Pemilu, Polarisasi, dan Penurunan Demokrasi

    54
    Sumber gambar: https://kab-bekasi.kpu.go.id/berita/baca/7751/parameter-kesuksesan-pemilu-2024

    Topik (Pemilihan Umum) Pemilu 2024 semakin intens menyemarakkan lini masa media sosial kita. Berbagai jargon-jargon, tagar, slogan, hingga candaan sudah akrab di telinga warga Indonesia. Tidak jarang, figur publik di Indonesia kerap menunjukkan preferensi politiknya, beserta gaya kekinian khas anak muda agar terlihat “gahol”-nya.

    Beberapa waktu belakangan, politik seperti makanan sehari-hari masyarakat awam. Ketertarikan dan keinginan untuk mengambil bagian dalam menyetir opini publik, memakai hak-hak untuk berpendapat, dan lain-lain sangat dimanfaatkan oleh warga Indonesia, khususnya anak muda. Berbicara politik bukan lagi hal yang ‘terlalu serius’ atau ‘terlalu berat’ di negara ini, melainkan isu-isu panas yang biasanya diisi oleh gosip artis hamil di infotainment.

    Di satu sisi, kontestasi politik terbesar ini mengalami perkembangan yang semakin bagus. Demokrasi ide didukung oleh peran teknologi dan media sosial, di mana teknologi merupakan dimensi ambivalen dari proses sosial serta terlibat dalam perjuangan sosial yang menentukan bentuk dan perannya. Peran teknologi tersebut turut menginklusikan suara anak muda kembali menjadi lantang dalam diskusi bernada politik. Namun, teknologi juga bisa menjadi media untuk melanggengkan polarisasi politik.

    Polarisasi merupakan fenomena populer yang lebih banyak berkembang di tingkat massa ketimbang di tingkat elit politik. Wilson (dalam Annas, et al., 2019) menjelaskan bahwa polarisasi terjadi karena komitmen yang kuat terhadap suatu budaya, ideologi atau kandidat sehingga memecah suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Polarisasi membuat suatu kelompok menganggap pandangan dan prinsipnyalah yang paling benar, sedangkan kelompok yang berseberangan adalah kelompok yang salah pandangan politik dan moralitasnya.

    Selain itu, polarisasi dapat diakibatkan oleh suatu perubahan framing komunikasi politik suatu partai. Perubahan framingtersebut dapat terjadi karena adanya perubahan peta politik atau bahkan perubahan budaya politik yang kemudian diikuti oleh perubahan sikap pendukung partai. Di sini, efek framing terlihat ketika satu pihak mendeskripsikan suatu isu atau fenomena dengan penekanan pada suatu bagian yang menjadi titik-titik konsiderasi hingga dapat memengaruhi pembentukan opini individu (Druckman dan Nelson dalam Druckman & Slothuus, 2013).

    Pada tahun 2017 misalnya. Keterbelahan masyarakat yang diawali dengan kasus penistaan agama yang  dilakukan oleh mantan Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Kasus ini kemudian membuat masyarakat Indonesia terpecah dan menimbulkan aksi massa “212” secara besar-besaran. Pada tahun 2018, berdasarkan hasil survei Lingkaran Survey Indonesia (LSI), baik pasangan Jokowi-Ma’aruf Amin maupun Prabowo-Sandi mengalami fluktuasi elektabilitas di kalangan Persatuan Alumni 212 dan Nahdlatul Ulama (Annas, et al., 2019). Hal ini menunjukkan adanya kemampuan aksi massa yang terpolarisasi pada Pilkada 2017 kemarin pada dinamika elektabilitas pasangan petahana karena adanya hubungan Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama yang pernah menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012.

    Belum lagi, potensi para pendengung (buzzer) yang memainkan “nada” posting-an, berita misinformasi, konten opini yang mengarah pada muatan negatif, sumber-sumber fakta yang validitasnya masih diragukan, dan banyak lagi, semakin memperkuat polarisasi yang ada di antara dua kubu berseberangan. Di tahun itu, dengan maraknya disinformasi melalui media sosial oleh para buzzer, pemerintah mengambil kebijakan untuk memadamkan internet, yang berujung menyalahi aturan juga.

    Keberadaan buzzer yang menjamur ini membuat para pemangku kebijakan pun ikut kesulitan untuk melacaknya. Apalagi, dengan kekuatan yang dimilikinya, para buzzer dapat dengan mudah menyebarkan informasi palsu. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan multiforum yang berguna memerangi disinformasi, seperti keterlibatan pemerintah, masyarakat sipil, media sosial, dan aspek terpenting, yakni netizen atau masyarakat Indonesia.

    Masyarakat Indonesia juga cenderung untuk mendukung individu, terlepas dari partai politiknya. Partai politik kurang memainkan peran penting dalam menanamkan suatu ideologi yang mereka anut untuk dijadikan ‘harga jual’ mereka di masyarakat. Jarang sekali dan hampir tidak pernah kita mendengar alasan seseorang mendukung kandidat A karena ideologinya. “Saya pilih A karena Beliau pernah jadi Komandan Kompi dan pernah jadi Danki terbaik”, “Saya pilih B karena orangnya tegas, tidak neko-neko, dan berwibawa”.

    Secara praktik, hal mengenai basis ideologi sebagai fundamental partai tidak lagi bisa kita jumpai. Ideologi tidak memiliki peran signifikan dalam budaya politik di Indonesia. Kompas politik kurang laku di Indonesia, thus, masyarakat kurang akrab dengan istilah-istilah ide politik. Konsep-konsep seperti Liberal versus Konservatif, Sayap Kanan versus Sayap Kiri terdengar asing di telinga masyarakat. Elektabilitas lebih menitikberatkan pertimbangan masyarakat ke individu si kandidat itu sendiri. Ke figur, kepada si spokesman, dibandingkan partai itu sendiri.

    Dibandingkan perbedaan dalam ideologi seperti Konservatif dan Liberal, di Indonesia, perbedaan antar partai lebih kentara pada tingkat Relijius dan Nasionalis (Non-relijius). Tidak jarang ada kesamaan pendirian antar partai soal kebijakan fiskal, kesejahteraan sosial, program-program yang ditawarkan. Hal ini membuat perbedaan ideologi partai presiden yang berkuasa tidak memiliki implikasi substansial untuk pembuatan kebijakan di Indonesia. Koalisi partai, dukungan partai terhadap kandidat presiden bukan semata-mata karena mereka mendukung program yang ditawarkan, atau relevansinya terhadap ideologi partai. Melainkan untuk kekuasaan, mendapat dukungan publik di Pemilu mendatang, istilah anak mudanya adalah, numpang eksis.

    Visi-misi dari kandidat presiden terdengar sama, semuanya ingin mengakhiri korupsi, menciptakan lapangan kerja, akses terbuka untuk pendidikan, membuat Indonesia sejahtera. Hingga hal ini tidak lagi dijadikan sebuah parameter untuk menentukan kecondongan masyarakat dalam menentukan pilihan mereka. Masyarakat lebih fokus pada track record dan latar belakang si kandidat, mulai dari etnis, agama, jabatan terdahulu, dan lain-lain. Kondisi inilah yang banyak dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk mencapai kekuasaan melalui benih polarisasi yang mengakar.

    Demikian semua hal yang sudah dijabarkan dengan harapan Pemilu 2024 bisa berjalan dengan kondusif, sehat, dan lancar. Adapun hal-hal di atas merupakan faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan pelaku, penyelenggara, maupun pengawas berjalannya proses Pesta Demokrasi kita. Mulai dari penanaman ide untuk mencegah pemikiran-pemikiran subversif dan radikal, macetnya demokrasi di Indonesia yang masih perlu dibenahi, hingga budaya politik uang yang masih menjamur di tiap-tiap Pemilu yang diselenggarakan. Hal-hal tersebut harus menjadi pekerjaan rumah wajib demi pelaksanaan demokrasi Pemilu yang lebih matang lagi ke depannya.

    Referensi

    Annas, Faris B., et al. “Opini Publik dalam Polarisasi Politik di Media Sosial”.  Jurnal Penelitian Komunikasi dan Pembangunan, Vol. 20, No. 2, 2019, pp. 111-122, doi:10.31346/jpikom.v20i2.2006.

    Druckman, J. N., Peterson, E., Slothuus, R. (2013). “How Elite Partisan Polarization Affects Public Opinion Formation”. American Political Science. Vol. 107(1).