Pembusukan Filsafat dan Kebusukan Filsafat

    470

    Filsafat biasanya identik dengan cara berpikir yang jelimet, rumit, dan kadang memusingkan kepala. Di mata masyarakat umum, filsafat dianggap sebagai ilmu yang tidak bermanfaat. Selain karena kita tidak bisa menghasilkan uang secara langsung dari perenungan, filsafat juga tidak diketahui masyarakat sebagai apa di kehidupan mereka.

    Namun belakangan ini filsafat mulai populer di kalangan masyarakat awam, kepopuleran filsafat secara tiba-tiba saat ini tak bisa lepas dari momentum politik yang sedang hangat-hangatnya hingga menyeret seorang ahli filsafat yang bernama Rocky Gerung.

    Sudut pandang filsafat dalam membaca situasi politik memang suatu cara pandang yang unik. Dalam filsafat, spekulasi logis dan analisis kritis lebih dikedepankan daripada berkutat pada data dan statistik yang rumit dan berputar-putar. Rocky “mungkin” menjadi orang pertama yang membawa narasi filosofis dalam membaca situasi politik. Maka tak heran jika spekulasinya sering mementahkan data dan argumen yang dibawakan oleh lawan bicaranya.

    Cara bicara yang retoris dan argumen yang “meliuk-liuk” dari Rocky Gerung, selain mendapat perhatian publik, namun juga menghadirkan banyak kritik. Banyak kalangan intelektual bahkan ahli filsafat yang tidak setuju dengan pemikiran Rocky Gerung. Bahkan kedekatannya dengan Paslon Capres 02 membuat Rocky dianggap telah menyeret narasi filsafat kedalam ranah politik praktis. Filsafat sebagai ilmu yang seyogyanya digunakan sebagai pisau analisis, justru  berubah menjadi alat politik karena keberpihakannya kepada salah satu pasangan calon.

    Argumentasi filsafat Rocky yang justru bernada politis membuat banyak akademisi dan intelektual melontarkan kritik bahkan membuat semacam diskusi atau seminar yang seolah-olah menjadi “mahkamah filsafat” untuk mengadili Rocky Gerung.

    Beberapa ahli filsafat dan para pecinta filsafat berkumpul di resto Tjikini Lima pada 13 Februari 2019. Suasana panas Jakarta tidak menyurutkan antusias mereka untuk mengikuti acara diskusi “Pembusukan Filsafat” yang diselenggarakan oleh Komunitas Pegiat Filsafat bersama Lingkaran Jakarta dan FORGES.

    Acara diskusi ini cukup menjadi tren di media sosial, khususnya di Twitter. Selain karena para narasumber yang merupakan tokoh terkemuka di bidang filsafat, acara diskusi ini menjadi booming karena dianggap sebagai kontra wacana terhadap para cendekiawan dan filsuf yang dianggap menyeret dunia intelektualitas kedalam politik praktis.

    Teman-teman filsafat UIN dan saya hadir di acara tersebut dan ketika menginjakkan kaki di resto Tjikini Lima, seluruh ruangan sangat penuh sesak. Saya pribadi cukup heran, sebab diskusi filsafat yang biasanya jelimet dan mengawang-awang, baru kali ini saya lihat dipadati oleh orang-orang dari berbagai lapis golongan.

    Acara yang diisi oleh Goenawan Mohammad, Akhmad Sahal, Sahalochtar Pabotinggi, Donny Gahral Adian, dan moderator Arif Susanto ini sempat dikritik oleh salah satu politisi Partai Demokrat, Andi Arief. Menurut Andi Arief, acara diskusi ini bertujuan untuk “membunuh” dan menjegal Rocky Gerung yang sedang naik daun. Banyak pula yang berasumsi bahwa acara ini adalah sebagai aksi politis dari kubu Paslon 01.

    Namun hal ini ditentang oleh Mochtar Pabotinggi mantan Peneliti LIPI, yang berkata, “Belakangan ini pembusukan filsafat kembali muncul, paling tidak dalam dua bentuk. Pertama, filsafat digunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu. Kedua, filsafat dilacurkan sebagai alat untuk tujuan subsistens semata dan bukan lagi sebagai sebuah art of thinking,” kata Mochtar (suara.com, 13/2/2019).

     

    Memahami Makna “Pembusukan”

    Banyak orang berasumsi bahwa acara diskusi ini hakikatnya adalah penolakan terhadap Rocky Gerung dan agumentasi filosofisnya yang bernada politis. Namun, para narasumber yang hadir menyangkal bahwa mereka hendak menghakimi Rocky, karena acara diskusi tersebut seyogyanya adalah sikap beberapa pegiat filsafat untuk menolak praktik sofisme, dimana filsafat hanya dijadikan ajang silat lidah dengan menerabas kaidah logika hanya demi aktor politik yang dia bela.

    Jikalau kemunculan Rocky sebagai ahli filsafat yang muncul di publik tidak terikat pada paslon capres manapun alias netral, mungkin argumen Rocky gerung takkan seheboh saat ini. Namun keberpihakan politiknya yang membuat nilai argumentasinya tidak memiliki bobot ilmiah dan terkesan sebagai bentuk apologis atau pembelaan yang dibungkus oleh argumen retoris, sehingga tampak seolah-olah sebagai argumentasi yang logis. Sebut saja ucapan “kitab suci fiksi”, “Jalan tol memisahkan kekasih”, “akal sehat” semuanya adalah ucapan bernada apologis alias pembelaan pada paslon capres yang ia bela.

    Tentu perlu digarisbawahi, bahwa memilih paslon capres adalah hak prerogatif Rocky, membela politisi unggulannya juga hak prerogatif  Rocky. Namun yang jadi masalah adalah jika argumentasi yang seolah-olah filosofis, justru menabrak kaidah-kaidah logika dan dihiasi dengan retorika demi membela kepentingan politik seseorang. Tentu Rocky juga memiliki hak untuk itu, namun orang lain juga memiliki hak untuk tidak sepakat dengan sikap Rocky dan membuat suatu kontra wacana.

    Filsafat seyogyanya adalah ilmu yang menyuruh kita berpikir secara bebas dan merdeka. Dalam berfilsafat argumentasi logis dilontarkan semata-mata bukan karena pesanan si A atau karena kekerabatan dengan si B, filsafat harus bebas dan melampaui kepentingan-kepentingan apapun. Yang jadi permasalahan, filsafat saat ini telah diseret dalam kancah politik dan membuat suatu kelompok yang telah mebekukan argumentasi filosofis tersebut untuk mendukung tujuan politik kelompoknya.

    Kita tahu belakangan muncul kelompok yang merasa paling “berakal sehat” sehingga mereka menyangka kelompoknya berhak menjadi ‘hakim filsafat’ yang bekerja untuk “mendungukan” dan atau mencap “goblok” orang-orang yang tidak sehaluan dengan pilihan politik mereka. Kelompok ini menggunakan argumen fiosofis Rocky Gerung dan berusaha mempolitisasi filsafat untuk menjatuhkan lawan politiknya.

    Kita tahu bahwa suasana politik saat ini mulai berjalan tidak sehat, semua orang memandang  lingkungannya secara hitam-putih alias benar dan salah. Kalau tidak salah ya benar dan  sebaliknya. Pada akhirnya kelompok “akal sehat” yang mempolitisasi filsafat secara berani menyatakan, “Saya benar dan Anda salah!”  Pola pikir justifikasi dan hitam-putih  seperti inilah yang tengah terjadi di masyarakat kita.

    Ditangan kelompok “akal sehat” ini, filsafat bukan menjadi pisau analisis untuk keluar dari kemelut politik  dan membuat jernih keadaan agar kita dapat melewati tahun politik 2019 secara damai dan tentram. Sebaliknya, filsafat justru menjadi alat politik untuk menghakimi dan menebar kebencian pada orang yang tidak sehaluan dengannya. Fenomena inilah yang disebut pembusukan filsafat dan perbuatan orang-orang yang menjadikan filsafat sebagai apologi politik (bukan sebagai metode analisis) disebut sebagai kebusukan filsafat.

    Jika proses dialektika filsafat berhenti hanya karena keberpihakan politik dan orang-orang yang mendukung Rocky Gerung tidak secara jernih mengkritik dan mendiskusikan ulang argumentasinya, maka sikap menutup dari kritik inilah yang bisa “membunuh” filsafat.

    Acara diskusi di resto Tjikini Lima ini bagi saya bukan suatu “mahkamah filsafat” untuk mengadili dan menyalahkan pribadi Rocky Gerung. Diskusi ini merupakan salah satu bentuk kontra terhadap wacana Rocky Gerung agar proses dialektika filsafat tetap hidup. Diskusi ini juga berupaya untuk mengembalikan filsafat kejalan yang benar sebagai pisau analisis yang independen tanpa memperdulikan keberpihakan politik.