Pendidikan dan Kebebasan

    545

    Hari Pendidikan Nasional diperingati masyarakat Indonesia setiap tahunnya pada tanggal 2 Mei. Tanggal 2 Mei tersebut juga bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hajar Dewantara, pahlawan nasional yang telah memberikan banyak sumbangsih pendidikan di Indonesia. Dalam pidato asas-ssas 1922 yang dilontarkan langsung oleh Ki Hajar Dewantara, disebutkan bahwa pemakaian metode among dibuat untuk menghindari segala bentuk paksaan dari pendidik ke murid-murid (kebudayaan.kemendikbud.go.id, 3/7/2017).

    “Pemakaian metode among, suatu metode yang tidak menghendaki “paksaan-paksaan”, melainkan memberi “tuntutan” bagi hidup anak-anak agar dapat berkembang dengan subur dan selamat, baik lahir maupun batinnya,” ujar Bapak Taman Siswa ini, yang juga menguraikan empat poin-poin lainnya yang dikenal dengan Asas-asas 1922 (kebudayaan.kemendikbud.go.id, k3/7/2017).

    Beliau merasa bahwa pendidikan adalah sebuah cara terbaik untuk memperkuat orang Indonesia, dan ia sangat dipengaruhi oleh banyak teori yang melandasi cara berpikirnya. Salah satunya adalah pemikir teori pendidikan reformis dari Italia, Maria Montessori. Ki Hadjar Dewantara juga banyak dipengaruhi oleh penyair dan filsuf asal India yakni Rabindranath Tagore (Setyowahyudi, 2020).

    Pemikiran yang diambil dari Maria Montessori adalah terkait pendidikan usia dini. Hal yang diterapkan pada pendidikan Montessori adalah bagaimana peserta didik memiliki kebebasan dalam belajar, tempat belajar yang menyenangkan dan dapat membangun karakter peserta didik dengan metode bernyanyi dan menari (Setyowahyudi, 2020).

    Beberapa tahun silam, dalam pidatonya yang bertajuk “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia, Anies Baswedan (saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) memaparkan adanya kesamaan konsep pendidikan di Finlandia dengan konsep pendidikan yang diusung Taman Siswa. Kesamaan tersebut terdapat pada konsep pemikiran bahwa perbedaan bakat itu nyata dan ada beberapa hal yang tidak perlu diseragamkan. Selain itu, Pemerintah Finlandia juga menekankan pengaruh besar demokratisasi hak dan kesempatan untuk seluruh rakyat agar dapat mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan masyarakat (nationalgeographic.grid.id, 2/5/2016).

    Lantas, dari buah-buah pemikiran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dapat disimpulkan bahwa akar dari sistem pendidikan di Indonesia sendiri juga mendukung peran penting demokrasi dalam penerapannya. Kini, pertanyaannya, mengapa “kebebasan” dalam pendidikan itu penting?

    Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan buah dari kebebasan. Sebuah kebebasan memiliki arti melepaskan jeratan dari berbagai belenggu. Pendidikan mengajarkan murid untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, oleh karena itu pendidikan harusnya melihat tentang kebutuhan murid, bukan malah menyamaratakan cara berfikir mereka.

    Misalnya, siswa-siswi diberikan kebebasan dalam menilai sesuai dengan sudut pandangnya, kemudian dilanjutkan dengan dialog bersama gurunya. Dengan demikian, para siswa-siswi secara perlahan akan mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan. Keberanian-keberanian dalam menyampaikan pendapat seperti inilah salah satu prinsip dari kebebasan yang akan melatih murid untuk bertanggung jawab dan tidak terjerat dengan asumsi-asumsi pendidikan yang sudah ter-setting. Sesuai affective learning theory, kondisi psikologis anak juga perlu diperhatikan sehingga pembelajaran bisa terjadi dengan baik.

    Ini termasuk motivasi, emosi, dan minat mereka. Ketika kita merasa terpaksa atau bahkan dipaksa untuk belajar, tentu motivasi tidak akan muncul dan sangat susah untuk kita tertarik dengan materi yang kita pelajari. Sebaliknya, ketika kita sendiri yang memilih ingin belajar apa, dan bebas menentukan tujuan dari pembelajaran kita, tentu kita akan lebih mudah termotivasi (Chickering & Kuh, 2005).

    Proses pendidikan yang benar, di sekolah maupun di kampus, seharusnya dipenuhi sikap kritis dan daya-cipta guru dan dosen yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran (thought of language) siswa sehingga memiliki kemampuan untuk mengasah daya jelajah imajinasinya sesuai dengan lingkungan tempat mereka bertempat tinggal. Karena itu, sangat penting dalam proses belajar-mengajar guru dan dosen harus lebih banyak memperhatikan aspek consciousness siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan psikomotorik.

    Dari proses-proses tersebut, siswa tidak hanya mengenal IQ, tetapi juga dapat meningkatkan aspek kecerdasan lainnya. Misalnya, dengan pemfokusan terhadap bakat masing-masing siswa, pendidik akan memberikan anak kebebasan untuk mencoba berbagai macam aktivitas, dan melakukan pengembangan berbagai macam hal yang akan memberi anak itu kesempatan lebih besar untuk menemukan kecerdasan yang dia miliki. Alhasil, anak dapat mengetahui keunggulannya, daripada memaksakan diri di bidang yang tidak cocok dengan keahliannya.

    Terakhir, peranan kebebasan dalam penerapan pendidikan lainnya yang tak kalah penting adalah kebebasan merupakan hal yang penting untuk mengajarkan anak untuk bertanggung jawab. Setiap keputusan dan tindakan yang dipilih anak akan menimbulkan konsekuensi ke depan yang harus mereka pertanggungjawabkan. Dengan ini, anak dapat memiliki self-control dan lifelong learning.

     

    Referensi

    Jurnal

    Chickering, A., & Kuh, G.D. 2005.. “Promoting Student Success: Creating Conditions So Every Student Can Learn.” Occasional Paper No. 3.

    Setyowahyudi, Rendi. 2020. “Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Maria Montessori tentang Pendidikan Anak Usia Dini. Diakses dari http://journal.upgris.ac.id/index.php/paudia/article/view/5610/0 pada 2 Mei 2021 pukul 21.00 WIB.

     

    Internet

    https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mengenal-sistem-among-dalam-konsep-belajar-taman-siswa/ Diakses pada 2 Mei 2021 pukul 21.00 WIB.

    https://nationalgeographic.grid.id/read/13305079/kesamaan-konsep-pendidikan-finlandia-dan-ki-hadjar-dewantara Diakses pada 2 Mei 2021, pukul 21.00 WIB.