Sebagai penggemar berat Tom Hanks, judul film “Forrest Gump” merupakan salah satu film yang kerap dikutip di berbagai artikel mengenai aktor tersebut. Namun, entah kenapa, kemarin-kemarin tidak ada yang pernah membuat saya tertarik untuk menonton film ini atau menelaah lebih tentang isi dari film ini. Menurut saya dulu, film-film adaptasi novel Dan Brown, seperti “The Da Vinci Code” atau “Angels and Demons” yang dimainkan oleh Tom Hanks merupakan yang terbaik dari segalanya.
Sampai waktunya saat sepulang sekolah, jam tiga atau lewat sedikit, saya melihat seorang bapak tua yang memakai penyangga besi di kedua kakinya. Ketika bapak itu tampak seperti ingin membeli gorengan, Beliau masuk dalam antrian, tapi kemudian mendapat beberapa tatapan sinis seolah berbisik, “Aduh lama deh jalannya. udah panas banget nih!”
Sama seperti cerita di film Forrest Gump, penampilan fisik tokoh “Forrest Gump” diceritakan bungkuk. Ia lahir dengan punggung yang bungkuk dan disebut dalam filmnya sebagai “bungkuknya para politikus”. Karena kekurangan fisiknya tersebut, Forrest harus mengenakan dua penyangga di kedua kakinya. Lebih berat lagi, ia pun harus siap menerima cacian dari teman-teman seumurannya.
Dari film ini, saya banyak belajar, tentang bagaimana para penyandang disabilitas berjuang melawan keadaan fisik mereka, menerima tak sedikit cacian dari orang-orang sekitar mereka. Ketika mimpi mereka diremehkan hanya karena kondisi fisik mereka yang terbatas, penyandang disabilitas merasa bahwa hak dan kewajiban mereka tidak sama dengan orang yang lebih “sempurna” dari mereka.
Penyandang disabilitas digolongkan juga sebagai salah satu kelompok rentan. Kelompok rentan yakni kelompok yang paling sering menerima perlakuan diskriminatif dan hak-haknya sering tidak terpenuhi. Hal ini bukan tanpa sebab, karena penyandang disabilitas seringkali dianggap sebagai orang cacat yang paling banyak mendapatkan perlakuan diskriminatif serta masih banyak hak-hak lain yang belum terpenuhi bagi kaum disabilitas.
Data difabel menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2018 menunjukkan bahwa, dari kelompok usia 2-6 tahun berjumlah 33.320.357 jiwa. Yang merupakan penyandang disabilitas sedang sebanyak 1.150.173 jiwa, sedangkan penyandang disabilitas berat 309.784 jiwa. Kelompok usia 7-18 tahun berjumlah 55.708.205 jiwa terbagi atas penyandang disabilitas sedang sebanyak 1.327.688 jiwa, sedangkan penyandang disabilitas berat berjumlah 433.297 jiwa. Kelompok usia 19 – 59 tahun sebanyak 150.704.645 jiwa yang terbagi atas penyandang disabilitas sedang berjumlah 15.834.339 jiwa, sedangkan penyandang disabilitas berat sebanyak 2.627.531 jiwa. Kelompok usia lebih dari 60 tahun sebanyak 24.493.684 jiwa dengan rincian yaitu penyandang disabilitas sedang sebanyak 12.073.572 jiwa, sedangkan penyandang disabilitas berat 3.381.134 jiwa (difabel.tempo.co, 1/11/2019).
Begitu banyaknya penyandang disabilitas di Indonesia, maka perlu ada dukungan dan kampanye kepada masyarakat agar saudara-saudara kita yang penyandang disabilitas bisa setara dengan warga lainnya. Masih banyak perilaku diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Perilaku diskriminatif terhadap penyandang disabilitas itu umumnya diakibatkan oleh negative awareness tentang apa itu disabilitas dan siapa itu penyandang disabilitas.
Pemahaman negatif tentang disabilitas dan penyandang disabilitas antara lain berakar dari pola pikir pada masyarakat yang didominasi konsep normalitas. Sejarah telah memperlihatkan bahwa orang-orang yang penampilan atau tubuhnya kelihatan atau dipandang sebagai “berbeda” dari yang dianggap oleh masyarakat sebagai normatif, sebagai normalitas, akan dianggap sebagai yang tidak diinginkan dan tidak dapat diterima sebagai bagian dari komunitas (Couser, 2009).
Pelabelan negatif sebagai “berbeda dari yang diterima sebagai normalitas” adalah suatu proses stigmatisasi. Sikap dan perilaku diskriminatif akan muncul bila stigmatisasi tersebut berlanjut dengan pembedaan lebih lanjut antara lain berupa pemisahan secara paksa dan segregation, atau pengeluaran karena dianggap bukan bagian integral social exclusion, atau tidak termasuk socially devalued (kurang bernilai sosial).
Selain pemahaman negatif terhadap disabilitas, perubahan cara pandang dari charity-based menjadi social-based sudah seharusnya mendasari perkembangan isu disabilitas, terutama dalam konteks HAM. Saat ini, terutama setelah disahkannya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), penyandang harus dijamin dan dipenuhi hak- haknya sebagai seorang manusia.
Sebagai penutup, disability awareness-raising adalah hal yang sangat penting. Mulai dari mengatasi kesenjangan informasi dan edukasi tentang ragam istilah, memberi pemahaman yang tepat dalam bersikap, berperilaku yang lebih baik, dan menghargai hak asasi para penyandang disabilitas guna penerimaan terhadap mereka (disability awareness) di Indonesia. Mereka tidak perlu diistimewakan, tapi mereka perlu diberikan jaminan atas kesetaraan haknya dengan yang lain.
Referensi
Couser, G.T. 2009. Three Paradigms of Disability. https://www.academia.edu/2306082/ Diakses pada 23 Agustus 2021, pukul 13.00 WIB.
https://difabel.tempo.co/read/1266832/berapa-banyak-penyandang-disabilitas-di-indonesia-simak-data-ini Diakses pada 24 Agustus 2021, pukul 15.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.