Piala Dunia U-20 2023 yang sedianya dihelat di Indonesia pada bulan Mei-Juni mendatang akhirnya kandas. FIFA akhirnya secara resmi membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara perhelatan Piala Dunia U-20 2023 melalui rilis pers resminya beberapa waktu lalu. Hal ini merupakan hukuman telak bagi Indonesia, yang dalam beberapa waktu terakhir berkali-kali dihantam masalah penyelenggaran sepak bola.
Sejatinya, perhelatan ini sudah akan dipastikan terselenggara di Indonesia. Namun, harus diakui bahwa riuhnya isu politik yang berkelindan di lapangan sepak bola yang mencampuradukkan politik dan sepak bola terkait penolakan terhadap keikutsertaan dan kehadiran tim dari Israel, telah mengakibatkan ketidakpercayaan internasional terhadap pentingnya penghormatan politik diplomasi melalui olahraga yang menjunjung teguh prinsip kesetaraan, fair play, dan antidiskriminasi.
Kesimpangsiuran antara sepak bola dan politik harusnya betul-betul disadari sebagai entitas yang idealnya terpisah. Sepak bola sebagai bagian dari olah raga di satu sisi, dan kebijakan terkait seharusnya steril, dan mampu mengakomodasi kepentingan publik akan olahraga. Seperti diketahui, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang merupakan kader PDI Perjuangan, menyatakan penolakannya terhadap keikutsertaan Israel. Alasannya, untuk meneguhkan komitmen Presiden Pertama RI Soekarno dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Penolakan ini juga disampaikan oleh kader PDI Perjuangan lainnya yang kini menjabat Gubernur Bali, I Wayan Koster. Meskipun beberapa tokoh lain tidak menolak adanya tim dari Israel, termasuk Duta Besar Palestina di Indonesia.
Selain itu, alasan lainnya pendukung dinamika penolakan karena kehadiran Israel dianggap sebagai pelaku kejahatan perang di Palestina, serupa dengan Rusia yang didiskualifikasi oleh FIFA dari Kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar lalu. Di lain pihak, gencarnya penolakan terhadap Israel belakangan dianggap menjadi panggung pihak tertentu yang mengebiri kepentingan yang lebih besar.
Hal yang menyakitkan lainnya adalah beberapa waktu terakhir ini proses pertanggungjawaban yang dilakukan terhadap Tragedi Kanjuruhan juga menjadi perhatian besar. Hal ini lantaran putusan pengadilan yang ada dianggap masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat banyak atas tragedi tersebut.
Seperti diketahui, bahwa tragedi tersebut menyebabkan jumlah korban terbanyak kedua dalam sejarah hitam sepak bola. Insiden terbesar di dunia sepak bola terjadi di Estadio Nacional Peru pada 24 Mei 1964 dengan 328 orang meninggal dunia tatkala tuan rumah menjamu Argentina di babak kualifikasi Olimpiade Tokyo. Oleh karena itu, wajar jika Tragedi Kanjuruhan dengan putusan pengadilan yang malah membebaskan pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab karena mengakibatkan banyak kematian dan duka bangsa tersebut masih dinilai tidak tegas dalam menegakkan hukum dan belum memberikan rasa keadilan seutuhnya.
Beberapa catatan terhadap proses persidangan yang harusnya mengadili para pelaku yang bertanggung jawab justru masih jauh panggung daripada api. Vonis putusan yang diberikan kepada beberapa pelaku masih jauh dari harapan publik yang masih cukup dirasa ringan. Bahkan, beberapa aktor masih belum menjalani proses persidangan karena alasan masih memproses kelengkapan untuk persidangan.
Dalam konteks sepak bola, hal ini menjadi catatan dan sekaligus menjadi koreksi bersama. Dengan demikian, bukan hal yang mengagetkan jika akhirnya FIFA dan masyarakat internasional mengecam Indonesia atas Tragedi Kanjuruhan dan dinamika terkait yang terjadi, termasuk terkait dengan keriuhan soal penolakan terhadap kehadiran tim Israel oleh beberapa pihak dan persepakbolaan Indonesia umumnya dalam beberapa waktu terakhir.
Apa yang terjadi dalam dinamika dunia sepak bola di Indonesia juga menunjukkan betapa serius dan bermasalahnya unintended consequences yang diakibatkan oleh beragam pihak dan dinamika tersebut. Di sisi lain, upaya bersama untuk terus mendorong pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk menerapkan mekanisme penyelenggaran olah raga, termasuk sepak bola, dengan tetap menjunjung prinsip kesetaraan, fair play, dan antidiskriminasi masih menjadi pekerjaan rumah bersama yang mendesak. Hal ini penting untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk sepak bola di Indonesia, yang dapat meningkatkan prestasi tim sepak bola Indonesia dalam berbagai kancah kompetisi persepakbolaan, serta kesejahteraan para atletnya, dengan kebijakan dan insentif yang mendukung, serta organisasi dan manajemen PSSI yang lebih profesional dan berintegritas.
*****

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.