).

    Pengesahan RUU TPKS, yang terdiri dari 93 pasal dan 12 bab yang di dalamnya memuat sembilan jenis kekerasan seksual, memberikan sinyalemen bagi pentingnya perlindungan bagi korban dan kerangka hukum bagi aparat penegak hukum yang tidak diatur dalam KUHP. Beberapa aspek penting dalam UU ini dapat disimpulkan membahas substansi, antara lain pencegahan kekerasan seksual, penanganan hingga pemulihan korban, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual,  dan jaminan agar kekerasan seksual tak berulang.

    Dengan berlakunya UU ini, maka diharapkan menjadi momentum baru penegakan hukum yang lebih kuat terhadap kasus kekerasan seksual.  Hal ini disebabkan karena pengaturan penanganan kekerasan seksual yang selama ini diatur dan tersebar melalui banyak undang-undang belum menghasilkan sebuah terobosan terhadap penegakan berkaitaan dengan kasus kekerasan seksual. Selain itu, sejak awal pengaturan yang ada dalam KUHP masih belum memberikan keleluasaan bagi korban dalam membuktikan kasus-kasus yang dialaminya.

    Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia beberapa waktu ini menjadi isu yang tidak dapat dibantah lagi bahwa Indonesia harus segera menyelesaikan persoalan ini. Kasus yang menjadi sorotan publik baru-baru ini adalah kasus pencabulan 21 santriwati oleh pemilik sekolah Islam di Bandung yang diasuh oleh Herry Wirawan. Herry Wirawan menjadi terdakwa kasus pelecehan seksual kepada para santrinya. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) mengungkapkan ada 21 orang yang dilaporkan menjadi korban Herry Wirawan sejak tahun 2016 hingga 2021 (Suara.com, 24/12/2021).

    Selain itu, juga ada kasus pencabulan anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Pemerkosaan dialami oleh tiga orang anak berusia di bawah 10 pada tahun 2019. Kejadian ini terungkap usai ibu kandung ketiga korban melaporkannya ke sejumlah pihak terkait dan juga kepolisian. Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, seorang aparatur sipil negara yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah. Namun, pada prosesnya terjadi penghentian secara sepihak atas kasus ini oleh kepolisian. Kemudian, LBH Makassar mengirim surat aduan ke sejumlah lembaga pada bulan Juli 2020, di antaranya ke Kompolnas, Ombudsman, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulsel, Bupati Luwu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, dan Komnas Perempuan. Kasus ini menjadi viral dan menjadi sorotan publik terkait sulitnya penegakan hukum dan mekanisme pelaporan terhadap tindakan kasus kekerasan seksual (Kompas.co.id, 9/10/2021)

    Contoh-contoh kasus kekerasan seksual di atas menunjukkan bahwa kasus-kasus tersebut mengalami banyak tantangan, dari aspek sosial, psikologi, hukum, dan banyak lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual adalah kasus yang sangat kompleks dan membutuhkan penyelesaian yang komprehensif. Terutama terkait aspek penegakan hukumnya, yang selama ini menunjukkan bahwa prosesnya justru menyulitkan dan tidak berpihak pada korban, khususnya pemulihan korban.

    Lantas, apakah pengesahan RUU TPKS sudah cukup untuk mengatasi permasalahan ini? Apakah korban bisa dilindungi terkait dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi? Apakah dengan disahkannya RUU TPKS akan menjamin bahwa proses penegakan hukum akan berjalan dengan baik?

    Melihat bagaimana penegakan hukum UU TPKS nantinya, maka penting untuk melihat aspek substansi yang diatur. Seperti diketahui, kelahiran UU TPKS diharapkan akan memberikan kesempatan yang lebih luas terkait dengan upaya untuk penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban kekerasan seksual, termasuk pemulihan dan perlindungan, serta jaminan untuk para korban. Diharapkan bahwa UU TPKS dapat memberikan jaminan-jaminan tersebut demi keamanan dan pemulihan kondisi bagi korban.

    Lemahnya aspek yang dikandung dalam KUHP menjadi pangkal masalah ini. Rumitnya prosedur yang berlaku untuk melaporkan kasus kekerasan seksual cukup menyulitkan para korban untuk melapor ke pihak yang berwenang. Selain itu, meskipun sudah banyak diatur dalam beberapa undang-undang, seperti UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO) dan UU Pornografi, namun pangkal aturannya masih belum dapat diselesaikan, sehingga tetap saja menyulitkan para korban. Namun, dengan berlakunya UU TPKS, diharapkan penanganan kasus kekerasan seksual akan terfokus pada UU TPKS dengan memperhatikan perspektif dan pemulihan korban.

    Kompleksnya penegakan hukum terkait dengan kekerasan seksual sebelumnya menunjukkan beberapa kasus bahwa korban seringkali mengalami ketakutan, rasa malu, serta kesulitan terkait kerumitan dalam pelaporan dalam hukum acara yang rumit. Belum lagi, penegak hukum yang masih memiliki kesadaran dan kepekaan gender yang rendah. Alih-alih mendapatkan keadilan, korban justru dihadapkan pada ancaman balik yang justru menyulitkan dan memojokkannya ketika harus melalui proses hukum dalam rangka mencari keadilan.

    Namun, dengan berlakunya pengaturan terkait dengan korban kekerasan seksual yang memiliki tiga hak dalam UU TPKS, seperti hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan, pada dasarnya, hal ini akan memperkuat posisi korban dalam mata rantai kasus yang harus ditegakkan oleh penegak hukum. Termasuk dengan dana restitusi yang harus diberikan kepada korban yang juga merupakan hal yang penting. Selain itu, perlindungan korban terkait hal-hal yang secara tidak langsung berhubungan pun dijamin oleh undang-undang tersebut.

    Namun, pekerjaan berkaitan dengan pengawalan terhadap penegakan hukum pasca disahkannya RUU TPKS baru akan dimulai. Hal ini harus ditindaklanjuti denga aturan-aturan turunan yang berkaitan dengan undang-undang tersebut. Sosialisasi UU TPKS juga krusial untuk memastikan bahwa UU ini dipahami oleh berbagai pihak di berbagai level, sektor, dan aspek. Peraturan turunan juga diperlukan untuk mendukung penegakan undang-undang ini.

    Sebagai penutup, lahirnya substansi hukum harus dibarengi dengan penegakan hukum yang kuat. Tanpa diikuti dengan penegakan hukum dan jauh dari tujuan hukum. Oleh karena itu, memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik dan optimal, serta dengan melibatkan beragam pihak dalam penerapannya adalah langkah yang harus dilakukan selanjutnya.

     

    Referensi

    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220412153417-32-783804/poin-poin-penting-uu-tpks-yang-disahkan-dpr. Di akses pada 13 April 2022, pukul 10.00 WIB.

    https://www.kompas.com/wiken/read/2021/10/09/074532581/kasus-pemerkosaan-3-anak-di-luwu- Di akses pada 13 April 2022, pukul 13.00 WIB.

    https://www.suara.com/news/2021/12/24/165906/kaleidoskop-2021-5-kasus-kekerasan-seksual-paling-menggemparkan?page=2 Diakses pada  13 April 2022, pukul 12.30 WIB.