Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag No. 06/M-DAG/PER/1/2015 yang melarang minuman beralkohol dengan kadar apapun dijual di mini market, ritel, dan pengecer di seluruh Indonesia. Minuman alkohol jenis bir misalnya, hanya bisa dijual di kafe, restauran, dan hotel-hotel. Kebijakan ini bertolak dari argumen bahwa minuman beralkohol dengan kadar minimal pun akan merusak generasi muda, yang bisa kapan saja membeli bir di retailer terdekat. Kebijakan ini tentu saja didukung oleh gerakan-gerakan relijius yang memandang bahwa minuman beralkohol adalah sumber amoralitas dan tanda pembangkangan terhadap agama.
Mari kita lupakan sejenak argumen kaum agamawan. Mereka mempunyai segudang keyakinan untuk mengabaikan kebebasan. Tetapi argumen yang dibangun oleh Menteri Perdagangan, Rahmat Gobel yang merupakan bekas pimpinan perusahaan elektronik besar di Indonesia, meminggirkan kelurusan logika dan akal sehat. Bagaimana mungkin seorang menteri perdagangan yang ditunjuk oleh Presiden untuk memajukan perdagangan, bisa mengeluarkan kebijakan yang mematikan usaha suatu produk yang menguntungkan industri tertentu, dan dinikmati oleh para konsumen.
Bila argumennya adalah anak kecil atau remaja yang mudah membeli bir, maka seharusnya pemerintah lebih pintar untuk mengatur regulasi penjualan minuman beralkohol dengan lebih ketat seperti di negara-negara maju. Misalnya dengan menggunakan kartu identitas apabila sudah cukup umur, jika belum maka tidak diperbolehkan. Kebijakan seperti ini rasanya lebih masuk akal untuk diterapkan bila bertolak dari argumen semacam itu. Dibandingkan kebijakan tipikal “membakar” seluruh ladang untuk mematikan tikus kecil.
Memang benar Permendag ini masih membolehkan penjualan bir di restauran, kafe, dan hotel. Tapi bukankah ini sebuah diskriminasi? Minuman di tempat-tempat tersebut memiliki harga yang lebih tinggi, selain karena ditujukan bagi kalangan kelas menengah atas juga memiliki aturan pajak yang lebih tinggi di tempat-tempat tersebut. Kebijakan pemerintah ini seakan-akan mengirim sinyal: “Hey, kalian masyarakat kecil tidak boleh minum-minuman keras. Kalian tidak bisa membeli bir di retailer dengan harga terjangkau. Bila ingin minum bir, minumlah di kafe dan restauran dengan harga lebih tinggi”. Sinyal semacam ini bisa menunjukkan bahwa pemerintah melihat efek negatif penjualan minuman beralkohol hanya terjadi pada masyarakat bawah, sedangkan masyarakat kelas atas boleh kapan saja mengkonsumsi minuman beralkohol. Dengan kadar tinggi maupun rendah. Singkatnya, pemerintah telah bersikap diskriminatif dan inkonsisten dalam menerapkan kebijakannya.
Sebuah hukum menurut Friedrich August Von Hayek, harus bersifat universal. Menurut filsuf hukum dan kebebasan yang menulis “The Constitution of Liberty” ini, hukum harus meliputi semua orang tanpa terkecuali, termasuk pejabat-pejabat pemerintah. Bila ada satu pihak saja yang mendapatkan pengecualian, maka hukum tersebut batal sebagai hukum.
Kementerian Perdagangan kebingungan, karena pelarangan bir ini ternyata mempengaruhi pariwisata di Bali, dan bermaksud membuat pengecualian hukum. Bila benar kemudian dibuat pengecualian, sebagai hukum Permendag larangan minuman keras ini batal. Kota lain seperti Jakarta yang mengandalkan perannya sebagai kota jasa juga meradang, karena masyarakat multi-kultural dan multi-kepercayaan tidak bisa diperlakukan dengan satu prinsip moralitas tunggal.
Di tempat lain, dua fraksi DPR RI mengegolkan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU LMB) untuk masuk program legislasi nasional (prolegnas) di masa sidang tahun 2015. Yang dalam draf salah satu pasalnya (yang beredar di media sosial), ingin memidanakan produsen dan konsumen minuman keras untuk menekan peredaran minuman beralkohol seketat mungkin.
RUU ini, bila disahkan akan mengabaikan permintaan yang begitu besar akan minuman beralkohol. Hasilnya, akan timbul pasar gelap yang berada jauh dari kontrol pemerintah. Pasar gelap seringkali hadir di dalam pelarangan-pelarangan yang tidak menghiraukan permintaan. Barang-barang seperti minuman beralkohol akan tak terkontrol, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini akan menyebabkan minuman beralkohol yang berbahaya dan minuman beralkohol aman bisa bercampur. Minuman seperti miras oplosan akan menjadi alternatif dalam memenuhi permintaan banyak orang, yang hasilnya seperti yang sudah terjadi di daerah-daerah yang melarang minuman beralkohol, terjadi banyak kematian akibat minuman oplosan. Hukum ekonomi universal (permintaan-penawaran) diabaikan oleh politisi dan pejabat pemerintahan sok tau. Cerita pelarangan alkohol dan pasar gelap pernah terjadi di Amerika Serikat tahun 1920-an, ketika dengan tekanan kaum agamawan melarang peredaran minuman alkohol di semua kadarnya. Yang terjadi bukanlah masyarakat menjadi semakin bermoral, tetapi pasar gelap minuman beralkohol merajalela. Gangster dan para mafia semakin berkuasa dan menguasai peredaran minuman beralkohol. Di masa inilah mafia legendaris seperti Al-Capone mencapai masa kejayaannya.
Suatu hal yang baik disebut moralitas apabila dilakukan dengan bebas dan tanpa paksaan. Bukanlah suatu moralitas bila kebaikan dipaksakan dengan larangan atau bahkan koersi negara. Bila memang meminum minuman beralkohol adalah suatu hal yang amoral, maka sudah selayaknya seorang individu dibiarkan memilih menurut kedewasaan dan akal sehatnya. Seseorang dengan moralitas tinggi akan tetap menghindari alkohol walaupun tersedia dengan akses yang sangat mudah. Kebebasan lah yang menguatkan moralitas berlaku pada tempatnya.
Namun, apabila seorang individu memilih untuk meminum alkohol, maka individu tersebut harus bisa bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan, misalnya rasa mabuk dan hilang kesadaran. Dengan kata lain, tiap orang wajib memiliki kontrol atas kemungkinan menyakiti orang lain ketika ia membuat pilihan untuk meminum alkohol. Di sinilah peran pemerintah harus ditunjukkan melalui penegakan hukum. Di sisi lain, pilihan untuk mengkonsumsi alkohol harus dihormati sebagai kebebasan dan hak asasi individu dalam menjalani hidup, karena hanya masyarakat yang bebas dan dewasa dalam menentukan moralitas yang bisa menghasilkan kemajuan kolektif.