Pemilu 2024, Kebangkitan Masyarakat Sipil, dan Masa Depan Indonesia

    112
    Sumber gambar: https://www.weforum.org/agenda/2019/04/does-indonesia-have-the-world-s-most-complicated-elections/

    Peta politik nasional saat ini sedang tren dengan beberapa nama yang masuk bursa calon presiden dan calon wakil presiden. Ini terlihat, misalnya, dari banyaknya survei yang belakangan memperlihatkan elektabilitas beberapa nama seperti, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Puan Maharani, Prabowo Subianto, Muhaimin Iskandar, Erick Thohir dan beberapa nama lain. Tentu ini mengindikasikan satu hal, peta politik menuju panggung Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan berwarna, karena dipenuhi dengan wajah-wajah baru.

    Menariknya, Partai Nasdem telah lebih dulu mengumumkan nama calon Presiden 2024, Anies Baswedan. Sementara itu, Partai PDI-P tengah mengalami kondisi dilematis menentukan nama calon yang akan dijagokan dalam Pemilu 2024. Dua nama yang akan memperebutkan golden ticket menuju panggung Pemilu ialah, Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Keduanya berpotensi diusung oleh partai PDIP.

    Suhu politik nasional menjelang Pemilu 2024 memang sedang memperlihatkan berbagai manuver partai politik  dan figur capres. Kedua tema ini sedang menjadi pokok bahasan di berbagai diskusi di televisi dan media sosial. Bahkan, jika kita jeli membaca peta politik nasional, Pemilu 2024 ini akan menyajikan pertarungan politik di antara kutub politik dari masing-masing koalisi. Kita berharap, koalisi yang terbentuk nantinya selalu mengedepankan gagasan pembangunan bangsa.

    Namun, apakah Pemilu 2024 hanya semata soal partai politik, elektabilitas figur dan kekuasaan? Tentu tidak. Pemilu 2024 juga perlu dan harus dilihat dari adanya partisipasi masyarakat sipil dalam mengorganisasikan diri dalam arena politik negara. Soal ini yang banyak dikesampingkan. Padahal, Pemilu 2024 akan disebut sebagai Pemilu yang berkualitas apabila masyarakat sipil berpartisipasi dalam Pemilu 2024.

    Di titik ini, Pemilu 2024 akan menjadi salah satu momentum untuk kebangkitan masyarakat sipil dalam membangun ruang publik demokrasi menjadi lebih sehat. Masalahnya, watak masyarakat sipil di Indonesia cenderung mengambil sikap kurang konsisten memperjuangkan kepentingan ekonomi-politik mereka sendiri.

    Problem Masyarakat Sipil di Indonesia

    Sekalipun optimisme publik pasca Soeharto dilengserkan menunjukkan sikap yang mengggembirakan terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Namun ternyata, di rezim Reformasi, lanskap politik demokrasi tidak banyak berubah ke arah transformasi kelembagaan dan penyelesaian problem struktural. Buktinya, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, kerusakan lingkungan, pengesahan aturan hukum yang bermasalah (revisi UU KPK, pengesahan UU Omnibus Law, dan yang terbaru pengesahan KUHP) justru semakin mempertegas minimnya komitmen negara merawat demokrasi, berikut praktik-praktiknya.

    Studi Hadiz (2005) menunjukkan bagaimana sebenarnya masyarakat sipil pasca Reformasi mengalami perpecahan ke dalam berbagai ceruk politik dari masing-masing kepentingan yang mereka usung. Pada tingkat ini, penting kita pahami, watak masyarakat sipil pasca Reformasi justru tercerai-beraikan ke dalam berbagai kepentingan dari berbagai aktor, baik negara maupun para oligarki. Yang terakhir ini kerap mengakuisisi politik demokrasi elektoral dan merusak tata kelolah kelembagaan negara untuk menyokong agenda mereka.

    Pada studi yang lain, Hadiz (2022), juga melihat bahwa, elemen masyarakat sipil pasca otoriter, merupakan masyarakat sipil yang diorganisasi dan dipelihara di bawah sistem kekuasaan yang predatoris. Jenis masyarakat sipil yang dipelihara di bawah rezim predatoris biasanya selalu mengambil bentuk sebagai aktor yang tidak konsisten memperjuangkan kepentingannya.

    Situasi ini, yang menurut saya, membuat masyarakat sipil di Indonesia enggan mengambil sikap dan posisi politik menggusur kekuatan oligark. Hal ini disebabkan karena kondisi internal masyarakat sipil mengalami perpecahan, yang kemudian tidak mampu menyokong agenda gerakan mereka ke dalam perjuangan mencapai kepentingan sendiri. Alhasil, masyarakat sipil justru mengekor di dalam kepentingan oligark, agar mereka tetap terserap dan tampil ke panggung politik nasional. Namun, justru di titik inilah, masyarakat sipil dilemahkan.

    Harus kita akui, watak masyarakat sipil di Indonesia tidak memiliki vocal point dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Representasi masyarakat sipil (organisasi masyarakat sipil) di dalam kekuasaan negara ternyata tidak mampu memompa lebih jauh kekuatan masyarakat sipil beserta agenda-agenda yang mereka usung. Selain karena faktor kegagalan memahami kultur politik di lingkaran negara, masyarakat sipil juga tersandera dengan begitu banyak tantangan yang harus mereka perjuangkan. Misalnya, persoalan HAM, korupsi, kerusakan lingkungan, dan berbagai persoalan lain.

    Harapan

    Ada dua hal yang akan menentukan masa depan Indonesia pasca Pemilu 2024. Pertama, berakhirnya masa jabatan presiden Jokowi yang akan digantikan oleh pemimpin baru. Artinya, kebijakan di masa pemerintahan Jokowi paling mungkin akan digantikan dengan kebijakan baru dari pemimpin baru. Ini tentu akan berpengaruh terhadap kultur politik dan relasi sosial yan ada di dalam struktur politik negara dan masyarakat, apabila pemimpin baru tidak melakukan transformasi lebih ke arah yang lebih baik.

    Kedua, tantangan politik ekonomi nasional dan global di masa depan akan sangat terasa. Negara harus punya strategi yang jelas dan terukur untuk menghentikan berbagai gejolak politik dan ekonomi yang dapat mengancam Indonesia. Karena itu, Pemilu 2024 perlu melihat berbagai kemungkinan dan ketidakpastian di masa depan yang akan mengganggu Indonesia. Pemilu harus menjadi titik awal kita bersama untuk mengevaluasi dan memproyeksikan berbagai tantangan itu, dengan memperdebatkan konsep pembangunan di tahun menuju panggung politik 2024.

    Untuk sampai ke sana, negara tidak bisa berjalan sendiri. Peran ini juga membutuhkan kolaborasi dengan masyarakat sipil. Kolaborasi beragam pihak dan pemangku kepentingan menjadi kunci untuk menghadapi segala tantangan dan ketidakpastian global dan nasional. Hal ini juga diharapkan dapat mendorong terbentuknya masyarakat sipil yang solid lewat kerja-kerja yang kolaboratif, inklusif, dan relevan.

     

    Referensi

    Hadiz, Vedi R. 2022. Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pascaotoriterianisme. Penerjemah, Abdil Mughis Mudhoffir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

    Hadiz, Vedi R. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.

     

    Profil Penulis

    Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila, akrab disapa Arsi, adalah alumni Universitas Merdeka Malang pada Program Studi Administrasi Publik. Senang mempelajari masalah demokrasi, kebijakan publik, dan masyarakat sipil. Saat ini menetap di Jakarta. Bisa dihubungi lewat email di patrisiusjenila@gmail.com.