Pembangunan Desa dan Bantuan Internasional

    285

    Dengan jumlah penduduk yang besar, kemiskinan tetap merupakan permasalahan utama dalam pembangunan Indonesia. Data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan nasional menjadi 10,14 persen di tahun 2021 yang setara dengan 27,55 juta penduduk miskin dari total penduduk sebesar 270,2 juta.

    Dalam upaya mengentaskan kemiskinan, Indonesia dibantu oleh berbagai lembaga bantuan asing, seperti Bank Dunia, DFAT dari Australia, JICA dari Jepang, maupun USAID dari Amerika Serikat. Selain itu, di Indonesia juga terdapat berbagai lembaga non-pemerintah internasional, yang beroperasi dalam bentuk lembaga lokal, seperti Care International, Mercy Corps, Save the Children, dan Plan International yang menjalankan berbagai kegiatan di masyarakat terkait isu-isu pembangunan yang masih terkait kemiskinan seperti pendidikan, sanitasi, lingkungan, dan lain-lain.

    Bantuan asing yang umumnya diperoleh dari pembayar pajak di negara maju menimbulkan perdebatan mengenai efektivitas bantuan tersebut dalam mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Di dalam buku Kemiskinan dan Kebebasan, Matt Warner membahas tentang “Dilema Pihak Luar”, di mana pihak luar yang berniat baik dalam memberikan bantuan pembangunan pada akhirnya lebih banyak memberikan dampak buruk bagi negara yang diberikan bantuan. Pihak luar yang dimaksud Warner dapat berupa individu maupun lembaga, yang melakukan pendekatan top-down dan tidak memahami norma, budaya, sistem nilai dan perilaku masyarakat lokal penerima bantuan.

    Terdapat berbagai contoh kegagalan pihak luar dipaparkan Warner yang merujuk pada berbagai studi mengenai efektivitas pembangunan. Selain itu, dijelaskan pula contoh contoh kasus bagaimana masyarakat lokal dapat membuat perubahan yang signifikan. Sebagai seorang praktisi pembangunan, saya ingin mengajak Anda untuk melihat bagaimana dunia pembangunan merespon dilema pihak luar ini.

    Paradigma pembangunan terus berkembang dan lembaga bantuan asing pun sebenarnya menyadari peran penting masyarakat lokal dalam pembangunan. Sejak tahun 70-an, Bank Dunia melalui proyek Integrated Rural Development Program mencoba untuk menggunakan pendekatan yang berbasis masyarakat meskipun dalam praktiknya program ini menjadi birokratis, hanya bekerja dengan pemerintah tanpa mendengarkan suara-suara masyarakat. Niat mulia untuk melakukan pembangunan dari bawah menemui berbagai

    kendala, baik secara teknis maupun politis. Di tahun 90-an, Bank Dunia kemudian mencoba lagi melalui pembangunan berbasis komunitas (Community-Driven Development). Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi subyek pendekatan baru ini melalui program. Program Pengembangan Kecamatan (Kecamatan Development Project) yang dilaksanakan sejak tahun 1998. Model pengembangan kecamatan ini terus berlanjut dan diadopsi oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

    Di dalam skema PNPM, masyarakat diajak untuk menentukan kriteria masyarakat penerima bantuan, yaitu rumah tangga yang termasuk kategori miskin/sangat miskin.  Teknik yang di dalam dunia pembangunan disebut community-based targeting ini merupakan upaya bottom-up sebagai lawan dari pendekatan top-down dimana pemerintah yang menentukan rumah tangga mana yang miskin berdasarkan data statistik. Selain itu dalam skema pemberdayaan masyarakat ini, terdapat fasilitator dan kader untuk memastikan proses pelaksanaan PNPM ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat.

    Model dan pendekatan pemberdayaan masyarakat ala PNPM ini juga terlihat dalam berbagai program bantuan sosial pemerintah dengan beberapa variasi. Dengan kata lain, proses pembangunan yang ada selama ini telah mencoba mengakomodasi pengetahuan, dan aspirasi dari bawah.

    Meski demikian, pelaksanaan program pembangunan dari bawah ini tidak serta merta menjamin masyarakat miskin mendapat apa yang mereka suarakan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh elite capture, yaitu praktik korupsi yang dilakukan oleh elit politik maupun elit masyarakat yang memanfaatkan bantuan sosial untuk dirinya sendiri.

    Contoh elite capture yang jamak terjadi adalah saat penyaluran beras untuk keluarga miskin (Raskin). Kepala desa cenderung menyalurkan beras bersubsidi secara merata kepada rumah tangga miskin dan rumah tangga non miskin. Hal ini dilakukan karena kepala desa ingin menghindari konflik dengan masyarakat non miskin yang tidak terima apabila mereka tidak menerima bantuan.

    Program pembangunan memerlukan proses monitoring dan evaluasi yang mumpuni untuk memastikan semua proses pembangunan dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan berjalan dengan baik. Masyarakat diharapkan berperan aktif dalam proses monitoring dan evaluasi, begitu juga fasilitator yang berperan mendampingi masyarakat.  Fasilitator yang baik perlu secara rutin menemui masyarakat dan memfasilitasi aspirasi masyarakat. Di salah satu program pemberdayaan petani yang pernah saya kerjakan

    Bersama sebuah lembaga non pemerintah internasional, masyarakat desa menyatakan bahwa fasilitator kami jauh lebih baik dalam melakukan pendampingan dibandingkan dengan fasilitator yang direkrut oleh pemerintah lokal. Hal ini dikarenakan fasilitator desa kami bekerja penuh waktu sehingga dapat fokus dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa skema bottom-up yang sama dapat menghasilkan hasil yang berbeda.

    Ungkapan “the devil is in the details” sangat relevan dalam dunia pembangunan. Kita sepakat mengenai perlunya pendekatan bottom-up yang berbasis masyarakat dalam pengentasan kemiskinan agar mereka dapat keluar dari kemiskinan. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengatasi berbagai detail-detail kecil yang menghambat proses pembangunan tersebut.