Apakah penting membangun kultur masyarakat demokratis? Jawabannya adalah, sangat penting! Saya mengawali kata pembuka dalam tulisan ini dengan penekanan betapa pentingnya membentuk suatu kultur atau kebudayaan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis dan menghargai hak-hak universal manusia.
Tulisan yang saya buat ini adalah respon terhadap kultur radikal dan totaliter dari bangsa ini. Pelarangan pembuatan paseban atau makam leluhur komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan oleh aparat negara (yang harusnya menjaga hak dan kebebasan sipil) merupakan simbol bahwa penghargaan terhadap kebebasan beragama dan apresiasi terhadap perbedaan saat ini betul-betul parah sekali.
Bagaimana bisa, ketika bangsa dan negara lain seperti Singapura dan Hongkong berusaha menciptaan kultur masyarakat yang lebih demokratis, di Indonesia, justru malah berkembang sikap anti kebebasan dan anti terhadap perbedaan keyakinan. Lebih parahnya, sikap intoleran ini justru dilanggengkan oleh para politisi dan aparat negara.
Di saat dunia mengharapkan kebebasan sipil dan demokrasi politik, di Indonesia, kita semua seolah seolah tutup mata ketika negara bertindak represif terhadap kebebasan beragama warganya. Dan lucunya, jika muncul kekerasan SARA atau bentrok antar agama di masyarakat, hampir masalah tersebut tak mampu diatasi dan diredam oleh aparat negara. slogan-slogan anti radikalisme sebenarnya adalah slogan anti kritik terhadap kewenangan pemerintah. Alih-alih menolak radikalisme, negara justru memelihara kultur radikal dengan membungkam kebebasan dan demokratisasi.
Memahami Sebuah Kultur
Dalam kamus Inggris-Indonesia, kata kultur adalah kata serapan bahasa inggris dari culture yang artinya sinonim dengan kebudayaan (Echols & Shadily, 1996). Kebudayaan itu sendiri adalah norma dan juga adat kebiasaan masyarakat. Sikap hidup, pola pikir, pandangan, dan juga hukum merupakan cerminan dari kultur masyarakat. Saya pribadi menyebut bahwa kultur adalah cara masyarakat untuk hidup dan beradaptasi sesuai situasi zaman.
Contohnya pada zaman prasejarah, manusia dituntut untuk memiliki keberanian besar, gotong royong dan juga kreatif. Keberanian untuk berburu, gotong royong antar individu dalam kelompok untuk mempertahankan hidup mereka. Mereka dituntut untuk kreatif untuk membangun rumah perlindungan dan senjata berburu. Masyarakat primitif menciptakan kultur seperti demikian untuk bertahan hidup dan beradaptasi.
Setiap zaman berubah maka kultur atau budaya juga akan berubah, misalnya masyarakat agraris dahulu cenderung memiliki filosofi agar harmonis selaras dengan alam, dan pasif pada kodrat (takdir). Sedangkan, masyarakat industri dan modern cenderung memiliki watak untuk merekayasa alam dan juga tidak berpangku tangan pada takdir.
Saya pribadi tidak hendak mengklasifikasi budaya industri baik dan budaya masyarakat agraris buruk. Bagi saya kebudayaan yang baik adalah kesesuaian manusia dalam mengikuti semangat zaman dan juga meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika kultur yang dibuat oleh manusia cenderung ke arah konstruktif, maka ia sudah berhasil menyeimbangkan kehidupannya dengan lingkungan dan keadaan zaman.
Sebaliknya, jika kultur masyarakat justru membuat chaos dan juga berujung pada kemandekan, maka ada yang salah. Jika manusia atau masyarakat menciptakan pola kultur yang tidak dapat menyesuaikan dengan semangat zamannya atau bahkan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, tentu saja hal ini harus diubah dan diperbaiki.
*****
Pasti setiap kita pernah mendengar bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat ramah yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai orang lain, dan juga memiliki adat guyub (tolong menolong). Tentu kita juga pernah mendengar penuturan dari generasi pendahulu kita kita bahwa dahulu orang-orang hidup secara ramah dan juga saling gotong royong.
Namun, tampaknya apa yang dituturkan tersebut akan menjadi cerita dari zaman yang lampau. Gambaran masyarakat kita saat ini nampaknya tidak begitu mencerminkan budaya guyub dan toleran sebagaimana yang diterangkan oleh orang tua kita.
Kemajemukan dan budaya toleran masyarakat kita terus tergerus dengan hadirnya berbagai konflik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Konflik-konflik sosial tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan mencederai nilai kemanusiaan dan menciptakan kultur kekerasan ditengah-tengah masyarakat.
Kompas mengutip hasil penelitian dari Yayasan Denny J. A. yang mencatat bahwa selama 14 tahun kita memasuki era Reformasi (tahun 2012), setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 65 persen berlatar belakang agama. Sementara sisanya kekerasan etnik sekitar 20 persen, kekerasan gender sebanyak 15 persen, kekerasan seksual ada 5 persen (Kompas, 06/02/2020).
Kekerasan di sini jangan dipersempit hanya sebagai bentuk baku hantam atau pemukulan fisik. Lebih jauh lagi, kekerasan yang dimaksud adalah intimidasi dan juga diskriminasi yang mengancam eksistensi kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, kekerasan pada kelompok Waria (transpuan) di Jakarta Utara, atau pada kelompok agama seperti Ahmadiyah, Mormon, dan Aliran Kepercayaan.
Tidak hanya pada kelompok etnis atau agama, kadang kekerasan juga intoleransi juga muncul pada hal-hal yang sepele di kehidupan sosial kita. Contohnya, perseteruan antar pendukung sepakbola, antar tetangga, bahkan juga pemaksaan kehendak oleh orang tua terhadap anak.
Kultur kekerasan dan intoleransi secara kompleks sudah mengakar dari hal-hal yang besar hingga hal yang terkecil. Kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh kelompok Sunda Wiwitan yang terjadi di wilayah Kuningan, hakekatnya seperti fenomena gunung es. Ia hanya akibat dari faktor-faktor kultur masyarakat kita yang terdisrupsi, menyimpang dari nilai-nilai luhur yang berbasis pada toleransi, kemanusiaan, gotong royong, dan penghargaan terhadap kebebasan setiap orang.
Membumikan Kultur Kebebasan
Tujuan awal dari gerakan Reformasi 1998 pada dasarnya bukan hanya sekedar untuk menurunkan seorang presiden dan juga partainya. Lebih jauh lagi, tujuan dari reformasi adalah menciptakan sebuah negara dan masyarakat yang demokratis, bertumpu pada kebebasan individu, dan juga mengikis totalitarian yang membawa kultur represif pada kebebasan individu.
Namun, dalam perjalanannya, visi-visi reformasi justru dinodai oleh kepentingan politik dan kelompok yang menyuburkan kembali mayoritarianisme. Mayoritarianisme atau kelompok mayoritas yang meredam kelompok-kelompok minoritas, sebenarnya adalah “distorsi” atas demokrasi.
David Mathews, dalam buku “Ekologi Demokrasi”, menjelaskan bahwa distorsi ini terjadi karena masyarakat tidak terlibat dalam proses demokrasi. Mereka selalu ada di pinggir jalan dan demokrasi berubah menjadi panggung politisi. Masyarakat memandang demokrasi hanya sebatas voting atau pemilihan, sehingga orang tidak memahami bahwa demokrasi adalah wadah hidup mereka (Mathews, 2017).
Kegagalan reformasi dalam mengembalikan spirit demokrasi inilah yang menjadi salah satu penyebab kultur kekerasan dan intoleransi hidup. Di sisi lain, hukum di Indonesia tidak sepenuhnya bersandar pada penghargaan terhadap kebebasan dan juga penghargaan terhadap yang berbeda. Gagalnya negara dalam melindungi kelompok minoritas adalah bentuk bahwa visi reformasi di Indonesia, menciptakan kultur civil society, belum sepenuhnya terwujud.
Masalah membangun kultur demokrasi juga bukan sekedar masalah internal individu dengan individu, lebih jauh lagi, antara negara dan masyarakat. Gus Dur berpendapat bahwa perbedaan kepentingan antara politik kekuasaan dan juga kebebasan sipil akan terjadi di negara berkembang, khususnya Indonesia. Karena itu, di Indonesia gagasan kebebasan dan liberalisme selalu dipropagandakan sebagai momok yang menakutkan (Gus Dur, 2010).
*****
Kemajuan telekomunikasi dan transportasi telah mengubah cara hidup manusia. Adanya media sosial dan juga trend turisme telah membuat dunia bagai desa kecil. Manusia antar negara, suku, ras saling berinteraksi dan berkomunikasi, tak ayal setiap kita akan menemukan berbagai perbedaan dan juga keragaman budaya dan pandangan masing-masing bangsa dan manusia.
Media sosial juga membuat kita sadar betapa beragamnya pandangan dan isi otak masing-masing individu. Globalisasi telah menciptakan budaya baru, di mana manusia harus berani menerima perbedaan dengan lapang dada. Globalisasi dan kemajuan zaman justru “memaksa” kita agar menerima perbedaan-perbedaan antar individu dan antar bangsa. Di era global ini, kemajemukan harus diterima sebagai kodrat bukan sebagai halangan.
Globalisasi telah menciptakan cara pandang baru dan juga sebuah sistem nilai baru, di mana kita harus bisa menghargai kebebasan berpikir tiap individu. Hal yang sama juga terjadi dengan kita di Indonesia, di mana kita harus mampu membangun kultur demokratis dan toleran. Kemajuan zaman menuntut keterbukaan pemikiran dan tenggang rasa. Jika kita mempertahankan pola pikir sempit dan bersikap protektif terhadap pemikiran dan budaya asing, niscaya kita akan tergilas oleh kemajuan zaman.
Menciptakan kultur demokrasi dan juga kebebasan merupakan kosekuensi logis ditengah-tengah arus kemajuan global. Fanatisme golongan, intoleransi, diskriminasi terhadap suatu kelompok tidak akan memberikan nilai positif apapun. Dari segi ekonomi, ketidakstabilan masyarakat akan membuat pembangunan ekonomi terhambat, daya kreativitas terhalang, dan persaingan yang tidak sehat akan terjadi.
Lalu bagaimanakah caranya untuk membangun kembali kultur demokrasi dan kebebasan?
Saya sendiri menyadari bahwa untuk membangun sebuah kultur atau budaya yang mempengaruhi masyarakat sangat sulit dan sukar. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Membangun kultur demokratis adalah proyek besar yang harus mengikutsertakan banyak orang.
Di sini, saya percaya pada pandangan Cathy Resenwitz, bahwa gagasan perdamaian dan juga kebebasan harus digemakan dan dimulai dari setiap individu yang sadar akan pentingnya toleransi dan demokrasi. Gerakan menolak kekerasan harus dimulai dari sikap voluntaristik yaitu menggemakan secara sukarela. Gerakan ini harus dimulai dari gerakan di media sosial, surat kabar, advokasi, hingga jalan politik. para aktivis dan penyuara kebebasan harus menggemakan ide-ide kebebasan dan toleransi (Resenwitz, 2015).
Koentjaraningrat, dalam buku Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, menjelaskan bahwa salah satu wujud ideal kebudayaan adalah sebuah gagasan abstrak. Kebudayaan tidak dapat diraba, difoto yang lokasinya berada di kepala manusia. Dengan kata lain, ada dalam gagasan kolektif masyarakat yang mewujudkan gagasan tersebut menjadi sebuah kebudayaan atau kultur (Koentjaraningrat, 2015).
Dengan demikian, untuk mengubah dan mewujudkan sebuah kultur baru, harus ada upaya untuk mengubah paradigma masyarakat secara bertahap melalui edukasi dan juga penyebaran gagasan-gagasan tentang demokrasi, toleransi, perdamaian, dan multikulturalisme.
Referensi
Buku
Enchols, John & Hasan Shadily, 1996, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Kompas Gramedia.
Mathews, David. 2017. Ekologi Demokrasi, terj. Barikatul Hikmah. Jakarta: Parasyndicate.
Resenwitz, Cathy & Tom G. Palmer (editor). 2015. Peace, Love, Liberty. Jakarta: Freedom Institute.
Wahid, Abdurrahman (Gus Dur). 2010. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman. Jakarta: Kompas Gramedia.
Internet
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/190000569/kasus-kekerasan-yang-dipicu-masalah-keberagaman-di-indonesia?page=all Diakses pada 27 Juli 2020, pukul 15.38 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com