Kebijakan pemerintah yang diumumkan oleh Menteri Hukum dan Ham (Menkumham), Yasonna Laoly, untuk membebaskan lebih dari 30.000 narapidana, demi mengantisipasi penyebaran virus COVID-19 di dalam rumah tahanan (rutan) menimbulkan kontroversi. Yasonna sendiri juga menandatangani Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020, mengenai Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi, dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 pada 30 Maret 2020 (CNN Indonesia, 05/04/2020).
Pembebasan narapidana tersebut, selain dilakukan untuk mencegah penyebaran wabah virus, juga telah menghemat anggaran negara untuk kebutuhan warga binaan pemasyarakatan hingga Rp260 miliar. Selain akan membebaskan narapidana untuk kasus kejahatan umum, Yasonna juga memutuskan untuk membebaskan para narapidana kasus korupsi yang sudah di atas 60 tahun.
Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia bukan negara pertama yang melakukan program pembebasan terhadap narapidana untuk mencegah penyebaran Virus COVID-19 di dalam rutan. Setidaknya ada 31 negara yang juga mempunyai program untuk membebaskan narapidana mereka dari rutan, salah satunya adalah Turki. Kebijakan ini juga diserukan oleh WHO dan juga didukung oleh lembaga PBB, UN Human Rights.
Tidak sedikit masyarakat yang mengkritik keras dan mengecam keputusan pemerintah tersebut. Mereka menuduh bahwa pembebasan para narapidana dari rutan hanyalah alasan politik dari Yasonna dan rezim Jokowi untuk membebaskan teman-temannya yang tersandung kasus korupsi dan kini mendekam di penjara.
Narasi-narasi liar dan juga makian yang dilontarkan oleh para netizen di media sosial, membuat Menkumham geram dan mengatakan bahwa yang tidak sepakat dengan pembebasan napi tersebut sebagai orang yang tumpul rasa kemanusiaannya. Tentu saja, pernyataan tersebut makin membuat caci maki masyarakat makin menjadi-jadi. Apalagi salah satu tokoh duta baca Indonesia, Najwa Shihab juga mengkritisi kebijakan kemenkumham tersebut.
Tentu banyak yang bertanya-tanya, kenapa pemerintah seolah-olah membiarkan para “penjahat” itu lepas dan berkeliaran? Bukankah itu akan membahayakan masyarakat? Pertanyaan ini mungkin terus berputar-putar di kepala kita. Kebijakan pembebasan para napi yang membuat masyarakat gaduh, membuat Suara Kebebasan tergerak untuk mendiskusikannya di Webinar Forum Kebebasan pada hari Kamis, 16 April 2020.
Pada diskusi virtual kali ini, yang menjadi narasumber adalah Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang secara khusus hadir untuk menyampaikan materi mengenai pembebasan para napi dari rutan yang kini menjadi kontroversi.
Alasan Pembebasan Para Narapidana
Secara tegas Erasmus menjelaskan bahwa posisinya, dan juga institusinya, mendukung penuh kebijakan pemerintah, dan menyatakan langkah pemerintah tersebut sudah sangat tepat dan benar. Publik yang saat ini gaduh dan juga risau, disebabkan karena kurangnya informasi terhadap alasan pembebasan para napi tersebut. Para pejabat publik hanya menjelaskan melalui pasal perpasal dalam undang-undang atau menjelaskan bahwa ini adalah upaya untuk menangkal penyebaran COVID-19. Tentu saja alasan ini tidak membuat masyarakat langsung puas.
Erasmus menjelaskan bahwa sebab utama dari pembebasan para narapidana dari rumah tahanan adalah kapasitas rutan kita yang sudah melewati batas, alias overcrowding, sejak tahun 2011. Saat ini, bahkan sudah mendekati extreme overcrowding hingga mencapai 204%.
Dengan kata lain, kapasitas rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan hanya mampu menampung 132.335 narapidana, sedangkan yang terjadi sekarang justru ada 270.462 narapidana. Bayangkan apa yang terjadi, jika satu sel dihuni oleh puluhan tahanan, dan mereka saling berdesakan ketika tidur. Aliran udara yang baik dan fasilitas kesehatan yang memadai juga tidak mereka dapatkan.
Tetapi, bukankah mereka semua pelaku tindak kriminal?
Mungkin mereka adalah pelaku tindak kriminal. Tetapi, menurut survei, justru banyak orang yang dimasukkan ke dalam penjara hanya karena kasus yang sepele, entah mencuri ayam, atau perbuatan lain. Bisa saja mereka ditahan hanya karena menggunakan narkoba atau hanya melakukan kesalahan berkomentar di media sosial, sehingga mereka dituntut menggunkan UU ITE, yang membuat mereka mendekam di penjara.
Ya, apakah layak orang yang berkomentar miring terhadap pemerintah harus dipenjara selama 1-3 tahun bahkan lebih? Apakah layak orang yang hanya mengkonsumsi narkoba lalu dijebloskan ke penjara? Terlepas kita mendukung atau tidak namun secara manusiawi tentu kita tidak bisa membiarkan orang-orang yang berdesak-desakan di dalam sel dengan fasilitas yang minim.
Dengan adanya tahanan baru yang masuk setiap hari, peluang untuk terkena wabah COVID-19 sangat tinggi. Jangankan wabah virus Corona. Bahkan, ketika para narapidana terkena flu atau luka bisul, penyakit tersebut bisa menjadi serius karena di dalam lapas kualitas sanitasi, udara, serta pelayanan kesehatan sangat buruk.
Melihat kenyataan bahwa prasarana yang begitu buruk di lapas kita, juga penuh sesaknya sel-sel dalam rumah tahanan oleh para narapidana, bukan tidak mungkin akan terjadi kematian besar-besaran yang akan menimpa para narapidana, bahkan juga para sipir dan petugas lapas. Karena itulah pemerintah mengambil keputusan untuk membebaskan narapidana tersebut.
*****
Sekali lagi, sebagai individu, kita boleh saja merasa kesal dan marah kepada para narapidana. Tetapi negara tidak boleh merasa kesal dan jengkel terhadap narapidana. Sebab, melindungi dan menjaga para saudara-saudara kita yang berada di dalam lapas adalah amanat konstitusi, amanat yang dipikul oleh negara dimana pemerintah harus memperlakukan seluruh rakyatnya secara manusiawi.
Walaupun saat ini kita mendapat berita dari media massa, bahwa ada 19 narapidana yang kembali berbuat ulah, seperti mencuri motor, mencopet, mencuri kotak amal, dan lain sebagainya, namun dibanding dengan jumlah narapidana yang dibebaskan (yaitu 30.000 orang) jumlah orang yang kembali melakukan tindak kriminal sangat kecil, hanya 0,005%. Jangan karena yang sedikit itu membuat kita mengeneralisir semua narapidana yang bebas bersyarat itu akan melakukan tindakan ketika dikeluarkan.
Selain itu, sebelum terjadi wabah COVID-19, setiap hari di negara kita ini selalu ada narapidana yang dibebaskan, baik secara bersyarat atau bebas karena masa tahanannya sudah selesai. Namun, karena narasi yang ditampilkan media dan kita yang berlebihan, sehingga seolah-olah pembebasan narapidana adalah hal yang tidak biasa.
Kegagalan Sebuah Sistem
Bukan hanya masalah pelaku kejahatan yang membuat sel-sel penuh, tetapi juga sistem penegakan hukum kita yang harus dikritisi. Banyak pasal-pasal karet dan juga pasal yang membatasi kebebasan turut menyebabkan rutan menjadi overcrowding.
Negara kita memang berlandaskan hukum, tapi tidak berarti semua orang yang melakukan penyimpangan harus dipidana dan dipenjarakan. Contohnya adalah kasus ujaran kebencian, kasus konsumsi narkoba, kasus perzinahan atau kasus pencurian buah karena si pelaku kelaparan. Semua ini tidak harus berakhir penjara. Harus ada alternatif-alternatif untuk menyelesaikan kasus hukum tanpa memenjarakan orang tersebut.
Dimana nurani kita ketika seorang manula yang kelaparan harus mendekam dipenjara hanya karena mencuri buah untuk mengisi perutnya? Atau kita ambil contoh yang lebih aktual, apakah logis jika seorang pedagang nasi goreng atau pedagang kecil harus ditahan dalam sel atau membayar denda ratusan juta rupiah hanya karena melanggar aturan PSBB?
Banyak orang-orang yang dirampas hak kehidupan, kebebasan, dan waktu berharganya hanya karena terjerat oleh suatu pasal karet atau permasalahan, yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa harus mendekam di penjara (seperti kasus Baiq Nuril dan juga Meiliana). Penegakan hukum kita harus direformasi atau dirubah, tidak bisa seperti ini.
*****
Dalam sesi tanya jawab, peserta secara antusias banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan, seperti mengapa para narapidana yang keluar dari rumah tahanan tidak diberikan insentif sebagai bekal bagi mereka selama masa asimilasi? Kenapa pemerintah tidak mempekerjakan mereka agar mereka bisa produktif dan mendapat bekal ketrampilan?
Pembicara menjelaskan bahwa memang ada ruang khusus, di mana para penghuni rutan mendapat bekal pendidikan dan juga dipekerjakan secara produktif. Namun karena masalah overcapacity, tidak mungkin pembinaan secara sempurna bisa dilakukan. Bayangkan, seorang petugas harus membina 200 orang napi dalam sebuah rutan, apakah itu bisa dilakukan? Tentu akan kesulitan.
Adapula partisipan yang bertanya, bagaimana caranya menyampaikan informasi secara tepat kepada masyarakat mengenai pembebasan narapidana ini? Dan ada pula penanya yang bertanya, mengapa orang yang masuk kedalam penjara begitu banyak, apakah “sistem penjara” cukup efektif untuk mencegah kejahatan?
Penjara secara filosofis adalah bentuk show of power dari negara untuk menahan rakyatnya yang membangkang. Negara juga membangun narasi bahwa para narapidana itu orang jahat dan berbahaya. Karena itu, ketika ada informasi tentang pembebasan narapidana, semua orang merasa panik. Di sini, negara punya peran penting untuk merubah persepsi masyarakat tentang mereka yang ditahan, dan juga negara harus memberikan penjelasan bahwa narapidana yang dilepas adalah orang-orang yang sudah benar-benar dibina dan diawasi.
Lalu apakah sistem penjara adalah efektif? Tentu tidak semuanya bisa diselesaikan dengan penjara. Masalahnya, aparatur hukum kita “tidak mau ribet”, sehingga apa yang mereka anggap tindakan buruk, maka langsung dipenjara. Para penegak hukum kita sudah “terlena”, sehingga tidak memikirkan alternatif lain guna penyelesaian hukum.
Setelah menjawab berbagai pertanyaan, pembicara menutup pembahasan dengan berkata, bahwa mungkin kita boleh membenci para narapidana sebagai para penjahat dan mengutuk mereka yang bebas dari penjara, tetapi kita jangan lupa bahwa mereka adalah manusia yang memiliki sisi hitam dan putih, mereka memiliki kesempatan yang sama seperti kita.
Coba bayangkan (semoga tidak terjadi) jika kita, keluarga atau rekan kita yang mengalami apa yang para narapidana rasakan. Betapa tersiksanya, sudah di dalam rutan susah untuk bernafas karena sesaknya, tidak mendapat jaminan kesehatan yang baik, gizi berkurang, keluarga tak terurus, dan ketika dibebaskan mereka masih didiskriminasi oleh masyarakat.
Memang benar, ada narapidana yang kemarin dibebaskan melakukan kejahatan kembali. Tetapi solusinya, bukan penahanan selamanya. Namun, harus ada pengawasan dan juga pendampingan, khususnya kepada para pecandu narkoba. Perhatikan dan dampingi mereka sebagai manusia karena mereka juga manusia seperti kita!
Referensi:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200405120144-12-490439/yasonna-hanya-orang-tumpul-kemanusiaan-tak-terima-napi-bebas Diakses pada 17 April 2020, pukul 00.12 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com