Pemahaman mengenai gender bukan hanya sekadar sebuah upaya perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan keduanya dalam konteks sistem sosial di mana keduanya menjadi bagian integral di dalamnya. Perbedaan yang berakar dari kelas sosial ekonomi, etnis, ras, dan warna kulit, maupun perbedaan agama yang melahirkan masalah ketidakadilan sosial di masyarakat telah dapat diatasi seiring dengan lahirnya Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dan diakui oleh bangsa-bangsa di dunia.
Lain halnya dengan perbedaan jenis kelamin (gender) yang masih dianggap belum selesai, bukan hanya di negara terbelakang dan negara berkembang, tetapi juga masih menjadi bagian perjuangan perempuan di negara maju. Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) yang dirayakan tiap tanggal 8 Maret setiap tahunnya tak henti-henti menyuarakan isu kesetaraan gender dan penghormatan akan hak asasi perempuan.
Awalnya, gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender mulai diperjuangkan sebagai gerakan politik yang berakar pada suatu gerakan akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat. Hal ini kemudian dikenal dengan “suffrage“, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan, baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya (Krisnalita, 2018). Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari terdapat golongan dalam masyarakat yang masih dimarjinalkan. Salah satunya adalah perempuan.
Saat ini, sebenarnya sudah ada beberapa hukum internasional maupun nasional yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Salah satunya adalah CEDAW. CEDAW atau ICEDAW (international Convention on Elimination of All Forms Discrimination Againts Women) adalah sebuah kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan (Songa, 2020). Konvensi ini mendefinisikan prinsip-prinsip tentang hak-hak manusia, norma-norma dan standar-standar kelakuan dan kewajiban di mana negara-negara peserta konvensi sepakat untuk menjalaninya. Selain itu, Pasal 1 dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah disepakati mengenai istilah Diskriminasi Terhadap Perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan (Krisnalita, 2018).
Permasalahan HAM dan perempuan beragam bentuknya. Misalnya, partisipasi dalam politik, ketimpangan gender dan diskriminasi dalam pekerjaan, atau relasi kuasa dan budaya patriarki dalam rumah tangga. Yang ingin penulis kupas dalam tulisan ini adalah mengenai permasalahan sosial tenaga kerja wanita di luar negeri dengan skema-skema hukum dan perlindungan warga negara yang seharusnya dipenuhi.
Saat ini, Indonesia sendiri masih banyak mengirim tenaga kerja wanitanya ke luar negeri, seperti Malaysia, Hongkong, Eropa, dan Amerika. Program pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) ini memang sudah lama menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah pengangguran yang dikarenakan keterbatasan lapangan pekerjaan. Selain itu, pengiriman TKW/TKA juga mendatangkan devisa bagi pemerintah dan negara. Menurut data Bank Indonesia, remitansi TKI pada tahun 2019 mencapai 11.435 juta dollar AS atau setara dengan Rp 164 miliar. Namun, angka tersebut mengalami penurunan menjadi 9.427 juta dollar AS pada 2020 setara Rp 135 miliar. Sementara selama tahun 2021, remitansi TKI pada kuartal I sebesar 2.260 juta dollar AS, kuartal II 2.277 juta dollar AS, dan kuartal III 2.303 juta dollar AS. Dengan demikian, pada semester I tahun 2021, jumlah remitansi TKI sebesar 4.537 juta dollar AS atau setara Rp 65 miliar (bi.go.id).
Di sisi lain, pengiriman TKW ini memiliki banyak masalah, seperti maraknya tindak kekerasan, pelecehan seksual, dan kebutuhan kesejahteraan sosial lainnya (Sutaat, 2006). Salah satu kasus yang pernah disorot adalah gambaran mengenai kondisi TKW di Hong Kong. Banyak para TKW yang juga dihamili oleh para majikannya. Pathfinders Kylie Uebergang, salah satu konsultan dan advokat para TKI ataupun Tenaga Kerja Luar Negeri lainnya yang bekerja di Hong Kong, mengatakan bahwa dari 120 imigran yang hamil meminta bantuan konsultasi dan advokasi ke Pathfinders selama 15 bulan terakhir. Dalam nominal tersebut, ada sebanyak delapan puluh persen diantaranya adalah para TKW ini (media.neliti.com).
Ada banyak faktor penyebab kelalaian program pengiriman TKW. Upaya perlindungan dan pembinaan agency kepada TKW yang masih sangat minim dan lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi cenderung kurang menepati perjanjian kerja antara PJTKI dan TKW (Sutaat, 2006). Selain itu, kebebasan TKW untuk memegang dokumen-dokumen resmi terkait pekerjaannya di luar negeri kebanyakan juga masih dipegang oleh perusahaan dengan alasan sebagai jaminan. Hal ini memposisikan TKW pada kondisi rawan terhadap tindakan kepolisian atau konsekuensi dideportasi sesuai konsekuensi yang berlaku.
Berdasarkan aspek perlindungan HAM para TKW yang ditinjau dari sisi hukum, terdapat teori mengenai tanggung jawab negara dan implementasi konvensi CEDAW. Berdasarkan Dictionary of Law, teori pertama adalah mengenai tanggung jawab negara merupakan “Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law.” Dalam artian lain, tanggung jawab negara merupakan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan yang timbul dari kesalahan suatu negara untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional (Elizabeth, 2002).
Dalam kaitannya dengan persoalan pertanggungjawaban setidaknya ada terdapat persoalan yang terkait, yaitu tuntutan atas dasar nasionalitas (Nationality of Claims), Exhaustion of Local Remidies, dan the Clavo Clause. Dalam permasalahan ini, penulis hanya mengkaitkannya hanya dengan dua persoalan yakni: Ationality of Claims dan Exhaustion of Local Remedies. Ationality of Claims membahas hukum internasional di mana semua negara memiliki hak atas perlindungan diplomatik bagi warga negaranya. Hal tersebut terjadi ketika warga negaranya mengalami perlakuan yang tidak sesuai oleh negara lain dan negara yang memiliki hak kewarganegaraannya dapat mengajukan klaim. Sedangkan, penuntutan nasionalitas dari korban diserahkan pada hukum nasional yang melakukan tuntutan. Exhaustion of Local Remedies menguraikan bagaimana pertanggungjawaban hukum akan diterapkan bilamana orang asing yang terlibat perkara telah mengupayakan penyelesaiannya melalui hukum lokal “only if the aliens concerned exhausted the effective local remedies available to them” (Songa, 2020).
Dengan demikian, tindak pidana yang sering dialami maupun yang dilakukan oleh para TKI merupakan hal yang seharusnya mendapatkan perhatian dan perlindungan penuh dari pemerintah. Tenaga kerja wanita atau Indonesia sudah seharusnya dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Lebih lanjut, Konvensi CEDAW seharusnya menjadi seruan moral bagi semua negara (terutama yang telah meratifikasinya) untuk memperlakukan tenaga kerja wanita sebagai manusia dengan segala hak asasinya, mengutuk setiap tindakan diskriminasi, termasuk merubah pola tingkah laku sosial berdasarkan asas inferioritas, dan superioritas laki-laki atas perempuan.
Akhir kata, regulasi nasional di bidang ketenakerjaan, khususnya bagi TKW telah diletakkan secara tegas (formal) dan sudah mengakomodir prinsip-prinsip utama konvensi CEDAW dalam setiap substansi peraturannya. Namun, upaya penegakannya secara lintas negara (transborder action) masih dibatasi oleh keengganan pemerintah karena keberadaan prinsip kedaulatan negara, yang seharusnya dapat dikesampingkan jika yang diintervensi adalah berkaitan dengan aspek kemanusiaan.
Referensi
Artikel
https://www.bi.go.id/seki/tabel/tabel5_31.pdf Diakses pada 14 Maret 2022, pukul 20.13 WIB.
https://media.neliti.com/media/publications/164521-ID-perlindungan-hukum-bagi-tenaga-kerja-ind.pdf Diakses pada 15 Maret 2022, pukul 09.07 WIB.
Jurnal
Elizabeth, A (2002). A Dictionary of Law. New York: Oxford University Press, hlm. 477.
Krisnalita, L. (2018). Perempuan, HAM, dan Permasalahannya di Indonesia. Jurnal Binamulia Hukum Vol. 7 No. 1, Juli 2018. Diakses pada 14 Maret 2022, melalui https://media.neliti.com/media/publications/275405-perempuan-ham-dan-permasalahannya-di-ind-f4625664.pdf, pukul 20.00 WIB.
Songa, W. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia Atas Tindak Pidana Kekerasan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Jurnal Proyuris Vol. 2 No. 2 Oktober 2020, p. 231. Diakses pada 14 Maret 2022, melalui https://ejurnal.undana.ac.id/JP/article/download/3528/2337, pukul 20.05 WIB.
Sutaat. (2006). Permasalahan Sosial Tenaga Kerja Wanita dan Implikasinya Terhadap Pelayanan Sosial. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, vol 11, no 03, 2006, p. 55-66. Diakses pada 14 Maret 2022, melalui https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/SosioKonsepsia/article/view/606/247, pukul 20.37 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.