Pada bulan Mei lalu, publik Indonesia dikejutkan dengan berita tersebarnya lebih dari 200 juta data pribadi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kebocoran data tersebut lantas dijual di sebuah forum dunia maya dan menggunakan mata uang crypto sebagai alat transaksinya.
Bocornya data peserta BPJS ini tentu bukanlah kasus kebocoran data pertama yang terjadi di Indonesia. Mungkin beberapa dari kita masih ingat kasus bobolnya jutaan data pengguna dua toko daring ternama di Indonesia, yang terjadi pada tahun 2020 lalu (okezone.com, 31/5/2021).
Kejadian tersebut tentu merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Data pribadi yang kita percayakan kepada sebuah institusi, terlebih lagi kepada institusi pemerintah, seharusnya dijaga dengan sebaik-baiknya, dan menjadi kewajiban institusi tersebut untuk memastikan agar data yang kita miliki tidak dicuri oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Bila data pribadi kita digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang rugi bukan hanya institusi yang menyimpan data, namun kita juga mendapatkan kerugian besar dari kejadian tersebut. Kita bisa dengan mudah menjadi sasaran berbagai tindakan kriminal seperti penipuan. Belum lagi, privasi kita seperti nomor telepon, alamat tempat tinggal, hingga kondisi medis yang kita miliki lantas menjadi hilang (fsb.org.uk, 13/5/2021).
Untuk itu, sangat penting agar Indonesia memiliki kerangka hukum yang bertujuan untuk melindungi data pribadi yang dimiliki oleh warganya. Salah satu upaya yang saat ini banyak didorong oleh berbagai kalangan adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) agar data pribadi masyarakat Indonesia bisa lebih terlindungi dengan baik.
*****
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) sendiri merupakan RUU yang bertujuan untuk menjadi kerangka dari perlindungan data pribadi yang kita miliki. Saat ini, Indonesia masih belum memiiki undang-undang yang menjadi kerangka tersebut, dan perlindungan data pribadi tersebut masih terbagi-bagi dalam 32 undang-undang. RUU PDP sendiri adalah produk undang-undang yang sangat penting karena secara eksplisit menyatakan bahwa data pribadi adalah bagian dari hak asasi yang kita miliki (kompas.com, 9/11/2020).
Hal ini semakin penting mengingat saat ini kita tinggal di era digital, di mana teknologi digital memainkan peran yang sangat penting bagi kehidupan kita sehari-hari. Hampir seluruh langkah untuk melakukan kegiatan kita sehari-hari saat ini dapat kita lakukan melalui teknologi internet dengan sangat mudah, mulai dari kegiatan perbankan, komunikasi, hingga membeli peralatan rumah tangga dan makanan.
Dalam aspek kerangka hukum untuk melindungi data pribadi, Indonesia sendiri terlihat cukup tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Saat ini, setidaknya sudah ada 130 negara yang memiliki kerangka hukum untuk melindungi data pribadi warganya (findonews.com, 29/1/2021).
Di kawasan ASEAN sendiri, sudah ada setidaknya 4 negara yang memiliki produk hukum sebagai kerangka untuk melindungi data pribadi, diantaranya adalah Thailand, Filipina, Singapura, dan Malaysia. Bila Indonesia bisa tahun ini mengesahkan RUU PDP maka kita akan menjadi negara kelima di ASEAN yang memiliki kerangka hukum tersebut (setnas.asean.id, 25/2/2020).
Hak atas privasi sebagai bagian dari hak asasi manusia sendiri juga merupakan hal yang secara global sudah diakui dalam berbagai dokumen dan kovenan internasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUNHAM) misalnya, dalam Pasal 12 dokumen tersebut, secara eksplisit dinyatakan dengan jelas bahwa “Tidak seorang pun boleh diintervensi secara sewenang-wenang dengan privasinya” (privacyinternational.org, 23/10/2017).
Untuk itu, sangat penting bagi Pemerintah Indonesia, khususnya lembaga-lembaga terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), untuk mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk melindungi hak fundamental warga negara untuk mendapatkan privasi. Sayangnya, sepertinya saat ini sumber daya tersebut justru digunakan untuk sesuatu yang tidak krusial. Salah satunya adalah mengatur moral individu, seperti memblokir atau menangani situs dan konten yang dianggap melanggar nilai-nilai kesusilaan.
Padahal, perlindungan data pribadi merupakan hal yang jauh lebih penting untuk menjadi fokus lembaga pemerintah terkait dibandingkan dengan urusan moralitas. Jangan sampai, sumber daya yang dimiliki oleh lembaga pemerintah, yang dibiayai dari uang pajak yang ditarik dari masyarakat, digunakan untuk mengatur urusan tersebut, sehingga mengurangi sumber daya yang dapat digunakan untuk menangani hal-hal yang sangat krusial, seperti melindungi data pribadi warga negara.
Sebagai penutup, hak privasi merupakan bagian dari hak fundamental warga negara yang harus dilindungi. Perlindungan hak atas privasi ini tentu akan mustahil bisa ditegakkan bila data pribadi kita tidak bisa terlindungi dengan baik, mengingat saat ini kita hidup di era digital. Maka dari itu, kita harus terus berupaya untuk mendorong adanya kerangka hukum untuk melindungi data pribadi yang kita miliki.
Referensi
https://findonews.com/130-negara-sudah-punya-uu-perlindungan-data-pelanggan-indonesia-jauh-tertinggal/ Diakses pada 8 Juni 2021, pukul 15.20 WIB.
https://www.fsb.org.uk/resources-page/why-is-data-protection-so-important.html Diakses pada 8 Juni 2021, pukul 14.05 WIB.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/09/184724165/apa-itu-ruu-pelindungan-data-pribadi?page=all Diakses pada 8 Juni 2021, pukul 14.50 WIB.
https://nasional.okezone.com/read/2021/05/31/337/2418242/bikin-geger-berikut-3-kasus-kebocoran-data-pribadi-di-indonesia Diakses pada 8 Juni 2021, pukul 13.15 WIB.
https://privacyinternational.org/explainer/56/what-privacy Diakses pada 8 Juni 2021, pukul 16.25 WIB.
http://setnas-asean.id/news/read/menkominfo-ingin-ri-jadi-negara-ke-5-di-asean-yang-punya-uu-perlindungan-data-pribadi Diakses pada 8 Juni 2021, pukul 15.55 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.