Pengamanan Aksi Demonstrasi yang Menghormati HAM

    335
    https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-students-rally-against-mooted-move-extend-presidents-term-2022-04-11/

    Hari-hari ini telinga kita penuh dengan kata-kata “demonstrasi”, “aksi massa”, dan “unjuk rasa”. Istilah-istilah tersebut memiliki makna yang sama: orang-orang berhimpun dalam jumlah besar untuk menyuarakan pendapat, atas nama sesuatu yang lebih besar dari diri masing-masing. Dalam konteks kasus 11 April kemarin, Badan Eksekutif  Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan digelarnya aksi massa di depan gedung DPR dengan satu tuntutan penting, yakni bersikap tegas menolak penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden (asumsi.co/11/04/2022).

    Tidak hanya kontroversi penggunaan unsur porno dalam beberapa banner yang dibawa oleh mahasiswa atau substansi demo itu sendiri yang dipertanyakan, kasus penganiayaan Ade Armando juga menjadi isu paling hangat dalam penutup aksi demonstrasi tersebut. Pasalnya, aksi anarkis terhadap Ade Armando menjadi sorotan karena tindakan kekerasan yang menunjukkan dehumanisasi korban dengan alasan yang tidak bisa ditolerir. Namun, ada pula yang membahas ‘karma’ dikarenakan sikap dan opini Ade Armando di media sosial sebelumnya. Maka dari itu, tulisan ini ditujukan untuk membahas kekerasan dalam aksi demonstrasi, baik kepada peserta demonstrasi oleh aparat maupun peserta demonstrasi kepada pihak lain, dalam tinjauan kebebasan berpendapat serta HAM.

    Demonstrasi merupakan salah satu ciri khas petunjuk negara tersebut menerapkan  sistem demokrasi. Aksi unjuk rasa atau demonstrasi ini tidak akan ditemukan di negara yang menganut sistem otoriter. Aksi demontrasi adalah suatu model pernyataan sikap,  penyuaraan pendapat, opini, atau tuntutan yang dilakukan dengan jumlah massa  tertentu dan dengan teknik tertentu agar mendapat perhatian dari pihak yang dituju tanpa menggunakan mekanisme birokrasi (Jiwandono, 2020). Demonstrasi juga bertujuan untuk menekan pembuat kebijakan untuk  melakukan  atau  tidak  melakukan sesuatu. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa kemarin misalnya, merupakan bentuk protes sekaligus kontrol terhadap wakil rakyat dan pemerintah.

    Dalam konteks demokrasi, unjuk rasa merupakan elemen komunikasi yang sangat penting dalam advokasi dan umumnya digunakan untuk mengangkat suatu isu agar menjadi perhatian publik. Unjuk rasa merupakan bentuk ekspresi berpendapat yang merupakan hak setiap warga negara. Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dalam Pasal 1 ayat 3 juga telah menjelaskan unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di muka umum, dengan asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah mufakat, kepastian hukum dan keadilan, proporsional, serta asas manfaat (Saputra, 2021).

    Konstitusi Indonesia menegaskan kebebasan berekspresi dalam Pasal 28, dan kini dipertegas dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” (komnasham.go.id). Hal ini jelas menunjukkan bahwa Indonesia mengakui hak kebebasan berpendapat sebagai hak dari setiap manusia.

    Namun, dalam aplikasinya, aksi demonstrasi kerap kali diwarnai oleh kekerasan, baik itu oleh mahasiswanya maupun oleh aparat hukum kepada mahasiswa. Misalnya, bukti-bukti kekerasan polisi sepanjang demo mahasiswa yang menolak Omnibus Law pada bulan November 2020 lalu. Dilansir dari data Amnesty Indonesia, dari 51 video yang diverifikasi Amnesty International Indonesia, setidaknya setengahnya berisi bukti penggunaan tongkat polisi, potongan bambu dan kayu, dan bentuk pemukulan lainnya yang melanggar hukum (amnesty.id/02/12/2020).

    Kekerasan ini timbul dari adanya benturan kepentingan. Perbenturan kepentingan terjadi antara demonstran yang menyuarakan aspirasinya dengan polisi yang mengamankan aksi itu sendiri. Dalam hal ini, para demonstran mempunyai kepentingan untuk menyampaikan pendapat mereka secara bebas dan lugas. Sementara, aparat keamanan yang dalam lini adalah polisi yang berkewajiban untuk menjaga ketertiban umum. Polisi melakukan tindakan preventif dan represif terhadap hal- hal yang bisa mengganggu ketertiban umum.

    Kajian mengenai maraknya aksi kekerasan dalam demonstrasi mahasiswa juga menunjukkan bahwa motif psikologis, dukungan eksternal, maupun kondisi situasional pada saat berlangsungnya aksi demonstrasi dapat memicu massa melakukan kekerasan (Abidin, 2012). Beberapa faktor psikologis yang dapat menjelaskan kekerasan dalam demonstrasi adalah: reaksi dan emosi manusia dapat diprediksi. Jika ingin menghasilkan reaksi yang sama dalam pikiran banyak orang, pemanfaatan emosi dan mental cliché  adalah kuncinya. Jika kita meletakkan stimulus yang tepat di hadapan sekumpulan orang, sebagian besar dari mereka akan menghasilkan reaksi yang sama. Prinsip yang sama juga digunakan dalam aksi demonstrasi. Misalnya, stimulus dalam aksi massa pada 22 Mei 2019 lalu lebih didominasi oleh stimulus agama, meskipun mungkin ada faktor-faktor lain. Kemudian, reaksi dari stimulus tersebut dapat mengubah manusia menjadi makhluk impulsif, intoleran, dan bertendensi untuk melakukan hal-hal yang ekstrem. Pembunuhan, heroisme, pertaruhan nyawa yang konyol, misalnya, lazim terjadi dalam psikologi kelompok. Jika ada kerumunan massa yang beraksi di jalan dan seseorang di dalam kelompok berteriak, “Bakar!” maka terbakarlah. “Jarah!”, maka terjadilah demikian. Hal ini dapat dijelaskan pada teori contagion dimana terjadi penularan emosi antarindividu dalam skala yang besar (Anugrah, et al.., 2019).

    Pada aksi demonstrasi kemarin, reaksi dan stimulus ini terjadi pada kasus penganiayaan Ade Armando. Kontroversi-kontroversi yang dilakukannya di media sosial sebelumnya dianggap menjadi pemicu utama massa mengeroyok hingga babak belur dan nyaris ditelanjangi. Di lini masa media sosial, banyak yang menanggapi video atau foto Ade Armando yang beredar sebagai ‘pemuas’ amarah mereka. Hanya karena beda pandangan politik, bukan berarti bisa membenarkan tindakan kekerasan.

    Sebagai penutup, kekerasan fisik, baik itu pemukulan, peluncuran gas air mata, pengeroyakan, dan lain sebagainya, harus dikecam dan ditindak tegas oleh penegak hukum. Setiap bentuk kekerasan merupakan pelanggaran HAM, tidak seorangpun berhak menerima perlakuan tersebut. Di sisi lain, setiap orang juga punya hak untuk berpendapat, beropini, dan berekspresi. Boleh tidak setuju, boleh tidak sependapat, akan tetapi apapun bentuknya, kekerasan bukanlah jawaban dan solusi dari sebuah masalah.

    Referensi

    Artikel

    https://www.amnesty.id/usut-bukti-bukti-kekerasan-polisi-sepanjang-demo-tolak-omnibus-law/ Diakses pada 12 April 2022, pukul 15.14 WIB.

    https://asumsi.co/post/11007/empat-tuntutan-bem-si-demo-di-dpr-hari-ini Diakses pada 11 April 2022, pukul 12.39 WIB.

    https://www.komnasham.go.id/files/1604630519snp-kebebasan-berekspresi-dan–$SF7YZ0Z.pdf Diakses pada 12 April 2022, pukul 14.15 WIB.

    Buku

    Harari, Yuval N. (2015). Sapiens : A Brief History of Humankind. New York :Harper.

    Jurnal

    Abidin, Z. (2012). “Faktor-Faktor Psikologis Munculnya Kekerasan dalam Demonstrasi Mahasiswa”. Jurnal Psikologi Gunadarma Vol 5 (2). Diakses pada 12 April 2022, pukul 12.48 WIB, melalui https://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/677

    Anugrah, P, Isa, M, Malik, I, etc. (2019). “Self-Esteem, Contagion Theory, dan Suporter Persija Jakarta”. Jurnal Komunikasi.

    Jiwandono, I. (2020). “Dinamika Sosial Sikap Narcisstic Aksi Demonstrasi Mahasiswa dalam Prospek Demokrasi Indonesia”. Jurnal Pendidikan Vol VIII, issue 1, Juni 2020. Diakses pada 12 April 2022, pukul 14.46 WIB, melalui https://www.researchgate.net/publication/339035910_Dinamika_Sosial_Sikap_Narcisstic_Aksi_Demonstrasi_Mahasiswa_Dalam_Prospek_Demokrasi_Indonesia.

    Saputra, D. (2021). “Tindak Pidana Kekerasan terhadap Kegiatan Demonstrasi yang Dilakukan Aparat Kepolisian dalam Kajian Yuridis.” Skripsi. Diakses pada 12 April 2022, pukul 14.27 WIB, melalui https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/58122/1/DESWIR%20SAPUTRA%20-%20FSH.pdf.