Internet saat ini merupakan salah satu hal yang tidak bisa kita hindari di dunia modern, terlebih lagi yang tinggal di kota-kota besar. Jaringan internet saat ini telah memiliki peran besar dalam membantu kehidupan kita sehari-hari, mulai dari membeli barang, mendapatkan transportasi, hingga mencari data untuk kebutuhan pekerjaan dan akademis.
Salah satu fungsi dari jaringan internet yang tidak kalah populernya adalah sebagai sarana hiburan. Internet telah menyediakan jutaan layanan hiburan yang dapat kita akses dengan sangat mudah, mulai dari video permainan hingga musik, film, podcast, dan program-program serial.
Portal streaming seperti YouTube misalnya, merupakan salah satu website paling populer di dunia. Berdasarkan data Alexa bulan Agustus 2020, YouTube merupakan website paling populer nomor 2 di dunia, setelah Google (Alexa.com, 2020).
Tidak hanya YouTube, berbagai layanan streaming video on-demand, seperti Netflix juga merupakan layanan yang sangat popular. Netflix telah membawa ribuan film dan serial ke jutaan penonton di seluruh dunia. Berdasarkan laporan NYTimes misalnya, pada bulan April 2020, Netflix sudah memiliki lebih dari 180 juta pelanggan (NYTimes, 21/04/2020). Di Indonesia sendiri, pada tahun 2019 lalu, ada 480.000 pelanggan Netflix. Diprediksi jumlah tersebut akan bertambah 2 kali lipat di tahun ini hingga 900.000 pelanggan (Trade-off.id, 2019).
Namun, fenomena ini menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak, terutama mereka yang bergerak di bidang usaha penyiaran konvensional, merasa tidak nyaman dengan semaking meningkatnya mereka yang mendapatkan hiburan melalui layanan streaming internet. Tidak mustahil, bahwa semakin meningkatnya hal tersebut akan mengambil pasar yang sebelumnya dimiliki oleh media siaran konvensional.
Beberapa waktu lalu misalnya, stasiun televisi swasta RCTI dan iNews melakukan permohonan gugatan terhadap Undang-Undang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi, yang dianggap tidak mengatur layanan “siaran” di internet dengan siaran konvensional. RCTI dan iNews dalam hal ini meminta agar berbagai perusahaan yang menyediakan layanan streaming melalui jaringan internet juga harus tunduk pada aturan yang sama dengan layanan siaran konvensional. Dalam hal ini, RCTI dan iNews sebagai pihak pemohon menyatakan, dengan tidak adanya regulasi tersebut, maka dikhawatirkan akan muncul berbagai program yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Detik.com, 27/08/2020).
Terkait dengan isi permohonan tersebut, saya dalam hal ini, tidak tertarik untuk mempertanyakan apakah kekhawatiran yang dimiliki oleh pihak pemohon merupakan sesuatu yang murni atau tidak. Anda sebagai penonton tentu memiliki pandangan masing-masing apakah memang program-program yang ditayangkan di channel-channel tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, yang menjadi fokus saya adalah kesalahpahaman yang luar biasa terkait dengan pandangan bahwa layanan internet harus diregulasi dengan cara yang sama dengan siaran konvensional. Pertama adalah, tidak seperti layanan siaran konvensional, layanan streaming melalui internet menggunakan layanan over-the-top media service (OTT) dan bukan menggunakan frekuensi publik.
Siaran televisi konvensional, dalam hal ini menggunakan jaringan frekuensi yang dimliki oleh publik dan sangat terbatas. Oleh karena itu, pemerintah sebagai regulator dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menerapkan serangkaian regulasi agar jaringan frekuensi tersebut digunakan sesuai dengan kepentingan publik.
Kedua, dalam sistem persaingan yang bebas, tidak ada larangan bagi setiap perusahaan untuk berkompetisi dan menawarkan produk-produk yang lebih inovatif dan berkualitas untuk menarik konsumen. Terkait dengan hal ini, sejauh pengetahuan saya, tidak ada yang melarang bagi RCTI, iNews, atau perusahaan televisi konvensional lainnya untuk membuat produk dan layanan baru, seperti streaming video-on-demand, untuk berkompetisi dengan perusahaan seperti Netflix.
Saya yakin, bila Netflix atau YouTube ingin membuka stasiun televisi konvensional sebagaimana pihak penggugat Undang-Undang Penyiaran tersebut, maka mereka juga harus tunduk pada regulasi yang dikenakan terhadap siaran konvensional. Sebaliknya, bila RCTI atau iNews ingin layanan streaming video-on-demand, dan pemerintah tetap memberlakukan regulasi terhadap layanan tersebut berbeda dengan YouTube dan Netflix, maka kedua stasiun televisi konvensional tersebut memiliki dasar yang kuat untuk melakukan gugatan.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah, internet saat ini sudah menjadi medium bagi jutaan orang untuk menuangkan kreativitasnya dan berinovasi untuk membuat berbagai program, seperti vlog dan podcast, yang mustahil di-cover oleh media-media siaran konvensional. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang harus dan perlu didorong dan didukung agar semakin berkembang, dan bukan dibatasi dan direpresi dengan serangkaian regulasi ketat karena kepentingan kelompok tertentu.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.