Bulan Agustus adalah bulan yang sakral bagi bangsa kita. Setiap bulan Agustus, kita selalu menghias jalan, kompleks perumahan, membuat gambar di tembok-tembok, bahkan membuat gapura peringatan, untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Hari Kemerdekaan suatu negara sering disalahpahami sebagai hari jadi atau hari kelahiran padahal makna kemerdekaan lebih dari itu.
Banyak negara-negara yang memiliki hari jadi atau hari nasional, tetapi bukan hari kemerdekaan, seperti Jepang, Iran, dan Thailand. Indonesia menyebut tanggal 17 Agustus bukan sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia, tetapi hari kemerdekaan sebuah bangsa. Kemerdekaan karena bangsa Indonesia berhasil membebaskan diri dari penjajahan dan juga perbudakan yang selama ratusan tahun telah membelenggunya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata merdeka memiliki makna yaitu, bebas dari perhambaan, penjajahan, berdiri sendiri, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang lain. Menurut Kamus Bahasa Indonesia saduran dari Sutan Harahap (Kamus bahasa Indonesia tertua) kata merdeka berasal dari kata “Merdeheka”, yang awalnya bermakna orang yang bebas dari sistem perbudakan (Harahap, 1950).
Berarti secara kebahasaan, seseorang yang merdeka berarti orang yang mendapat otonomi atas dirinya sendiri dan tidak lagi terikat oleh orang lain. Dapat dikatakan merdeka bukanlah hari lahirnya suatu bangsa, tapi hari kebebasan suatu masyarakat dari kekangan. Kita menyebut 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan karena pada tanggal itulah bangsa kita berhasil melepas belenggu penjajahan yang mengikat kebebasan dan otonomi dirinya sebagai sebuah bangsa.
Harga Sebuah Kemerdekaan
Kenapa kita membutuhkan kemerdekaan? Sederhananya, karena setiap manusia membutuhkan kebebasan. Manusia membutuhkan kebebasan dalam memilih, kebebasan untuk berekonomi dan kemerdekaan dalam mengekspresikan dirinya. Di dalam suasana penjajahan atau kolonialisme, kemerdekaan dan kebebasan manusia dikebiri.
Betapa pentingnya harga kemerdekaan itu sehingga Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan yang lainnya mendekam dalam penjara. Mereka dipenjara bukan karena militansi untuk sebuah misi politik, namun dibungkam karena mereka mendengungkan misi kemerdekaan. Cita-cita merdeka inilah yang menurut perkataan Bung Karno, dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, sebagai pintu bagi Indonesia sejahtera dan makmur (Adams, 1966).
Di mata bangsa Eropa pada masa itu, orang-orang Asia derajatnya lebih rendah bahkan hampir seperti budak. Mereka tidak boleh lebih tinggi dari orang kulit putih (Eropa). Mereka tidak boleh lebih pintar dari orang kulit putih. Mereka tidak boleh lebih sejahtera dari orang kulit putih, dan yang paling parah, mereka dipaksa untuk tidak boleh mengkritik dan harus menghormati orang kulit putih sebagai “bangsa sopan yang beradab”.
Edward Douwes Dekker telah merekam kekejian praktik kolonialime yang telah menyengsarakan rakyat miskin di Lebak, Banten. Bukunya, Max Havelaar, yang menggambarkan kekejian sistem tanam paksa dan rodi yang dianggap tidak manusiawi dan merugikan rakyat Lebak. Lebih-lebih pajak yang tinggi dan upeti untuk pemerintah feodal setempat makin mencekik ekonomi rakyat, sehingga tak jarang rakyat banyak yang pergi dan meninggalkan tanah Banten.
Bahkan, Tirto Adhi Soerjo dalam artikelnya di Surat Kabar Medan Prijaji, menulis bahwa apa yang dikritik oleh Multatuli (Douwes Dekker) tentang sistem rodi, upeti yang tinggi, dan pajak sukarela untuk priyayi besar yang terjadi pada tahun 1860 tidak berubah hingga ia menulis artikel tersebut (1910). Ini berarti sistem feodalisme terus dilanggengkan oleh pemerintah kolonial sehingga menyengsarakan rakyat Banten. Sampai-sampai, Tirto menulis bahwa banyak orang-orang Banten yang lari dari tanah airnya dan mengadu nasib ke tanah seberang (Medan Prijaji, Sabtu 26/02/1910).
Hilangnya kemerdekaan dan juga hak kepemilikan yang dirampas oleh para pembesar di Banten membuat para petani dan tokoh masyarakat memberontak melawan pemerintah kolonial pada tahun 1888. Hingga saat ini, pemberontakan para petani dalam memperjuangkan haknya yang dirampas telah direkam oleh sejarah.
Hikayat sejarah tentang kekejaman kaum penjajah ini telah memberi suatu pelajaran yang berharga, bahwa manusia takkan bisa hidup tanpa adanya kebebasan dan kemerdekaan. Kemerdekaan yang dirampas akan selalu berbuah kesengsaraan, dan kesengsaraan inilah yang dialami para petani Banten pada akhir abad 19.
Ketika bangsa-bangsa Eropa menyerukan penghapusan perbudakan, kesetaraan antar umat manusia, dan kebebasan berpikir di era Pencerahan. Di sisi lain mereka juga tidak melakukan hal itu di Asia dan tanah jajahan seperti Hindia (Indonesia). Penjajahan adalah aib dari bangsa Eropa yang tidak bisa dilupakan dan harus dicatat oleh tinta hitam sejarah, di mana selama masa penjajahan tersebut, tak ada kebebasan, kemanusiaan dan kesetaraan bagi bangsa Asia, termasuk bangsa Indonesia.
Puncak kolonialisme itu akhirnya runtuh ketika bangsa-bangsa Asia berusaha melepas belenggu penjajahan yang menjeratnya. Bangsa Indonesia menuntut kebebasan, kesetaraan, keadilan yang selama ini tidak mereka dapatkan dari pemerintah Belanda. Dan untuk mendapat kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan nasibnya yang membuat generasi tahun 1945 rela memanggul senjata dan berkorban nyawa.
Melanjutkan Semangat Perjuangan
Memang benar, saat ini kolonialisme secara resmi sudah tidak ada lagi. Ssemua bangsa sepakat untuk mengutuk setiap bentuk penjajahan terhadap bangsa lainnya. Namun, apakah perjuangan untuk membela kemerdekaan padam? Jawabannya tentu adalah tidak. Jika kita memahami makna kemerdekaan adalah sinonim dengan kebebasan (merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia di atas) maka saat perjuangan untuk membela kebebasan tidak hanya berhenti ketika kolonialisme hegkang dari negeri ini.
Memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan tidak terikat masalah kebencian pada suatu ras atau suku. Apa yang dilakukan petani Banten yang memberontak pada tahun 1888 bukanlah karena mereka membenci bangsa Eropa atauBelanda, tetapi karena mereka berusaha menuntut kebebasan mereka dan juga hak-hak dasar mereka yang dirampas dan diabaikan oleh pemerintah kolonial.
Begitu juga dengan perampasan kebebasan atau kemerdekaan tidak hanya dilakukan oleh kaum penjajah dari negeri asing, tetapi juga dapat dilakukan oleh pemerintah dari negeri sendiri. Misalnya, tekanan dan pengekangan kebebasan rakyat yang dilakukan oleh para diktator-diktator, seperti Augusto Pinochet di Chile yang memimpin dengan tangan besi, Idi Amin di Uganda, Ferdinand Marcos di Filipina, Dinasti Keluarga Kim di Korea Utara, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, pembatasan kebebasan dan juga demokrasi pernah terjadi pada rezim Orde Lama dan juga rezim Orde Baru. Walaupun kedua rezim ini sama-sama menggunakan label demokrasi pada pemerintahannya (demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila), namun apa yang dilakukan jauh dari nilai-nilai demokratis. Banyak partai dibekukan dan beberapa aktivis kelompok yang mengkritik ditangkap, kebebasan dalam berkesenian dan berekspresi dibatasi.
Pada zaman Orde Lama, beberapa musik yang dianggap tidak mencerminkan “budaya nasional” dilarang. Sedangkan,pada masa Orde Baru, lagu-lagu yang secara lantang mengkritik pemerintah langsung dilarang dan musisinya ditangkap. Pengekangan terhadap kebebasan dan kesewenang-wenangan rezim terhadap rakyat inilah yang kemudian membangkitkan kembali kemarahan rakyat. contohnya adalah aksi demonstrasi TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) oleh massa tahun 1966, dan juga demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat pada tahun 1998 yang menuntut reformasi total.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa gerakan massa tahun 1996 berbeda dengan gerakan massa tahun 1966. Kita juga tidak boleh membedakan bahwa spirit massa tahun 1966 berbeda dengan gejolak semangat rakyat tahun 1945. Secara esensial,apa yang diperjuangkan oleh massa (baik tahun 1945, 1966, 1998) adalah satu cita dan satu visi, yaitu berjuang menghapus kesewenang-wenangan penguasa demi mewujudkan masyarakat yang bebas merdeka dan adil.
Karena itu, spirit perjuangan Generasi ’45 masih terus berlanjut hingga saat ini. Tugas kita saat ini selain menjaga kedaulatan dan keutuhan negara, juga mempertahankan semangat kemerdekaan, yaitu menciptakan masyarakat yang bebas dan jauh dari penindasan.
Tugas besar kita saat ini adalah bagaimana nilai-nilai kebebasan tetap mengakar di masyarakat. Di Hari Kemerdekaanyang ke-75, negara kita mulai dirongrong oleh kelompok-kelompok intoleran dan radikal yang ingin memaksakan keingin kelompok mereka. Penangkapan orang-orang yang mengkritik pemerintah, persekusi yang dilakukan oleh gerombolan ormas intoleran, dan juga deskriminasi agama yang dialami minoritas, kini telah terjadi dan membuat kita prihatin.
Ya, penjajah asing telah angkat kaki dan negeri kita dan tugas Generasi ’45 sudah selesai. Tetapi, bukan berarti perjuangan sudah berhenti dan bukan berarti kita tidak mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk Indonesia saat ini.Memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, pluralisme, keadilan, serta menghapus rasialisme adalah tugas generasi kita saat ini.
Referensi
Buku
Harahap, Sutan. 1950. Kamus Indonesia. Bandung: Badan Penerbitan G. Kolff & co.
Adams, Cindy. 1966. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Media
Soerjo, Tirto Adhi. “Multatuli” dalam Medan Prijaji. Sabtu, 26 Februari 1910, No. 8, tahun ke-IV.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com