Penegakan Hukum Kita Masih Diskriminatif

    1538

    Hukum adalah produk budaya manusia. Ia berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban. Hukum, secara sederhana, adalah tata kelola yang mengatur kehidupan manusia, dan yang tiap peraturannya bertujuan untuk mencari keadilan. Menurut Frederic Bastiat dalam pamfletnya, The Law, hukum adalah kekuatan bersama yang diorganiasi untuk bertindak sebagai suatu tantangan bagi ketidakadilan, pendeknya, hukum adalah keadilan.

    Hukum yang ideal adalah hukum yang menjamin kebebasan, keamanan, memberi perlindungan dan memberi jaminan kemerdekaan seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan masyarakat yang aman dan adil, maka negara menciptakan hukum tertulis atau perundang-undangan untuk mengatur warganya.

    Namun, meskipun suatu hukum dirancang secara sempurna dalam bentuk undang-undang sekalipun, pada praktiknya, belum tentu hukum tersebut menjamin keadilan. Sebab kitab hukum dan perundang-undangan adalah benda mati, manusia lah yang “menghidupkannya”.

    Melihat Penegakan Hukum Kita

    Beberapa waktu yang lalu, kita dibuat sedih oleh tragedi yang menimpa SMPN 1 Turi, Yogyakarta, dimana 10 siswa-siswi SMP tewas terseret aliran sungai yang deras ketika mereka hendak menyusuri sungai. Kejadian ini terjadi diduga karena adanya kelalaian yang dilakukan oleh pengawas pramuka.

    Para guru yang bertugas sebagai pengawas pramuka tersebut kemudian ditetapkan oleh kepolisian sebagai tersangka. Karena kelalaian mereka, 10 orang siswa-siswi tewas akibat terseret arus. Namun, yang kemudian menimbulkan kontroversi adalah perlakuan aparat hukum kepada para guru yang ditetapkan sebagai tersangka tersebut.

    Polisi melakukan penggundulan kepada tiga orang guru yang menjadi tersangka tersebut. Setelah digunduli, ketiga guru tersebut ditampilkan wajahnya di muka publik. PGRI tidak terima terhadap perlakuan  aparat polisi kepada para guru yang menjadi tersangka. Penggundulan rambut para guru tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak patut dan melukai hati nurani para guru (Kompas.com, 26/02/2020).

    Untuk mencegah terjadinya misinformasi, pihak kepolisian, dan juga salah satu guru yang menjadi tersangka, kemudian melakukan klarifikasi bahwa penggundulan yang dilakukan kepada tiga guru yang menjadi narapidana dilakukan tanpa paksaan. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut adalah berdasarkan kemauan mereka sendiri (Detik.com, 26/02/2020).

    Walaupun pihak kepolisian sudah melakukan klarifikasi, namun sebagian orang di media sosial tetap mengkritisinya. Kenapa terhadap guru yang menjadi tersangka kepala mereka digunduli, sedangkan kepada para koruptor yang melakukan tindakan pencurian uang negara malah tidak. Tentu saja, berkembang opini di masyarakat bahwa penegakan hukum kita masih tebang pilih.

    Bagaimanapun juga, apa yang terjadi pada siswa-siswi SMPN Turi merupakan kejadian yang tidak diperkirakan oleh siapapun. Kejadian tersebut murni karena kelalaian sang guru dan kelalaian pribadi (atau culpa) dan bukan suatu kesengajaan. Walaupun kelalaian para guru tak disengaja, namun menurut hukum, mereka tetap harus bertanggung jawab (ignorantia leges excusat neminem).  Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendorong penggundulan untuk pelaku kejahatan dan pihak yang melakukan kelalaian.

    Lalu, bagaimana dengan para koruptor yang berbuat kejahatan secara sadar dan disengaja? Tentu perbuatan yang disengaja tentu hukumannya lebih berat dari yang disengaja. Namun, mengapa perlakuan aparat terhadap koruptor cenderung berbeda dibanding dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang biasa?

    *****

    Jika kita menyaksikan retorika para politisi atau para pakar di media televisi, mungkin kita akrab dengan kata-kata “Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat).” Dengan bangga hati, pemerintah menyatakan Indonesia adalah negara yang menjunjung dan bergerak berdasarkan hukum.

    Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Persoalan penegakan hukum, atau supremasi hukum, masih menjadi PR bagi kita semua. Kadang kepentingan penguasa, keacuhan masyarakat, dan juga ketidaksigapan aparat keamanan, membuat proses hukum di Indonesia tidak berjalan secara ideal atau minimal dikatakan baik.

    Masih terasa tebang pilih dan juga ketidakseriusan dalam penegakan hukum. Misalnya, masalah kejahatan HAM yang lampau seperti kejahatan yang dialami oleh korban peristiwa 1965, yang hingga kini terlihat tidak diperdulikan oleh negara. Begitu juga kasus yang menimpa korban tragedy penculikan 1998, demonstrasi mahasiswa 2019, dan korban penggusuran di Bandung yang hingga kini tidak ada proses hukum yang pasti.

    Lambatnya penegakan hukum bisa membuat rakyat semakin tidak percaya pada pemerintah dan aparat penegak hukum. Mereka menganggap bahwa penegakan hukum di Indonesia tebang pilih, alias hanya berani membabat rumput tanpa berani menebang pohon besar. Rakyat juga mempertanyakan perkembangan kasus Novel Baswedan dan juga kasus buronan Harun Masiku yang kini bak ditelan bumi.

    Arah penegakan hukum kita makin tidak memiliki kepastian. Hal ini dicerminkan dalam pidato pelantikan Presiden Jokowi untuk periode kedua. Dalam naskah pidato sebanyak 10 halaman tersebut, presiden sama sekali tidak menyinggung soal penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi. Presiden terfokus pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

    Penegakan hukum kita bagai dilema antara “cita dan fakta”. Tentu saja, pengabaian presiden terhadap penegakan hukum dan HAM amat sangat disayangkan. Walaupaun pemerintah berusaha untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, perbaikan infrastruktur, dan mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM), namun tanpa adanya jaminan hukum yang kuat, maka hal tersebut akan sia-sia.

    Tentu rakyat membutuhkan pembangunan ekonomi, pekerjaan, dan pendapatan yang meningkat. Namun, apa gunannya pembangunan ekonomi dan pendapatan yang tinggi tetapi tak ada jaminan hukum dan penegakkan hukum yang masih tebang pilih?

     

    Sumber:

    https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/26/205500465/penggundulan-guru-smpn-1-turi-pb-pgri-itu-melukai-hati-nurani-guru Diakses pada 27 Februari 2020, pukul 04:04 WIB.

    https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4915997/digunduli-polisi-tersangka-tragedi-smpn-1-turi-akhirnya-buka-suara Diakses pada 27 Februari 2020, pukul 04:22 WIB.