Penangkapan Ustadz Farid Rahman Okbah alias Farid Okbah sebagai tersangka kasus terorisme yang diduga bekerja sama dengan Jemaah Islamiyah kembali mengejutkan masyarakat. Pasalnya, Farid Okbah adalah tokoh ulama besar, bukan kaleng-kaleng. Ia adalah salah satu tokoh pendiri Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan tokoh Partai Dakwah yang cukup terkenal di Indonesia.
Penangkapan tersebut terjadi pada Selasa 16 November 2021, Densus 88 menangkap tiga orang yang diduga terlibat dalam jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI). Polri telah menetapkan tiga tersangka, yakni Farid Okbah selaku Ketua Umum Partai Dakwa Rakyat Indonesia (PDRI), Ahmad Zain An Najah dan Anung Al-Hamad sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana terorisme.
Penetapan status tersebut diputuskan setelah kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap ketiganya. “Sudah (Ketiganya jadi tersangka),” ungkap Kabagbapanops Densus 88 Anti-teror Polri, Kombes Pol Aswin Siregar (Pedomantangerang.com, 17/11/2021).
Bagi penulis pribadi, penangkapan Ustadz Farid memang cukup membuat tersentak. Masih segar dalam ingatan penulis sewaktu masih berstatus mahasiswa, akrab dengan ceramah dan kuliah Beliau baik secara langsung maupun via internet. Karena itulah, penangkapan Ustadz Farid Okbah dan beberapa anggota MUI yang menurut Densus 88 terkait dengan aksi terorisme, benar-benar memprihatinkan.
Dari penangkapan ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa terorisme lahir karena kemiskinan adalah salah sama sekali. Radikalisme adalah sebuah ideologi laten yang bisa merasuk ke pikiran banyak orang. Terorisme tidak muncul karena adanya faktor ekonomi, hal ini dibuktikan dengan penangkapan para terduga teroris kelas atas yang notabene adalah pengusaha dan orang berada.
Kita masih ingat dengan Noordin M. Top dan Dr. Azahari. Keduanya adalah tokoh yang mapan, pintar dan mempunyai kejeniusan di bidang teknologi. Namun, karena keduanya terpapar oleh radikalisme dan fanatisme buta pada keyakinannya, akhirnya kecerdasan mereka diarahkan untuk merugikan banyak orang.
*****
Pemerintah saat ini sudah menggelontorkan uang miliaran rupiah untuk menanggulangi paham radikal. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2020 bahkan meminta anggaran sebesar Rp304,7 miliar untuk mencegah perkembangan paham teroris di kalangan masyarakat (Tempo.co, 15/9/2020).
Anggaran itu nantinya akan digunakan untuk program penanggulangan terorisme yang terbagi menjadi lima kegiatan. Yakni, penanggulangan terorisme bidang pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi. Memang, setelah terjadi ledakan bom Gereja Katedral di Makassar yang dilakukan oleh pasangan suami istri, dan juga aksi penyerangan Mabes Polri yang dilakukan oleh simpatisan Jemaah Ansharut Tauhid, membuat perburuan terhadap terorisme semakin gencar.
Menurut Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Polri, mereka telah berhasil menangkap sebanyak 315 terduga teroris selama periode bulan Januari hingga September 2021.”Rinciannya terdiri dari 300 laki-laki dan 15 perempuan,” ujar Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri, Komisaris Besar Aswin Siregar (Tempo.co, 11/10/2021).
300 orang yang ditangkap bukan jumlah yang sedikit, apalagi mereka yang ditangkap adalah jaringan-jaringan kecil, sehingga masih terus digali jaringan lainnya yang masih aktif dan gencar menyebarkan ideologinya.
Apakah Deradikalisasi Kita Berhasil?
Banyaknya tokoh teroris yang ditangkap dan beberapa tokoh ternama yang ikut terjaring dalam daftar hitam terorisme membuat banyak orang bertanya, apakah program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah bisa dikatakan berhasil atau gagal?
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyadarkan narapidana terorisme telah berhasil. Selain itu, banyaknya oknum teroris yang ditangkap menjadi salah satu acuan keberhasilan program deradikalisasi pemerintah.
Namun, sebagian pengamat mempertanyakan klaim Mahfud MD yang mengatakan bahwa program penanggulangan terorisme berjalan efektif. Salah satu tokoh yang mengkritik adalah TB Hasanuddin, Anggota Komisi I DPR RI.
TB Hasanuddin menilai program deradikalisasi di Indonesia gagal. Sebab, paham radikalisme dan ancaman terorisme di Indonesia masih menyebar dengan masif. Penyerangan gereja katedral dan terendusnya para tokoh ternama yang menjadi aktor teroris membuktikan apa yang dilakukan pemerintah harus dievaluasi (Detik.com, 1/4/2021).
*****
Dalam hal ini, penulis secara pribadi tidak ingin memberi suatu pernyataan apakah penangkapan Ustadz Farid Okbah dan rekannya sebagai suatu prestasi atau kegagalan dalam memitigasi terorisme. Program deradikalisasi memang baik, namun dalam metode dan kinerjanya harus dievaluasi agar dana penanggulangan teroris benar-benar teralokasi dengan baik.
Pertama, dalam menghadapi terorisme dan juga mendata kelompok radikal, pemerintah masih bersikap ‘mendikte’, ‘menggurui’, dan merasa sebagai garis yang benar. Tolak ukur untuk mengidentifikasi masih bias, seolah setiap kelompok yang kritis terhadap pemerintah dan juga melakukan aksi-aksi yang dianggap subversif dianggap sebagai teroris. Hal ini sangat tidak tepat.
Jika pemerintah menjadikan dirinya sebagai tolak ukur “tidak radikal” dan mereka yang keluar dari garis kebijakan pemerintah disebut ‘radikal’, maka ini membuat pemberantasan terorisme dan radikalisme menjadi bertambah ngawur. Pemerintah tidak membedakan mana kelompok yang kritis demi tanah air dan mana kelompok yang ingin merubah struktur fundamental bangsa dan negara.
Contohnya adalah, menyebut beberapa orang yang tidak lulus dalam Tes Wawasan kebangsaan (TWK) KPK seperti Novel Baswedan sebagai ‘kelompok Taliban’ yang pro radikalisme. Padahal kenyataannya, mereka adalah tim penyidik yang bekerja profesional dalam penanggulangan korupsi.
Monopoli pemerintah dalam menjustifikasi mana kelompok radikal dan mana yang buka kelompok radikal, membuat masyarakat kedepannya akan curiga dan mempertanyakan “benarkah kelompok radikal itu ada?”.
Dalam demokrasi, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah yang diluapkan dalam bentuk kritik keras di media massa atau media sosial adalah hal yang lumrah dan wajar. Pemerintah perlu mengakomodir kritik-kritik tersebut sebagai bahan evaluasi, bukan sebagai ujaran kebencian dari kelompok radikal.
Jika sifat monopoli radikalisme ini terus berlanjut, maka tak heran jika nantinya rakyat akan apatis terhadap program-program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Tentu saja, hal ini akan merugikan penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh negara.
Kedua, program radikalisme yang dilakukan bersifat seremonial dalam artian hanya bertumpu pada lokakarya, seminar, dan juga pelatihan. Ini tidak berarti program seminar dan pelatihan salah dan tidak bermanfaat. Namun, harus dicatat bahwa radikalisme dan terorisme tidak akan hilang hanya dengan melakukan seminar.
Pemerintah harus menyadari bahwa mereka tidak bisa menjadi ‘pahlawan tunggal’ dalam memberantas terorisme. Kesiagaan masyarakat dan masyarakat sipil sangat penting dalam menanggulangi radikalisasi.
Radikalisme dan terorisme berakar dari pensakralan ideologi yang dianutnya. Karena itu, pemerintah harus mendekati masyarakat yang anti radikalisme dan berpandangan moderat untuk menyebarkan gagasan kebebasan, demokrasi dan juga pluralisme.
Media, organisasi masyarakat, institusi pendidikan dan juga LSM adalah agen-agen dalam masyarakat yang membentuk pikiran dan tindakan orang-orang dalam komunitas masyarakat sipil, Dalam situasi seperti sekarang ini, untuk membendung intoleransi di media sosial yang begitu menguat, tidak bisa hanya berpangku tangan pada pemerintah.
Pemerintah dengan segala birokrasi politik tak akan mampu memangkas intoleransi. Hanya kekuatan masyarakat sipil atau masyarakat akar rumput saja yang mampu melakukan counter narasi terhadap paham-paham radikal.
Kemudahan masyarakat dalam mengakses gagasan toleran dan moderat tentu secara tidak langsung akan mengikis gagasan radikal dan terorisme. Posisi pemerintah hanya cukup memberi wadah dan fondasi berpijak pada komunitas pro demokrasi dan toleransi untuk memangkas gagasan-gagasan tersebut. Biarkan gaungan ide-ide kebebasan dan toleransi beradu dan berdialog di masyarakat.
Referensi
https://nasional.tempo.co/read/1386596/bnpt-minta-tambahan-anggaran-rp-3047-miliar-untuk-2021/full&view=ok Diakses pada 17 November 2021, pukul 18.03 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1516133/periode-januari-september-2021-densus-88-ringkus-315-terduga-teroris/full&view=ok Diakses pada 17 November 2021, pukul 18.43 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-5516222/tb-hasanuddin-operasi-deradikalisasi-gagal-anggarannya-triliunan-rupiah. Diakses pada 17 November 2021, Pukul 19.00 WIB.
https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/hukum/pr-073033431/densus-88-tetapkan-farid-okbah-dan-2-rekan-lainnya-jadi-tersangka-kasus-terorisme Diakses pada 17 November 2021, pukul 17.42 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com