Sebuah berita dari BBC.com (22/9/2020) menceritakan tentang Kim Wook-Suk (nama samarannya), seorang pria yang tinggal di Korea Selatan. Ia lahir dari keluarga yang bahagia dan taat dalam beragama. Namun, kebahagiaan dan dan ketenangan hidup seolah lari darinya ketika keluarganya menyadari bahwa Kim adalah anak yang berbeda. Kim ternyata adalah seorang homoseksual.
Keluarganya shock dan sang ibu merasa terpukul. Kim diusir oleh ibunya, dan si Ibu mengatakan bahwa dia adalah pendosa dan penyebar virus AIDS. Yang lebih buruk lagi, Kim juga dipecat sebagai koki, pemilik restoran adalah seorang Protestan yang taat sekaligus homofobik. Korea Selatan selama ini memang dianggap sebagai surga hiburan bagi banyak orang, termasuk oleh warga Indonesia. Para pecinta K-pop-ers selalu berharap bisa pergi ke sana dan menikmati Kota Seoul yang eksotik. Namun, siapa sangka, di negeri 1001 hiburan tersebut, justru bukan tempat yang baik bagi komunitas homoseksual.
Dalam pemberitaan dari BBC, komunitas homoseksual di Korea Selatan kerap mendapat diskriminasi dan tekanan yang parah, bahkan gereja selalu menasehati keluarga di Korea Selatan untuk menghindari dirinya dari kaum gay yang berdosa. Pengucilan dari masyarakat yang mendapat dukungan dari kalangan agama hampir membuat orang-orang yang memiliki kecenderungan homoseksual di Korea. Hal ini membuat 45% di antara mereka pernah berpikir untuk bunuh diri dan 53% pernah menyakiti dirinya sendiri (BBC.com, 22/9/2020).
Apa yang terjadi pada Kim, juga pernah diberitakan oleh DW.com (1/3/2016), lewat cerita tentang pengalaman Hartoyo yang merupakan seorang Muslim yang taat. Ia berusaha untuk selalu hidup saleh dan berpegang teguh pada aturan-aturan dasar agama Islam. Ia pernah menolak ketika ditawari pekerjaan di sebuah peternakan babi, karena menurutnya babi adalah hewan yang harus dijauhi dalam syariat Islam.
Kesalehan dan juga usahanya untuk selalu dekat pada Allah tak mampu menghindari Toyo dari serbuan caci maki dan diskriminasi oleh lingkungan sosialnya. Ia bahkan pernah ditangkap oleh masyarakat ketika bersama kekasihnya. Ia digiring ke kantor polisi dan aparat memperlakukannya dengan kejam (DW.com, 1/3/2016).
Apa yang terjadi pada Kim Wook-Suk dan Hartoyo bukanlah fenomena asing. Banyak orang di luar sana yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan mayoritas, dan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Jika mereka ingin hidup tenang, mereka harus melakukan kamuflase di hadapan masyarakat agar dirinya selamat dari intimidasi bahkan kekerasan dalam keluarga.
Hidup dalam keadaan “mimikri” adalah siksaan bagi kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseks, Transgender), karena mereka harus menjalani kehidupan palsu agar kehidupannya tidak dirusak oleh mereka yang mengklaim dirinya “normal”. Yang lebih menyakitkan lagi, selain kehilangan hak untuk menunjukan identitas dan hidup layak, komunitas LGBT juga dirampas haknya untuk bertuhan. Mereka kesulitan untuk berbaur dengan para penyembah Tuhan yang lain karena mereka dianggap sebagai pendosa.
*****
Pada beberapa kebudayaan di dunia, kelompok LGBT dianggap sebagai aib. Seorang pria gay dianggap sebagai orang yang telah melanggar kodratnya sehingga ia harus dihukum karena melawan ketentuan Tuhan. Pada masa era kolonial, saat orang-orang Spanyol tiba di Amerika dan mulai berusaha membentuk koloni-koloninya, orang-orang Spanyol terkejut dengan tradisi suku-suku pribumi Amerika, seperti Suku Aztec, Suku Quechua, dan Tupinambá di Brazil, yang mengakui adanya orang yang memiliki hasrat seksual selain heteroseksual. Dalam tradisi suku-suku pribumi, ada orang-orang yang dianggap memiliki dua roh, yang disebut berdache oleh orang-orang Spanyol (Rossa, 2002).
Orang-orang berdache ini kemudian diberi kebebasan untuk menentukan gendernya. Praktik homoseksual pada suku pribumi Amerika, dianggap menjijikkan oleh orang-orang Spanyol, sehingga pasukan Spanyol yang mendirikan koloni di Benua Amerika memaksa agar perbuatan ini dihapus. Sementara, para berdache yang dianggap melawan kodrat Tuhan, akan dihukum dengan cara biadab, di mana mereka diikat di lapangan terbuka dan tubuh mereka dijadikan santapan anjing-anjing kelaparan (Rossa, 2002).
Catatan sejarah terburuk adalah pada dekade 1930-an ketika Nazi menguasai Jerman dan melakukan penangkapan dan pembunuhan secara massal orang-orang homoseksual. Nazi meyakini bahwa laki-laki homoseksual adalah laki-laki lemah yang tidak dapat berjuang untuk bangsa Jerman. Mereka menganggap kaum homoseksual akan menghambat pertumbuhan populasi “bangsa Arya”. Sehingga, salah satu petinggi Nazi, Heinrich Himmler, melakukan penangkapan terhadap orang-orang homoseksual yang dianggap merusak kekuatan bangsa Arya (Ensiklopedia Holocaust).
Dalam catatan sejarah, mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah korban yang dibunuh dan atau bunuh diri karena merasa tersiksa oleh intimidasi, hanya karena mereka memiliki orientasi seksual yang berbeda dari kebanyakan orang.
Di zaman kita ini, orang-orang kulit hitam sudah lepas dari belenggu perbudakan, dan perempuan sudah merasakan kesetaraan. Persaudaraan manusia pun seolah sudah hadir di depan mata. Namun sayangnya, hanya satu rasanya masih belum berubah. Diskriminasi dan kekerasan terhadap orang yang memiliki orientasi seksual berbeda, yakni kelompok LGBT.
Di Mesir misalnya, tahun 2017 lalu, seorang wanita lesbian ditangkap oleh aparat Mesir dan dikecam luas oleh masyarakat hanya karena mengibarkan bendera pelangi yang menjadi identitas komunitas LGBT saat diadakan konser musik di Kairo. Sarah Hegazy, perempuan yang mengibarkan bendera tersebut, kemudian ditangkap dan ditahan oleh aparat yang berwenang. Di dalam selnya, Sarah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi sehingga ia memutuskan untuk bunuh diri (detik.com, 20/6/2020). Ini menunjukkan bahwa masalah diskriminasi terhadap mereka yang berbeda masih tetap ada dan “dilanggengkan” di era modern sekarang ini.
Mereka Masih Manusia
Beberapa bulan lalu, media massa membahas tentang restu dan berkat Paus Fransiskus kepada pasangan yang memiliki orientasi homoseksual. Publik menjadi gempar dan bingung dengan sikap gereja. Beberapa orang mengklarifikasi bahwa Paus tidak merestui homoseksual tapi memberi berkat kepada mereka. Beberapa orang juga mengatakan bahwa itu adalah pendapat pribadi Paus Fransiskus, bukan pandangan Gereja Katolik secara umum (Detik.com, 24/10/2020).
Di luar perdebatan dan sanggahan yang dilakukan oleh beberapa orang terhadap sikap Paus Fransiskus, surat Paus yang mendoakan pasangan LGBT menurut penulis sebagai “pembuka zaman baru” atau pencapaian yang cukup baik, karena institusi agama merangkul umatnya yang ingin dekat dengan Tuhan tanpa mendeskriminasi orientasi seksual mereka. Mungkin Paus tidak sepenuhnya setuju pada komunitas LGBT. Tetapi, memberi peluang bagi mereka yang disingkirkan untuk “kembali menjadi manusia”. dalam beberapa pernyataannya, Paus Fransiskus juga mengatakan, kuncinya adalah agar gereja menyambut, bukan mengecualikan, dan menunjukkan belas kasihan, bukan penghukuman (The Guardian, 29/7/2013).
Mungkin untuk saat ini banyak di antara kita yang heteroseksual, tidak sepakat dengan perilaku seksual dari sebagian saudara kita yang memiliki kecenderungan homoseksual. Namun, ketidaksepakatan bukan menjadi dalih untuk mendiskriminasi, membenci, bahkan membunuh orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan kita.
Jika sebagian orang menganggap homoseksual adalah penyakit, apakah layak menggiring seorang yang sakit ke dalam jeruji besi? Apapun alasannya, manusia adalah manusia. Apapun warna kulitnya, agamanya, dan gendernya, mereka tetap manusia yang memiliki hak-hak. Dan hak itu langsung diberikan oleh Tuhan, dimana orang yang “bukan Tuhan” tidak bisa mencabutnya.
*****
Waktu kecil, penulis pernah memiliki pengalaman buruk dengan waria atau transgender, sehingga kalau sedang makan atau nongkrong di pinggir jalan tiba-tiba didekati waria, pasti timbul ketakutan dan rasa gemetar. Ya, setiap orang mungkin punya phobia, seperti takut kepada ketinggian, takut pada ruangan sempit, dan lain sebagainya. Namun, ketakutan tersebut bukan alasan untuk membenci. Waria atau transgender tetap seorang manusia yang layak untuk dihargai dan memiliki hak seperti manusia lainnya.
“Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil”. Ungkapan dari Al-Qur’an ini bisa menjadi pijakan awal untuk melihat segala sesuatu secara adil. Termasuk kepada mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda.
Dudukkanlah isu mengenai LGBT dari sudut pandang yang netral. Jika memang LGBT adalah penyakit, mereka tetap mempunyai hak untuk diperlakukan secara manusiawi. Jika kita tidak menyukai mereka, maka jalan yang terbaik adalah tidak saling mengganggu batas privasi orang lain.
Sebagai penutup, maka saya mengutip kembali ucapan Paus Fransiskus,” Jika seorang gay datang mencari Tuhan dan memiliki niat baik, siapakah saya untuk menghakimi? Tanpa memandang orientasi, kita harus tetap bersaudara.” (The Guardian, 29/7/2013).
Referensi
Jurnal
De la Rossa, Alexandre Coello. 2002. ““Good Indians”, “Bad Indians”, “What Christians?”: The Dark Side of the New World in Gonzalo Fernández de Oviedo y Valdés (1478-1557)”. Journal Derlas, Vol 3, No. 2.
Internet
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49785764 diakses pada 16 Desember 2020, pukul 22.10 WIB.
https://www.dw.com/id/lgbt-mulia-di-sisi-allah/a-19070695 diakses pada 16 Desember 2020, pukul 23.42 WIB.
https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/persecution-of-homosexuals-in-the-third-reich diakses pada 17 Desember 2020, pukul 02.53 WIB.
https://news.detik.com/dw/d-5061666/pernah-ditangkap-dan-disiksa-aktivis-lgbt-mesir-bunuh-diri diakses pada 17 Desember 2020, pukul 03.22 WIB.
https://www.theguardian.com/world/2013/jul/29/pope-francis-openness-gay-priests?CMP=twt_fd diakses pada 17 Desember 2020, pukul 05.51 WIB.
https://news.detik.com/bbc-world/d-5226665/pengkritik-komentar-paus-fransiskus-soal-homoseksual-adalah-pendapat-pribadi Diakses pada 20 Desember 2020, pukul 01.51 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com