Pengalaman Mengikuti Friedman Conference 2020

475

Pada hari Sabtu, 11 Juli 2020, saya mendapat kesempatan hadir di acara Friedman Conference mewakili Suara Kebebasan, yang diselenggarakan oleh Australian Libertarian Society dan Australian Taxpayers Alliance. Acara tersebut untuk pertama kalinya diadakan dalam bentuk virtual conference karena pandemi COVID-19. Konferensi tersebut juga menampilkan beragam pembicara dan libertarian dari seluruh dunia untuk membicarakan berbagai topik terkait isu-isu kebebasan, yang diselingi beberapa sesi breakout.

Mulai dari pengenalan awal tentang pengenalan umum ide-ide libertarian, penjelasan anarko-kapitalisme, masa depan kejayaan China, serta dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian dunia.

Ada beberapa sesi menarik yang saya ikuti, seperti “Challenges from a Rising China” oleh Sharon Hom, James Peterson, dan Craig Choy yang membahas indikator kebangkitan China sebagai negara adidaya ekonomi global. China mengambil alih posisi Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia pada tahun 2010, diukur dengan harga saat ini atau istilah nominal (tidak memperhitungkan inflasi), menurut data dari Bank Dunia dan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan.

Hal yang menjadi poin penting dalam aspek kebangkitan China yakni pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping yang memulai serangkaian reformasi pada tahun 1978 yang membawa negaranya keluar dari isolasi ekonomi. Selain itu, James Peterson juga menambahkan faktor jaringan pabrik di China yang sangat besar kemudian meningkatkan konsumsi masyarakat dunia. Dominasi China dalam perdagangan internasional juga turut menjadikan negeri tirai bambu ini sebagai pemain utama dalam arus investasi global.

Selanjutnya, terdapat sesi Zoom breakout yang diisi dengan beragam obrolan yang menarik untuk diikuti. Ada sesi Liberal Democrats yang membahas energi nuklir dan potensinya untuk keberlangsungan hidup manusia dan podcast-podcast lainnya yang relevan dengan isu paling digandrungi saat ini.

Sesi lainnya yang saya ikuti adalah ‘The UK, Australia, and the Commonwealth in a post-Brexit World” oleh John O’Connell, Dan Hannan, dan Amanda Stoker. Seperti yang kita ketahui, Inggris pada 23 Juni 2016 melakukan referendum untuk meninggalkan Uni Eropa (EU). Satu momen yang paling diingat dari referendum Inggris 2016 silam adalah mundurnya Perdana Menteri David Cameron pada saat itu yang menyerukan Inggris untuk tetap di Uni Eropa, dan digantikan oleh Theresa May.

Tiga alasan utama kaum anti-Uni Eropa ingin mewujudkan Brexit adalah mereka menilai kewenangan blok itu semakin mengikis kedaulatan Inggris terutama dalam menerapkan kebijakan luar negerinya. Mereka juga menilai kebijakan Uni Eropa menghambat pertumbuhan ekonomi Inggris sebagai negara ekonomi terbesar keenam di dunia, terutama dalam hal berbisnis.

Teka-teki mengenai masa depan Inggris pasca Brexit tentunya menjadi pertanyaan besar oleh banyak orang. Amanda Stoker, salah satu pembiaca di sesi ini, mengatakan bahwa dampak pertama yang dihadapi oleh Inggris selanjutnya adalah tidak berlaku perjanjian single market yang merupakan salah satu keuntungan terbesar negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Selain itu, ada perjanjian bea masuk yang sudah tidak berlaku lagi bagi Inggris, membuat Inggris tidak dapat melakukan negosiasi dengan keseluruhan dari Uni Eropa.

Sesi terakhir yang saya ikuti adalah “How Should Libertarians Respond to the Social Justice Movement?” oleh Steve Horwitz dan Stephen Hicks. Dibuka dengan perbincangan awal mengenai pesatnya pertumbuhan gerakan libertarianisme di Amerika. Diskusi dalam sesi ini memberikan contoh-contoh relevan dengan perubahan pemikiran politik Amerika selama ini.

Stephen Hicks mengatakan bahwa peran “individu bebas” sangat penting dalam menyikapi perubahan dunia, baik secara sistem maupun budaya. Hampir tidak ada orang di dunia ini yang ingin hidup tanpa kebebasan. Setidaknya, kebanyakan orang ingin bebas menjalani hidup sebagaimana yang mereka pilih sendiri. Kaum libertarian percaya, kebebasan menjalani hidup, tanpa ada unsur paksaaan atau ancaman di dalamnya, akan membuat hidup jauh lebih memuaskan.

Meski demikian, mendefinisikan kebebasan tentu tidak sesederhana harapan di atas. Banyak ragam definisi kebebasan harus ditelaah sebelum akhirnya memastikan bahwa tindakan kita sudah terkategori bebas atau tidak bebas. Tetapi yang jelas, makna kebebasan bisa kita sebut sebagai “absennya paksaan maupun ancaman secara fisik”

Di bagian akhir, Steve Horwitz menambahkan sisi buruk dari social justice movement. Ia menganggap gerakan ini bukan hanya menggerakkan hati seseorang atau sekelompok masyarakat ke arah yang belum tentu “justice and freedom” seperti katanya, namun cenderung hanya memberi utopia yang masih abu-abu bagi masyarakat. Masalah ekonomi, politik, lingkungan, sosial, dan sebagainya tidak bisa diselesaikan dengan hanya memberi utopia ketenteraman terhadap masyarakat.