Pada 8 Mei 2021 lalu, kasus intoleransi kembali terjadi di Indonesia. Kali ini, yang menjadi sasaran adalah proyek pembangunan masjid yang dimiliki oleh Komunitas Ahmadiyah, yang terletak di kota Garut, Jawa Barat, yang disegel oleh Bupati Garut (nasional.kompas.com, 8/5/2021).
Bupati Garut, Rudy Gunawan, menjustifikasi tindakan yang diambilnya karena dapat mengganggu stabilitas warga. Rudy sendiri secara eksplisit menyatakan bahwa ia bertanggung jawab penuh atas keputusan penghentian pembangunan masjid Ahmadiyah yang diambilnya tersebut.
Kasus yang mengenaskan ini bukanlah yang pertama terjadi di negara kita. Kelompok Ahmadiyah di Indonesia telah berkali-kali mengalami berbagai perlakuan diskriminasi hingga kekerasan, baik dari organisasi massa maupun lembaga pemerintahan, hanya karena keyakinan yang mereka yakini.
Sepuluh tahun yang lalu misalnya, tepatnya 6 Februari 2011, terjadi kejadian yang sangat mengenaskan yang menimpa Jemaat Ahmadiyah di kota Cikeusik, Banten. Ribuan massa datang untuk menyerang sekelompok pengikut Ahmadiyah yang tengah berkumpul di salah satu rumah anggota komunitas keagamaan tersebut, dan menyebabkan 3 orang meninggal dunia dan satu mobil dibakar massa (nasional.tempo.co, 6/2/2011).
Masih segar diingatan kita juga Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang diterbitkan pada tahun 2008 lalu. SKB yang ditandatangai oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tersebut secara eksplisit melarang Komunitas Ahmadiyah untuk melakukan kegiatan, dan memberi peringatan sanksi kepada anggota Komunitas Ahmadiyah yang mengabaikan larangan tersebut (news.detik.com, 9/6/2008).
Diskriminasi dan kekerasan terhadap Ahmadiyah bukanlah hal yang hanya terjadi di negara kita saja. Di berbagai negara, kelompok ini kerap mendapatkan berbagai perlakukan diskriminasi dan kekerasan, salah satunya yang paling umum adalah yang terjadi di Pakistan, yang merupakan negara tempat kelahiran kelompok tersebut. Pada tahun 1974, Parlemen negara yang berbatasan dengan India tersebut meloloskan Amandemen Konstitusi yang menyatakan bahwa Ahmadiyah bukanlah bagian dari Islam.
Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan. Segala bentuk tindakan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok keagamaan minoritas apapun, adalah hal yang tidak bisa diterima, karena kewajiban negara yang utama haruslah melindungi kebebasan warganya.
Jaminan kebebasan beragama sendiri merupakan hal yang sudah dijamin oleh konstitusi negara kita. Dalam Pasal 28I Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan dengan tegas bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” (Tirto.id, 29/12/2020).
Tidak hanya Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia sendiri sudah meratifikasi kovenan internasional yang mewajibkan negara untuk melindungi hak kebebasan beragama. Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights / ICCPR), yang sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005, dalam Pasal 18 kovenan tersebut, dinyatakan dengan jelas bahwa setiap orang memiliki hak untuk menikmati kebebasan berpikir, kebebasan hati nurani, dan kebebasan beragama (Dokumen ICCPR, orchr.org).
Salah satu hal yang kerap disalahpahamai terkait dengan kebebasan beragama adalah, bila kita membela hak sipil seseorang untuk bebas menganut suatu kepercayaan tersebut, maka kita sama saja membenarkan kepercayaan yang diyakini oleh orang tersebut. Banyaknya suara-suara seruan untuk melarang Ahmadiyah misalnya, didasari pandangan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok sesat karena mengakui bahwa ada nabi lain setelah Nabi Muhammad S.AW.
Hal ini tentu merupakan kekeliruan dan kesalahan berpikir yang luar biasa. Saya sendiri dalam hal ini tidak tertarik pada debat teologis bahwa apakah Ahmadiyah, atau aliran-aliran lainnya, merupakan bagian dari Islam atau bukan. Lebih baik mereka yang telah melakukan studi mengenai ilmu agama yang terlibat dalam perdebatan tersebut. Setiap individu tentu berhak untuk memiliki opini tertentu terhadap suatu hal, termasuk juga terkait dengan isu-isu teologi, yang merupakan bagian dari kebebasan berpikir dan kebebasan beragama.
Membela hak kebebasan seseorang untuk bebas beribadah jauh berbeda dengan membenarkan keyakinan tersebut. Sama seperti ketika kita membela hak seseorang untuk menyampaikan opini atau pendapatnya, bukan berarti lantas kita secara otomatis menyetujui opini atau pendapat yang disampaikan oleh orang tersebut. Yang kita bela adalah kebebasan seseorang untuk menganut agama sesuatu dengan keyakinannya, bukan keyakinan yang dipercayai oleh orang tersebut.
Selain itu, pandangan untuk menjaga stabilitas warga, sebagaimana yang disampaikan oleh Bupati Garut di atas, tentu adalah pandangan yang sangat keliru. Menjadi tugas utama dari negara adalah melindungi hak warganya, bukan justru merampas kebebasan warganya dan tunduk pada keinginan kelompok-kelompok tertentu yang ingin merampas hak orang lain.
Bila ada sekelompok orang yang ingin merampas sebuah toko misalnya, menjadi kewajiban negara adalah melindungi pemilik toko tersebut, dan menangkap mereka yang ingin merampas toko milik orang lain. Jangan sampai, negara justru memaksa pemilik toko untuk memberikan barang-barang yang diinginkan oleh orang-orang yang ingin merampas toko tersebut dengan mengatasnamakan untuk mencegah terjadi kekerasan dan instabilitas.
Untuk mereka yang tetap bersikeras untuk melarang aliran kepercayaan yang bertentangan dengan keyakinannya, lantas bagaimana bila situasinya dibalik? Bayangkan bila kita tinggal di negara yang mayoritas penduduknya menganut Ahmadiyah, dan pemerintah negara tersebut melarang kita untuk mendirikan rumah ibadah dan menjalankan kegiatan keagamaan yang kita yakini, apakah kita dapat menerima hal tersebut?
Apakah kita akan menerima, bahwa di negara tersebut, kita akan dikejar-kerjar hingga dibunuh hanya karena kepercayaan yang kita yakini? Bila jawabannya adalah tidak, maka jangan juga kita memaksakan keyakinan kita kepada orang lain, dan melarang mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan kita untuk melakukan kegiatan peribadatan.
Sebagai penutup, salah satu kewajiban negara yang paling utama adalah melindungi kebebasan warganya, termasuk tentunya kebebasan beragama. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar setiap individu yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Jangan sampai, negara justru menjadi tunduk pada keinginan kelompok-kelompok intoleran yang ingin merampas kebebasan individu lain yang memiliki kepercayaan yang berbeda dengan diri mereka.
Referensi
Kovenan Internasional
https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx Diakses pada 9 Mei 2021, pukul 01.10 WIB.
Internet
https://nasional.kompas.com/read/2021/05/08/08055551/bupati-garut-segel-pembangunan-masjid-ahmadiyah-ylbhi-cederai-nilai?page=all Diakses pada 9 Mei 2021, pukul 22.15 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/311441/kronologi-penyerangan-jamaah-ahmadiyah-di-cikeusik/full&view=ok Diakses pada 9 Mei 2021, pukul 22.50 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-953067/ini-dia-skb-pelarangan-ahmadiyah Diakses pada 9 Mei 2021, pukul 23.40 WIB.
https://tirto.id/isi-pasal-28-uud-1945-sebelum-dan-sesudah-amandemen-f8eH Diakses pada 10 Mei 2021, pukul 00.20 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.