“Bung Besar Mengawasi Anda” (Orwell, 1984).
Pada tahun 1949, George Orwell menerbitkan sebuah novel fiksi mengenai gambaran kehidupan pada tahun 1984. Di tahun tersebut, kehidupan manusia terkekang oleh sistem totalitarian, pembatasan, dan penyensoran, tanpa memberikan ruang gerak individu untuk berkreasi mengikuti nurani.
Orwell mengajak kita untuk berimajinasi tentang suatu dunia di masa depan yang suram, tentang rakyat yang hidup di sebuah negara totaliter dan tengah dilanda krisis peperangan. Dunia di mana kebebasan adalah tabu, kolektivitas absolut berlaku, hak asasi adalah semu, dan perdamaian dunia adalah dongeng pengantar sebelum tidur.
Winston Smith, karakter utama novel ini, harus menerima kenyataan bahwa ia hidup dalam suatu negara yang diawasi oleh penguasa yang dikenal dengan nama “Big Brother”. “Bung Besar” yang selalu mencampuri urusan dirinya, memutuskan jalan hidupnya, dan mengambil alih pandangan politiknya.
Bisa dibayangkan hidup dalam dunia yang penuh dengan pengekangan dan paksaan semacam itu. Dunia di mana Winston Smith hidup, adalah dunia yang suram, kejam, dan penuh dengan pergolakan. Peperangan sudah menjadi hal yang biasa, kebohongan menjadi kebenaran, menjadi pintar adalah kesalahan, anak-anak dididik untuk mencintai partai dan negara dibanding keluarga.
Di setiap sudut jala, ada poster propaganda “Big Brother is Watching You” (Bung Besar Mengawasi Anda). Setiap hari, orang-orang memantau berita yang tayang untuk dibaca, mengawasi sambungan telepon, dan menyadap apa yang dibicarakan, dengan tujuan menjaga stabilitas agar tidak ada pembangkangan pada “Bung Besar”.
*****
Dunia yang digambarkan oleh George Orwell dalam novelnya memang sangat mengerikan. Pengawasan dan penyensoran atas tindakan privasi kita oleh negara, bisa dikatakan sama saja dengan “mengikat anjing dengan rantai”.
Ya, dunia ala Orwell tidak terjadi saat ini. Saat ini, kita tidak hidup dalam “Dunia Orwellian” yang penuh kekangan. Bisa dikatakan, demokrasi dan kebebasan masih bisa dapat dinikmati dan kita rasakan.
Tetapi, bukan meramal masa depan yang menjadi pesan utama novel tersebut. Orwell bukan seorang cenayang yang mendapat bisikan gaib untuk meramalkan kejadian dan peristiwa yang terjadi tahun 1984. Orwell ingin memberi pesan kepada masyarakat, bahwa kebebasan dan juga demokrasi bisa hangus bahkan lenyap oleh kaki tangan otoritarian yang merasa mereka paling mengerti dan merasa paling merepresentasikan keinginan rakyat.
Dunia Orwellian bukan sebuah gambaran dari masa depan, tetapi sebuah kekhawatiran yang patut dicemaskan oleh semua orang. Iya, memang dunia tersebut toh tidak terjadi di negeri kita. Namun, potensi adanya sebuah keadaan dunia seperti “1984” yang dapat mengancam kebebasan individu harus tetap harus kita waspadai.
Bisa Anda bayangkan, jika kehidupan modern yang merdeka, bebas, dan mendapat jaminan hukum, tiba-tiba berubah menjadi terkekang dan selalu diatur sesuai dengan kemauan pihak-pihak tertentu? Apakah nyaman hidup dalam bayang-bayang totalitarian di mana segala ekspresi karya harus menghadapi penyensoran dan aktivitas kita di media sosial atau komunikasi seluler selalu diawasi oleh pihak tertentu?
Tentu saja jawabannya adalah tidak! Setiap orang ingin hidupnya bebas. Aturan-aturan hukum dan norma yang berlaku harus dapat menjamin hak asasi manusia. Kontrol terhadap kebebasan hanya demi kepentingan penguasa tentu saja tidak bisa dibenarkan.
George Orwell ingin agar kita mewaspadai lahirnya kebijakan-kebijakan represif dan totaliter yang dapat memicu hadirnya sebuah negara dengan ekosistem politik seperti “1984”. Kontrol atas harga, kontrol pemikiran, kontrol atas kehidupan, kontrol atas politik, dan berbagai kontrol lainnya yang diciptakan oleh penguasa, yang membatasi kebebasan, harus benar-benar diwaspadai. Pemerintah yang berkuasa memiliki segala sumber daya dan kekuasaan penuh di sebuah negara, sehingga untuk menangkal adanya totalitarianisme negara, hal yang harus dilakukan adalah menjaga agar tetap demokrasi politik tetap berjalan.
Salah satu bagian dari pelanggaran kebebasan individu oleh negara adalah adanya kontrol pemikiran lewat sebuah badan yang bertugas untuk mengawasi dan menyensor pandangan individu yang diduga membahayakan negara. Dan yang paling disayangkan di Indonesia, justru berdiri sebuah lembaga yang mengawasi aktivitas dan pandangan orang-orang di media sosial, yaitu polisi virtual.
Beberapa waktu belakangan, tersiar kabar bahwa seorang mahasiswa asal Slawi, Jawa Tengah ditangkap oleh polisi virtual karena mengkritik Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming. Mahasiswa berinisial AM tersebut mengkritik Gibran dalam akun media sosialnya dengan tuduhan “dikasih jabatan”. Inilah yang kemudian membuat polisi virtual untuk menangkap mahasiswa tersebut (SeputarTangsel.com, 18/3/2021).
*****
Dalam politik, rasa benci atau rasa suka, adalah hak individu. Setiap orang berhak memiliki pandangan pribadinya terhadap satu sosok yang dianggap mendapat mandat orang banyak. Ekspresi politik sangat inheren dengan kebebasan itu sendiri, sebab politik adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Karena itulah, untuk menjaga demokrasi, partisipasi politik masyarakat harus diperbesar dan setiap orang diberikan ruang untuk berbeda.
Kehadiran polisi virtual bukan hanya akan menganggu kebebasan pandangan politik masyarakat, namun seolah menjadi simbol bahwa di indonesia terdapat “Bung Besar” yang mengawasi setiap pendapat dan pikiran di dunia maya. Kehadiran lembaga yang mengawasi dan mengintervensi kebebasan adalah sebuah kemuduran bagi demokrasi kita. Alih-alih UU ITE yang kontroversial dicabut, namun pemerintah justru menciptakan polisi virtual yang justru makin memperkuat posisi UU ITE.
Ya, memang sejauh ini kita masih bebas dalam berpendapat. Kita masih bisa berbicara dan mengkritik pemerintah. Tetapi, jika rakyat terlalu mengizinkan negara mengintervensi urusan pribadinya, bukan tidak mungkin jika bukan berarti iklim politik Orwellian dalam buku “1984” tidak akan terwujud.
Referensi
Orwell, George. 2004 (1944). 1984, terj. Landung Simatupang. Jakarta: Bentang.
Internet
https://seputartangsel.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-141630440/pengkritik-gibran-ditangkap-pengamat-jangan-membungkam-mulut-yang-batuk Diakses pada 21 Maret 2021, pukul 20.25 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com