Pemilu Jerman: Bangkitnya Liberalisme atau Bangkitnya Ultra-Nasionalis?

    382

    Minggu, 24 September lalu warga Jerman melangsungkan pemilihan umum. Hasilnya sudah kita ketahui bersama bahwa hanya 6 dari 42 partai Jerman berhasil mendapatkan kursi di dalam Bundestag (Parlemen Jerman) melalui pemilu nasional yang diselenggarakan pada 24 September 2017. Secara keseluruhan terdapat 61,5 juta warga Jerman yang berhak memberikan suara mereka melalui mekanisme pemilihan suara pertama dan suara kedua. Surat suara di Jerman memperbolehkan pemilih untuk memilih dua suara; suara pertama yang terletak pada bagian kiri surat suara diggunakan untuk mencoblos calon kandidat politisi yang mewakili konstituen dalam parlemen, sedangkan suara kedua yang terletak pada bagian kanan surat suara diperuntukkan untuk memilih partai politik.

    Sejumlah 598 kursi dapat diperebutkan dalam pemilihan umum tahun ini. Sebanyak 299 anggota parlemen yang dipilih secara langsung melalui mekanisme suara pertama dan sebanyak 299 anggota parlemen melalui hasil presentase partai yang dipilih dengan mekanisme suara kedua. Jumlah kursi yang disediakan dalam Bundestag (Parlemen Jerman) bulan kemarin sebanyak 709 kursi. Peningkatan jumlah kursi dari 598 menuju 709 terjadi karena beberapa partai memenangkan lebih banyak mandat langsung melalui suara pertama ketimbang hasil presentase partai yang diraih melalui suara kedua.

    Hasil pemilu Jerman menunjukkan sebuah kekhawatiran yang cukup mendalam. Partai ultra kanan AfD (Partai Alternatif untuk Jerman) untuk pertama kalinya melewati ambang batas perolehan suara partai sebesar 5% dan berhak atas 94 kursi di parlemen Jerman. Partai AfD yang memiliki citra anti-Islam dan anti-pengungsi mendukung kebijakan-kebijakan yang bersifat proteksionis. Dalam menjaring suara, AfD  memanfaatkan Islamophobia penduduk Jerman dan ketakutan warga Jerman akan ketersediaan lapangan kerja yang terancam diambil alih oleh para pengungsi. Dalam kampanye mereka AfD berjanji meningkatkan kesejahteraan keluarga Jerman melalui program-program keluarga khusus masyarakat Jerman, membuat proses demokrasi berjalan lebih langsung, membatasi secara ketat pengungsi yang masuk ke Jerman dan mendorong pembubaran zona mata uang Euro yang dinilai tidak menguntungkan perekonomian Jerman.

    Selain itu terdapat pelbagai kejadian domestik yang membuat AfD sukses meraih kursi di parlemen Jerman. Pada tahun 2015 sekitar satu juta pengungsi yang berasal dari Afrika, Afghanistan dan Syria terpaksa bermigrasi ke Jerman karena konflik politik dan perang saudara yang terjadi di negara asal. Kanselir Merkel menerapkan open border policy yang membuat otoritas perbatasan Jerman kewalahan untuk meregistrasi arus pengungsi yang begitu masif.

    Ditambah lagi instansi-instansi pendidikan seperti sekolah tidak memiliki personil dan kapasitas yang cukup untuk menerapkan program integrasi yang efektif. Arus pengungsi yang tidak terkendali menyebabkan beberapa konflik kekerasan domestik yang membuat warga asli Jerman resah dan takut. Salah satu kekerasan domestik yang menjadi sorotan utama media pelecehan seksual massal dan ratusan tindakan pencurian yang terjadi di kota Koeln pada malam tahun baru 2016 yang sebagian besar pelakunya adalah pengungsi pria. AfD memanfaatkan momentum tersebut dengan menyebarkan muatan-muatan yang mengandung unsur Xenophobia.

    Bangkitnya AfD menjadi partai ketiga terbesar di Jerman juga dikarenakan kegagalan koalisi besar partai CDU/CSU dan partai SPD dalam merealisasikan sebagian besar janji-janji kerja politik mereka. Dibandingkan dengan presentase suara yang diperoleh di pemilu Jerman pada tahun 2013, partai CDU/CSU kehilangan -8,6% suara sedangkan partai SPD kehilangan -5,2% suara.  Sebuah survei dari majalah Focus-Online mengungkapkan alasan-alasan warga Jerman memilih AfD. Banyak responden kecewa dengan performa pemerintahan dibawah kanselir Merkel. Kebijakan “pintu terbuka” pengungsi yang dinilai terlalu berani dan tidak mementingkan keselamatan warga Jerman.

    Kemudian bantuan Jerman terhadap negara-negara anggota Uni-Eropa seperti Yunani dianggap sebagai penyalahgunaan pajak orang Jerman. Alhasil alasan utama partai AfD dipilih bukan semata-mata karena program-program politik yang ditawarkan oleh partai itu sendiri, melainkan sebagai reaksi protes warga Jerman terhadap pemerintahan koalisi CDU/CSU dan SPD yang tidak memenuhi ekspektasi politik warga Jerman.

    Sisi gelap pemilu Jerman yang ditandai dengan berhasilnya partai populis meraih kursi kekuasaan memang tak terelakkan. Tetapi di sisi lain partai Liberal FDP (Free Democrats Party) yang diketuai oleh Christian Lindner dapat bangkit kembali dari keterpurukan dan mempromosikan nilai-nilai kebebasan di kancah perpolitikan Jerman. FDP menawarkan kebijakan politik pengungsi yang lebih realistis berdasarkan sistem kategori yang dinilai dari kualifikasi dan alasan-alasan pengungsi bermigrasi ke Jerman. Pengungsi yang datang akibat perang saudara akan mendapatkan izin tinggal otomatis dan mendapatkan pelatihan khusus agar dapat diintegrasikan secara langsung ke dalam lapangan pekerjaan domestik.

    Setelah perang saudara berakhir pengungsi-pengungsi yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan izin tinggal akan dikembalikan ke negara asal. Dan yang memenuhi persyaratan dan berperilaku baik akan mendapatkan izin tinggal tetap. Selain kebijakan pengungsi yang realistis, FDP mendorong anak-anak muda Jerman untuk menjadi pengusaha melalui perkembangan dan kesempatan yang diberikan oleh platform-platform ekonomi digital atau lebih dikenal dengan istilah sharing economy.

    Dan salah satu kunci sukses kebangkitan FDP ke dalam pemilu kemarin yakni branding politik partai yang menarik perhatian segmen-segmen performers dan anak-anak muda Jerman. Sosok Christian Lindner yang karismatik dan rupawan meningkatkan persepsi pubik terhadap partai ke arah yang lebih positif.

    Video kampanye Lindner yang menggunakan pakaian dalam berwarna putih berhasil menyuarakan pesan perubahan dan “German Mut”(Keberanian Jerman) yang menjadi viral di Jerman dan menarik banyak simpatisan-simpatisan baru.

    Tetapi kemenangan FDP di pemilu hanyalah awal dari perjalanan kebangkitan partai. Koalisi besar antara CDU/CSU dan SPD yang juga dikenal dengan koalisi merah hitam tidak akan terjadi pada pemerintahan kali ini. Terkait hal ini, pimpinan SPD Martin Schulz sudah menyatakan secara resmi dalam akun resmi partai bahwa SPD tidak akan berkoalisi dengan CDU dan menyatakan siap menjadi oposisi. Karena semua partai menolak berkoalisi dengan AfD maka koalisi yang memungkinkan secara matematis hanya koalisi Jamaika yang terdiri dari FDP, CDU dan Partai Hijau.

    Tantangan utama koalisi ini adalah mengasimilasikan dan mengompromikan kepentingan agenda politik FDP dan Partai Hijau. Partai FDP dan Partai Hijau harus menemukan jalan tengah antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan yang akan berpengaruh kepada keberhasilan pembentukan koalisi ini.

    Apabila koalisi ini gagal dan tidak bisa merealisasikan janji-janji kerja yang sudah diutarakan dalam kampanye pemilu maka partai ultra kanan AfD yang berada di oposisi akan diuntungkan dan berpotensi menjadi partai terbesar di Jerman yang akan berdampak buruk pada budaya dan sistem demokrasi Jerman.