Berdasarkan riset, Twitter adalah media sosial yang sangat rawan konflik. Hal ini karena sifat dari media sosial tersebut yang eksponensial alias. Fokus aktivitas kita yang utama adalah reaksi terhadap konten. Sehingga, lebih mudah bagi pengguna untuk memproyeksikan perasaan dan konteks pribadi mereka terhadap suatu konten daripada melihat lebih dalam konteks originalnya. Mereka yang berusia lanjut mungkin lebih mudah percaya hoaks. Namun, bukan berarti generasi muda dapat terbebas dari hoaks dan kesalahan cara berpikir di media sosial (Liu & Weber, 2014).
Misalnya begini, ada dua pemuda yang sedang gosip tentang info terbaru bahwa si A sifatnya seperti B. “A itu B.”, kira-kira begitu kata salah satu pemuda. Lalu, tanggap pemuda yang lainnya “Oh jadi kalau A itu B, terus kalau C berarti nggak, ya?”. Loh? Dari mana datangnya si C? Hal tersebut tidak lebih hanya opini belaka, yang diteruskan dari mulut ke mulut sehingga teori bahwa C bukan B atau A menjadi dipercayai oleh masyarakat luas.
Sejak penggunaan media sosial menjadi hal yang sangat umum untuk mengekspresikan pandangan kita, ranah antara yang privat dan publik terus menipis. Karena, walau ini akun pribadi kita, publik tetap bisa mengakses informasi yang kita sampaikan. Ketika tweet kita mendapatkan retweet atau like oleh orang lain, seakan itu jadi undangan untuk menjadikan tweet itu sebagai konten umum. Ini alasan kenapa influencers atau akun dengan following besar susah untuk menyampaikan opini pribadi, karena secara default, opini pribadi mereka otomatis akan menjadi konten umum.
Lagi-lagi, terjadilah pertengkaran individu yang terisolasi dan individu yang berada dalam satu kerumunan yang sama. Sebagian massa menganut suatu ilusi cinta kepada opini atau figur yang diyakini mereka, baik itu berupa individu atau karakteristik tertentu.
Menurut Sigmund Freud, psikologi kelompok selalu memiliki kecondongan untuk dipimpin. Oleh karena itu, semua ide, entah rasional atau tidak, akan dianggap sebagai komando yang wajib dipatuhi. Mereka mengalami suatu keadaan di mana realitas dan penilaian tidak lagi diperhatikan, sehingga mereka tidak bisa menilai klaim-klaim yang dilontarkan secara objektif (Jamaluddin, 2017).
Masyarakat kita saat ini masih belum bisa beradaptasi dengan perbedaan pendapat yang seharusnya lumrah. Media sosial, yang seharusnya bisa menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan baik dengan sesama di mana seseorang bisa dengan bebas mengutarakan pendapatnya justru menjadi lingkungan yang toxic karena setiap orang berupaya untuk “menyenangkan” pandangan yang dipercaya oleh mayoritas supaya tidak mendapatkan serangan dan kesalahpahaman.
Di sisi lain, homo sapiens adalah spesies yang terus berevolusi, labil dalam pandangan dan pikiran, serta bertindak sesuai dengan insting primal dasar yang kita miliki. Dalam posisi masyarakat sebagai netizen, tugas kita untuk memilih mau bereaksi seperti apa, langsung marah-marah dan memproyeksikan perasaan pribadi kita tanpa melihat konteksnya atau mencoba melihat suatu pandangan sesuai dengan konteksnya secara objektif.
Yang perlu kita bangun di sini adalah kemampuan untuk melihat konteks suatu konten sebelum berinteraksi dengan konten itu. Karena, bisa jadi kita berada di luar konteks itu. Konflik terjadi ketika ada miskomunikasi soal konteks, dan yang terproyeksikan seringkali debat kusir. Oleh karena itu, ketika kita membaca atau melihat pandangan atau pendapat tertentu di media sosial, sangat penting untuk memperhatikan konteks dari pendapat tersebut secara objektif, agar miskomunikasi bisa diminimalisir dan kita tidak melakukan misinterpretasi terhadap pandangan orang lain.
Referensi
Liu, Zhe; Ingmar Weber. 2014. “Cross-Hierarchical Communication in Twitter Conflicts.” Diakses dari: https://t.co/mw0q7hpalK?amp=1 pada 24 November 2020, pukul 21.00 WIB.
Jamaluddin, Muhammad Naim Fikri. 2017. “Perbandingan Teori Struktur Kepribadian Sigmund Freud dan Imam Al-Ghazali.” Psikoislamika Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam, 14(2):21. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/332217853_Perbandingan_Teori_Struktur_Kepribadian_Sigmund_Freud_dan_Imam_Al-Ghazali pada 24 November 2020, pukul 19.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.