“Bangunlah hati merdeka sebagai manusia!” Demikian jelas tertera di brosur pembukaan saat diadakan pendaftaran terbuka SI School. Sejarah pendidikan Indonesia dimulai sejak Tan Malaka mewujudkan perjuangan melalui pendirian sebuah lembaga pendidikan, bernama Sarekat Islam (SI) School di Semarang pada tahun 1921. Sekolah ini bertujuan untuk meniti jalan kebebasan berpendapat bagi semua anak bangsa tanpa terkecuali.
Dalam mengelola SI School, Tan Malaka menggunakan cara yang santai namun tetap terukur, yakni tetap mengingatkan para murid dengan lingkungan sekitar dan tidak terbebani jam pelajaran, disertai tambahan materi pengetahuan berhitung, menulis, ilmu bumi, juga bahasa Belanda. Kemahiran berbahasa Belanda, diutamakan dalam pembelajaran mengingat pentingnya pengetahuan tersebut bagi para murid agar tidak tertinggal dengan murid dari sekolah formal yang sudah ada, dan tidak terbatasi dalam ranah pergaulan.
Sedemikian pentingnya penguasaan bahasa Belanda pada zaman tersebut juga tertampak pada lain sosok, yang juga masih seorang pimpinan Sarekat Islam. Haji Agus Salim, mendidik langsung anak-anaknya di rumah dengan cara berbeda. Menurut Mohamad Roem, Agus Salim memberikan pendidikan kepada anak-anaknya yang tidak sekolah di sekolah formal, tetapi pandai berbahasa Belanda (Roem, 1977).
Keberadaan SI School beserta seluruh cita-citanya menjadi sebuah penanda arah baru pendidikan di bumi Indonesia. Ditunjang dengan berdirinya Taman Siswa pada tahun 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara, memiliki tujuan inti untuk mendekatkan para siswa kepada budaya lokal dengan ciri metode pendidikan yang menyenangkan. Dutch Culture Overseas, dalam catatan penghitungan Frances Gouda, menampilkan data sampai tahun 1932, Taman Siswa berhasil mendirikan 166 sekolah dengan perkiraan jumlah murid 11.000 orang di seluruh Jawa. Keadaan lemahnya perekonomian dunia pasca Perang Dunia Pertama sedikit banyak juga berpengaruh terhadap subsidi Pemerintah Hindia Belanda di ranah pendidikan (Gouda, 2007).
Sampai sekarang, konsep pendidikan Indonesia adalah metode “kurikulum” yang disajikan melalui buku-buku panduan dan buku-buku ajar di kelas. Penerapan metode kurikulum sendiri menuai puncak pro dan kontra di kalangan masyarakat ketika muncul metode pembelajaran baru, kurikulum tahun 2013. Banyak anggapan guru hanya dijadikan subjek pelaksana teknis operator bagi sistem pembelajaran yang teratur, terjadwal, sistematis, serta utamanya menghabiskan banyak waktu. Tuntutan mengajar selama 24 jam seminggu malah jadi fakor utama kerasnya penolakan penerapan metode kurikulum tahun 2013 dari para guru, karena dipaksa kerja ekstra.
Memang, dalam beberapa kondisi, hal ini memiliki andil, murid diminta membaca. Tetapi, apakah semua murid bisa mendapatkan pengetahuan yang sama selepas pulang dari sekolah? Mengerjakan tugas sesuai koridor-koridor, ketetapan dari guru untuk belajar dengan cara yang sama pula?
Wacana metode pendidikan di Indonesia selalu saja mengemuka, kian waktu terus berubah, terlebih setelah masuknya penerapan Tataran Normal Baru di masa pandemi COVID-19. Demi mengiringi kondisi yang ada, dan tuntutan perubahan zaman, metode diubah di mana kelas diberi standar baru untuk memperkenalkan teknologi kepada para pelajar agar lebih mengenal penggunaan teknologi.
Aturan membawa ponsel saat pelajaran berlangsung mulai sedikit dibebaskan, beradaptasi dengan dunia digital. Tatap muka jarak jauh diberlakukan beberapa lembaga dan instansi pendidikan, lewat kelas daring (online) menyesuaikan status zona daerah masing-masing. Sistem, konsep, metode terus berubah, tapi kualitas individu para pelajar hasil instansi pendidikan tetap masih perlu dipertanyakan.
Melalui media sebuah novel, dahulu, seorang profesor dari Belgia pada abad ke-19 bernama Joseph Jacotot, menempa diri untuk belajar bahasa Prancis bersama-sama dengan para mahasiswanya. Saat itu, Jacotot kebetulan belum punya pengetahuan apapun mengenai bahasa Prancis. Ini merupakan sebuah tuntutan umum bagi seorang pengajar, terhadap sebuah aturan; harus bisa mengajarkan apapun lantaran belum ada pembagian ilmu secara spesifik.
Jacotot dalam hal ini menggunakan metode repetisi. Pola pengulangan bentuk atau unsur (kata) di dalam kalimat. Repetisi, berfungsi memperjelas hubungan bentuk antar-bagian wacana. Berkenalan dengan unit-unit pengetahuan bahasa Prancis berwujud visual sebuah novel, yang dipelajari secara tuntas soal bagaimana bahasa itu dituliskan, lalu belajar cara membaca, sampai membuka forum diskusi bersama. Dua semester metode berjalan, Jacotot dan para mahasiswanya telah mahir berbahasa Prancis (Ranciere, 1991).
Alternatif sajian Joseph Jacotot ini menjadi momen cikal-bakal munculnya gagasan radikal dari ilmuwan Prancis, Jacques Ranciere , di mana dalam The Ignorant School Master (1991) ia memberi batas persyaratan kondisi setara sebagai pra-kondisi sebelum melaksanakan aktivitas pendidikan. Mendobrak secara gamblang pedagogi yang memposisikan; pribadi tahu tentang ilmu pengetahuan, dengan pribadi sebagai pelajar yang belum tahu tentang ilmu pengetahuan, sehingga secara absolut tercipta transmisi pendidikan antar pelajar (Ranciere, 1991).
Sementara, dalam Debunking The Shanghai Secret (2014), Quanyu Huang memberikan perbandingan antara sistem pendidikan di Amerika Serikat dan Tiongkok. Dilansir dari Ziliun.com, tepatnya pada akhir dekade 1970-an, Amerika Serikat dan Tiongkok saling membandingkan metode pendidikan negaranya masing-masing. Anak-anak Tiongkok disebut “the most diligent in the world” karena memilih giat mempelajari disiplin ilmu pengetahuan, tetapi anak-anak Amerika Serikat malah cenderung memilih metode sick beyond treatment, bebas belajar apapun tentang ilmu pengetahuan (Ziliun.com, 27/05/2015).
Penulis, filsuf, dan sastrawan besar asal Bangladesh, Rabindranath Tagore, menemukan dirinya ternyata sangat ketakutan ketika belajar. Oleh karena itu, ia membuat Visvha Bharati di Shantiniketan, yang menghadirkan suasana kelas penuh kebebasan. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Soe Hok Gie, bahwa murid bukan kerbau, sedang guru tidak melulu identik sebagai sosok absolut jelmaan dewa.
Referensi
Roem, Mohammad. 1977. Bunga Rampai dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Gouda, Frances. 2007 (1995). Dutch Culture Oversies: Colonial Practice Neterland Indies 1900-1942. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Jugiarie Soegiarto dan Suma Riella Rusdiarti. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Ranciere, Jacques. 1991. The Ignorant School Master. Stanford University Press: Palo Ato.
https://ziliun.com/articlesamerika-vs-china-pendidikan-di-ekstrem-kiri-dan-kanan/ Diakses pada 3 Agustus 2020, pukul 16.24 WIB.

Resza Mustafa adalah seorang penulis. Ia aktif menulis sejak bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa Hayamwuruk tahun 2013. Sempat bergabung dengan Gatra.com tahun 2019 dan menulis isu-isu politik perkotaan, pendidikan, dan sosial-budaya.