Pada 8 Oktober 1945, Jendral Angkatan Bersenjata Nazi Jerman, Anton Dostler, diadili di Pengadilan Militer Amerika Serikat dengan tuduhan kejahatan perang. Dostler dituduh melakukan pembunuhan terhadap 15 tentara Amerika Serikat yang ditangkap di salah satu pertempuran di Italia pada tahun 1944, saat Perang Dunia II memasuki babak akhirnya.
Dostler, saat itu mengakui bahwa ia memang memerintahkan pembunuhan tersebut. Namun, ia berkilah bahwa ia tidak bisa disalahkan atas tindakan tersebut. Dostler bersikeras bahwa keputusan yang ia ambil tersebut adalah implementasi dari perintah pemimpin Jerman, Adolf Hitler, yang pada tahun 1942 memerintahkan untuk membunuh seluruh tentara Sekutu yang ditangkap.
Pembelaan Dostler lantas tidak diterima dan ditolak oleh pengadilan tersebut. Jendral tersebut diputuskan bersalah atas kejahatan perang oleh Pengadilan Militer Amerika Serikat, dan dijatuhi hukuman mati dengan regu tembak. Ia akhirnya dieksekusi pada 1 Desember 1945 (marinamaral.com, 16/4/2017).
Meskipun pembelaannya gagal, namun argumen Dostler ini kelak akan menjadi preseden bagi pembelaan yang dilakukan oleh para pemimpin Nazi Jerman saat Pengadilan Nuremberg pada tahun 1945 – 1946. Pengadilan Nuremberg sendiri adalah pengadilan militer yang didirikan oleh negara-negara Sekutu pemenang Perang Dunia II, yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Uni Soviet, yang bertujuan untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman.
Pada saat Pengadilan Nuremberg, berbagai mantan pemimpin Nazi Jerman, seperti petinggi militer Wilhelm Keitel dan Alfred Jodl, menggunakan pembelaan yang sama seperti yang dilakukan oleh Dostler, bahwa yang mereka lakukan hanya mengikuti rantai komando semata. Sebagaimana kasus Dolster, pembelaan mereka ditolak. Keitel dan Jodl pun dijatuhi hukuman mati, dan keduanya dieksekusi pada 16 Oktober 1946 (nydailynews.com, 14/10/2016).
Argumen untuk berkilah atas tindakan kejahatan yang dilakukan seseorang dengan menggunakan alasan perintah atasan dan menghilangkan tanggung jawab serta agensi individu kini dikenal dengan nama Nuremberg Defense, atau Pembelaan Nuremberg. Dalam Prinsip Nuremberg No. 4 (Nuremberg Principle IV) dinyatakan dengan tegas bahwa “Dalam hukum internasional, fakta seseorang untuk bertindak berdasarkan perintah dari Pemerintah atau atasan, bukan berarti lantas membebaskan ia dari tanggung jawab, karena orang tersebut masih memiliki pilihan moral” (Principles of International Law Recognized in the Charter of the Nuremberg Tribunal and in the Judgment of the Tribunal, 1950).
Pengadilan Nuremberg bukanlah tempat akhir argumen tersebut digunakan untuk membela diri. Lima belas tahun setelah Pengadilan Nuremberg, pembelaan yang sama juga dilakukan oleh salah satu petinggi organisasi paramiliter Nazi, SS, Adolf Eichmann, yang diadili atas kejahatan kemanusiaan di Israel pada tahun 1961. Di tahun sebelumnya, Eichmann ditangkap oleh dinas intelijen Israel, Mossad, di tempat persembunyiannya di Argentina, di mana ia berhasil kabur dari Jerman pasca Perang Dunia II berakhir.
Setelah ditangkap oleh Mossad, Eichmann diadili di Jerusalem atas perannya sebagai salah satu tokoh sentral yang mengorganisir genosida terhadap umat Yahudi. Dalam pembelaannya, mantan petinggi SS tersebut juga menggunakan argumen yang sama seperti Keitel dan Jodl, di mana ia menjustifikasi tindakannya tersebut bahwa ia hanya mengikuti perintah dari Hitler. Namun, sebagaimana di Pengadilan Nuremberg, pembelaan Eichmann tersebut ditolak oleh pengadilan, dan ia dieksekusi pada tahun 1962 (aish.com, 30/4/2005).
*****
Pengadilan Nuremberg dan pengadilan Adolf Eichmann di Jerusalem adalah beberapa contoh klasik tentang bagaimana seorang kriminal yang sudah mendatangkan penderitaan dan kematian kepada banyak orang berusaha melepaskan tanggung jawabnya dari tindakan kejahatan yang ia lakukan. Memang, salah satu cara paling mudah agar seseorang dapat melepaskan diri dari tanggung jawab moral atas tindakan keji yang dilakukannya adalah dengan melempar tanggung jawab kepada orang lain.
Seakan-akan, bila seseorang diperintah untuk melakukan sesuatu, maka kehendak dirinya lantas menjadi hilang, sehingga ia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah atasannya secara membabi buta seperti robot. Pandangan seperti ini tentu merupakan sesuatu yang sangat keliru dan berbahaya.
Manusia adalah spesies yang mampu berpikir dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Pengakuan atas agensi individu adalah hal yang sangat penting. Tanpa adanya agensi individu, maka tidak akan ada tanggung jawab individu. Dengan demikian, maka setiap orang dapat dengan mudah melepaskan diri dari tanggung jawab atas kejahatan yang ia lakukan kepada orang lain.
Oleh karena itu, Pengadilan Nuremberg merupakan salah satu pengadilan yang paling penting di abad ke-20, karena memberikan preseden bahwa seseorang tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas tindakan kriminal yang ia lakukan karena semata-mata mengikuti perintah. Setiap individu memiliki pilihan untuk memutuskan apakah ia akan membiarkan dirinya melakukan tindakan kejahatan yang membawa penderitaan hingga kematian kepada orang lain atau tidak.
Kejahatan genosida Nazi tentu bukan hanya satu-satunya tragedi kemanusiaan di era modern, khususnya di abad ke-10. Berdekade-dekade setelah Perang Dunia II berakhir, dunia menyaksikan berbagai tragedi kemanusiaan yang telah merenggut ribuan hingga puluhan juta jiwa yang tidak bersalah. Beberapa diantaranya adalah Kelaparan Besar China yang diorganisir oleh Mao Zedong pada tahun 1959-1961, genosida Kamboja oleh Pol Pot pada tahun 1975-1979, genosida etnis Kurdi oleh Saddam Hussein Irak pada tahun 1986-1989, pembunuhan massal etnis Bosnia oleh Serbia dalam Perang Balkan di awal dekade 1990-an, dan genosida Rwanda pada tahun 1994.
Tidak berbeda dengan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Nazi, berbagai tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut dilakukan agar kelompok-kelompok tertentu bisa menciptakan “surga” di dunia dan memiliki kekuasaan absolut atas kehidupan manusia lain. Nazi ingin menghilangkan umat Yahudi dari muka bumi untuk cita-citanya membangun surga di dunia bagi bangsa Jerman yang dianggap sebagai bangsa unggul di antara manusia lainnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Mao Zedong dan Pol Pot ketika ia menghilangkan nyawa jutaan warganya untuk membangun dunia utopia masyarakat komunis sesuai dengan yang diimpikan oleh Karl Marx dan Lenin. Ketika militan-militan etnis Hutu membunuhi saudara-saudara mereka dari suku Tutsi di Rwanda, mereka juga bercita-cita ingin membangun masyarakat impian bagi warga Hutu di Rwanda.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya seluruh pihak yang terlibat dalam tindak kejahatan terhadap kemanusiaan untuk dihukum seberat-beratnya atas tindakan keji yang mereka lakukan terhadap ribuan hingga jutaan manusia. Bila hal tersebut tidak dilakukan, bukan tidak mungkin seseorang, atau sekelompok orang, akan dengan mudah melakukan kejahatan yang sama, atau bahkan lebih keji di masa depan, karena mereka berkeyakinan dapat dengan mudah melepaskan diri dari tanggung jawab dan hukuman atas kekejian yang mereka lakukan.
Referensi
Dokumen Hukum Internasional
Principles of International Law Recognized in the Charter of the Nuremberg Tribunal and in the Judgment of the Tribunal. 1950. Diakses dari: https://ihl-databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/Article.xsp?action=openDocument&documentId=DFA0BDF15E81AEA8C12563CD0051C99E pada 5 Oktober 2020, pukul 23.45 WIB.
Internet
https://marinamaral.com/nazi-general-anton-dostler-is-tied-to-a-stake-before-his-execution-by-a-firing-squad-1945/ Diakses pada 5 Oktober 2020, pukul 21.30 WIB.
https://www.nydailynews.com/news/world/nazi-war-criminals-executed-nuremberg-trials-1946-article-1.2831066 Diakses pada 5 Oktober 2020, pukul 22.20 WIB.
https://www.aish.com/ho/i/48959761.html Diakses pada 6 Oktober 2020, pukul 00.50 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.