eberapa waktu yang lalu Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengeluarkan data terbaru bahwa jumlah pengungsi yang keluar dari Venezuela telah mencapai 4 juta orang. Ini sungguh ironis karena pemilu presiden Venezuela tahun 2018 menunjukkan bahwa ada sekitar 6 juta orang memilih kembali Nicolas Maduro sebagai presiden. Ini berarti masyarakat Venezuela secara sah menginginkan rezim sosialis Maduro kembali berkuasa.
Tentu kita jadi bertanya-tanya: jika masyarakat Venezuela memang menginginkan Maduro, kenapa mereka memilih pergi? Mana yang harus kita percaya: hasil pemilihan umum atau pilihan masyarakat Venezuela untuk minggat dari tanah airnya?
Akal sehat kita tentu langsung mengatakan bahwa keputusan masyarakat Venezuela untuk minggatlah pilihan publik yang lebih genuine, sementara hasil pemilunya adalah hasil pemilu kaleng-kaleng. Kenapa begitu?
Jawabannya sederhana: karena pilihan untuk minggat dari negeri sendiri merupakan pilihan yang lebih berat daripada pilihan yang kita ambil di dalam bilik suara pemilu. Ketika kita memilih untuk pergi dari kampung halaman, kita harus mengorbankan begitu banyak hal, mulai dari hal-hal yang bisa diukur seperti harta-benda, hingga hal-hal yang tak terukur seperti perasaan sentimentil dan keterikatan emosional terhadap tempat tinggal. Belum lagi jika kita mempertimbangkan ketidakpastian nasib yang akan kita hadapi di negara orang nanti. Dengan kata lain, dari sudut pandang ekonomi, pilihan untuk minggat adalah pilihan yang lebih mahal daripada pilihan politik dalam pemilu.
Inilah alasan mengapa kita harus selalu lebih percaya pada “tindakan” daripada preferensi politik. Sampai kapanpun, “tindakan” atau “action” akan lebih terasa mahal dan genuine daripada sekedar ucapan, preferensi, atau prinsip-prinsip etis/politis. Talk is cheap, kata sebuah pepatah Inggris.
Bukan kebetulan jika supremasi “tindakan” di atas “ucapan” inilah yang menjadi spirit utama prakseologi ala libertarianisme Mazhab Austria, sebagaimana yang dijabarkan oleh Ludwig von Mises di dalam karya seminalnya Human Action. Banyak orang menuduh bahwa pendekatan prakseologis di dalam ekonomi tidak ilmiah, karena terlalu bersifat deduktif (mengawang-awang) daripada induktif (konkret dan membumi). Para pengkritik ini lupa: premis mayor di dalam penelusuran deduktif prakseologi, yakni ‘tindakan manusia’, adalah unit analisis paling empiris yang paling mungkin kita dapatkan di dalam studi tentang masyarakat dan fenomena sosial.
Human action atau tindakan manusia adalah induk dari segala ilmu tentang fenomena sosial, sebagaimana realitas bendawi adalah induk dari semua studi tentang alam semesta. Prakseologi mengajarkan kita bahwa tindakan manusia adalah pengejawantahan hasrat-hasrat kita yang paling mendalam. Human action adalah semacam penanda atau sinyal tentang apa-apa saja yang paling dihargai oleh masyarakat, dan apa-apa saja yang paling dibenci oleh mereka.
Jika tidak diintervensi, human action akan memandu kita untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi ke tempat-tempat yang paling produktif, dan menjauhkannya dari tangan-tangan yang tidak kreatif, tumpul, dan impulsif.
Sampai di sini harus dipahami bahwa kebalikan dari human action bukanlah human inaction. Kebalikan dari ‘tindakan manusia’ bukanlah ‘ketiadaan tindakan’. Kebalikan dari ‘human action’ adalah sejenis tindakan lain, yakni tindakan yang tidak merepresentasikan preferensi atau pilihan-pilihan orang secara genuine. Contoh yang paling dekat, tentu saja, adalah pemilu presiden Venezuela tahun 2018.
Jika masyarakat Venezuela benar-benar memilih Nicolas Maduro pada pemilu presiden tahun 2018 lalu, itu bukan berarti mereka berbohong pada diri mereka sendiri. Mungkin saja mereka benar-benar ingin diperintah oleh rezim sosialis Maduro. Hanya saja, mekanisme pemilu memang tidak didesain untuk mengekspresikan pilihan yang paling genuine dari masyarakat sebagai unit sosial. Hal ini berbeda jauh dengan mekanisme pasar, di mana setiap tindakan adalah ekspresi genuine dari kepentingan diri masing-masing aktor yang terlibat.
Ketika human action yang genuine diganti dengan mekanisme rekayasa seperti pemilu, maka akhirnya kita melihat sebuah paradoks: di dalam bilik suara kita melihat orang-orang memilih untuk diperintah oleh rezim sosialis. Tetapi di lapangan, kita melihat orang-orang yang sama memilih pergi dari rezim sosialis yang mereka pilih sendiri. Ketika pemilu, mereka melakukan voting dengan hati. Ketika menjadi pengungsi, mereka melakukan voting dengan kaki. Mana yang lebih Anda percaya?

Djohan Rady adalah alumnus S2 Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia. Kontributor tetap untuk Suara Kebebasan dan co-founder Indo-libertarian, sebuah komunitas libertarian di Indonesia. Bisa dihubungi di email djohanrady@gmail.com dan twitter @djohanrady