Kemajuan dunia modern yang mencengangkan merupakan sebuah keuntungan dan berkah untuk kita, umat manusia yang hidup di zaman ini. Peradaban yang maju, teknologi yang canggih dan pengetahuan tentang berbagai hal yang luar biasa telah mengangkat harakat kehidupan kita menjadi lebih baik ketimbang nenek moyang kita yang hidup di zaman yang lampau.
Steven Pinker, cendekiawan populer dewasa ini menulis bahwa demokrasi, kebebasan, dan gagasan pencerahan yang digagas oleh para pemikir abad pertengahan yang digagas oleh para filsuf dan pemikir liberal telah mengubah kehidupan manusia abad ini menjadi lebih baik (Pinker, 2019)
Tak ada yang menampik bahwa karya-karya teknologi abad modern ini telah membuat hidup manusia menjadi mudah dan bahagia. Sebuat saja seperti smartphone, komputer, video game, serta internet yang membuat gaya hidup kita menjadi lebih praktis dan berwarna. Kemajuan peradaban juga telah mempermudah bisnis dan memajukan ekonomi.
Rizal Mallarangeng dalam buku terbarunya, “Dari Jokowi ke Harari”, telah menjabarkan bahwa kebebasan, demokrasi, ekonomi pasar bebas, dan pola masyarakat yang liberal telah mengubah kehidupan manusia berubah menjadi lebih baik (Mallarangeng, 2019).
Pernyataan dari Rizal tersebut diamini oleh Greg Barton, seorang ekonom pasar bebas yang mengatakan bahwa berkat kapitalisme (pasar bebas) pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan lebih cepat, bahkan telah berhasil mengangkat lebih dari setengah populasi manusia keluar dari kemiskinan ekstrim (Barton, 2013).
Kebebasan dan demokrasi yang dinikmati hampir setiap orang di berbagai negara rasanya tidak dapat dirasakan oleh Korea Utara. Ketika berbagai negara (termasuk negara-negara komunis) berlomba-lomba memperbaiki sistem negara mereka agar bisa berjejaring secara global mengikuti tren pasar bebas, Korea Utara malah mati-matian mengisolasi negara mereka dari perkembangan dunia luar.
Di bawah pimpinan keluarga Kim, Korea Utara seolah ingin jalan sendiri dan membangun peradaban Korea Utara dengan rencananya sendiri. Praktik isolasi dan ekonomi yang tertutup ini memaksa mereka untuk menangkal berbagai pengaruh asing, baik informasi, budaya pop, bahkan agama.
Sikap Korea Utara yang tertutup inilah yang akhirnya membuat kesan bahwa Korea Utara adalah negara terbelakang dan jauh tertinggal peradabannya, ketimbang Korea Selatan. Dan, yang lebih menyedihkan, ketika pandemi ini Korea Utara ‘terpaksa’ harus tetap menutup diri hingga dunia pun tak tahu betapa berat ujian berupa krisis yang dihadapi oleh Korea Utara.
Negara yang Misterius
Bagi penulis, Korea Utara adalah negeri yang unik, ketertutupan mereka membuat Korea Utara menjadi negara yang super misterius. Anda pasti pernah mendengar berbagai berita dan kabar aneh menyangkut Korea Utara. Penulis sendiri tak bisa mempercayai begitu saja kabar yang tersebar, sebab tidak ada satu beritapun yang bisa terverifikasi kebenarannya.
Apa yang menyebabkan Korea Utara begitu tertutup? ada beberapa analisis bahwa tertutupnya Korea Utara disebabkan untuk mempertahankan kekuasaan dinasti Kim yang hampir satu abad berkuasa di Korea.
Hal ini mungkin benar adanya, namun bagi penulis, salah satu hal yang berpengaruh adalah sistem komunisme ala Soviet yang diadopsi oleh Korea Utara dan ideologi kemandirian ‘Juche’. Hal itu menjadi salah satu penyebab mengapa Korea Utara menjadi sedemikian tertutup selain karena dominasi keluarga Kim yang berusaha mempertahankan status kuonya.
Jika ingin ditarik lebih jauh, hal ini berawal dengan ‘musim semi’ yang menyapu negara-negara Blok Timur yang berkiblat ke ideologi Komunisme. Bubarnya Yugoslavia, menyatunya Jerman Timur ke Jerman Barat, berpisahnya Ceko dan Slovakia, diikuti dengan Demonstrasi Tiananmen di China, hingga runtuhnya raksasa Uni Sovet, membuat Korea Utara, Partai Buruh, dan keluarga Kim menjadi semakin defensif.
Hilangnya sekutu mereka ditambah berubahnya orientasi ekonomi Vietnam dan China ke sistem ekonomi pasar (kapitalis) membuat kepercayaan pemerintah di Korea Utara takut jika ‘keajaiban komunisme’ diragukan oleh rakyat yang dapat memicu revolusi politik.
Ya, hingga memasuki dekade 90-an, Korea Utara tetap kekeuh mempertahankan komunisme meski mereka sudah kehilangan partner negara-negara Komunis. Dan, karena Blok Timur sudah bubar, ini berarti bantuan suplai senjata, finansial dan makanan yang Korea Utara dapatkan dari Uni Soviet dan negara Blok Timur hilang sama sekali,
Hilangnya Blok Timur dan komunisme di Eropa, membuat bencana bagi ekonomi Korea Utara. Hingga awal tahun 1994 hingga tahun 1999 di bawah komando Kim Jong Il Korea mengalami kelaparan besar-besaran. Ratusan ribu orang mati kelaparan dan banyak keluarga yang jatuh menjadi miskin karena krisis finansial yang menimpa Korea Utara (Saputra, 2014).
Kelaparan besar ini tercatat dalam sejarah modern sebagai tragedi kelaparan yang mengerikan. Meski kelaparan dan krisis ekonomi maha hebat menimpa Korea Utara, hal ini tetap tidak mengubah pendirian Korea Utara untuk mengadakan reformasi sistem mereka.
Namun, ‘Parade Kesulitan’ tersebut membuat Kim Jong Il menyerah, mereka terpaksa meminta bantuan internasional dan bergantung pada Tiongkok, bahkan Korea Selatan. Sebelum Kim Il Sung wafat, rencana transisi ekonomi dan plan pembangunan yang lebih terbuka sebenarnya tengah dilakukan, namun hal tersebut gagal terwujud.
Gelombang Krisis
Pandemi Covid-19 yang melanda dan menyebabkan krisis di seluruh dunia juga terasa bagi rakyat Korea Utara. Tangis Kim Jong Un pada hari ulang tahun Partai Buruh dan kebijakan penutupan wilayah Korea Utara merupakan pertanda Korea Utara tengah berjuang untuk keluar dari krisis wabah (Kompas.com, 10/10/2020).
Namun yang membedakan dengan krisis di Korea Utara, dengan negara lainnya, ketika di negara lain restoran, rumah makan tutup karena tak ada pembeli, di Korea Utara restoran tutup karena tak ada makanan yang dijual.
Korea Utara telah dilanda gelombang kedua kelaparan besar, sebagaimana kelaparan yang terjadi di masa Kim Jong Il. Kim Jong Un bahkan meminta agar tentara dan anggota partai mendata bahkan hingga satu butir beras untuk disimpan selama masa krisis.
Tak ada yang menyangka di masa modern ini negara yang berada di daerah negara berkembang, bahkan diapit oleh negara maju mengalami krisis dalam bidang pangan. Kim Jong Un sebagai pemimpin Korea Utara bahkan meminta rakyat untuk mencari sumber makanan alternatif seperti kelinci dan angsa hitam (Pedomantangerang.com, 07/11/2021).
Harga minyak goreng pun kini naik mendekati Rp800 ribu perliter. Hal ini jelas berbeda dengan harga di Indonesia yang masih dikisaran Rp14 ribu. Akibat pandemi, Korea Utara kembali dihantui oleh krisis masa silam. Hal ini diperparah dengan sikap Korea Utara yang tetap menutup diri hingga kesulitan lembaga bantuan swasta masuk untuk membantu (Pedomantangerang.com, 07/01/2022).
***
Krisis di Korea Utara menjadi salah satu contoh bagi kita bahwa sistem ekonomi tertutup (dengan apapun propagandanya soal kemandirian) akan menjerumuskan suatu negara ke lembah kejatuhan dan krisis.
Ketika wabah melanda, Korea Utara dengan cepat menutup pintu perbatasan dengan China dan merapatkan perbatasan mereka dengan Korea Utara. Hal ini yang membuat bantuan obat, makanan, dan juga keuangan sulit masuk.
Perang terhadap budaya pop yang dipropagandakan oleh Korea Utara adalah pertanda ketertutupan Korea Utara dengan dunia luar. Kebijakan Korea Utara ini beranjak dari ideologi sosialisme yang memusuhi kapitalisme dan mengobarkan semangat revolusioner untuk memerangi lawan-lawan mereka.
Hal ini jelas sangat merugikan Korea Utara sendiri. Seandainya Korea Utara melakukan reformasi sistem mereka dan meninggalkan sistem tua ala Stalin ke pasar bebas yang lebih terbuka, Korea Utara tak akan mengalami kesulitan bantuan dan pangan seperti sekarang ini.
Pasar bebas dan demokrasi menuntut agar suatu negara mencari sahabat sebanyak-banyaknya dan memperkuat jaringan ekonomi seluas-luasnya dengan negara sahabat. Jika Korea Utara mengedepankan pasar bebas dan kebijakan ekonomi-politik yang lebih liberal, tentu Korea akan menikmati apa yang China dan Vietnam nikmati.
Dengan sistem bebas, Korea Utara dapat melakukan kerjasama politik dengan Korea Selatan. Korea Utara juga dapat mengekspor hasil teknologi pertahanannya ke negara lain seperti Indonesia, dan Indonesia dapat mengekspor bahan baku seperti sawit (untuk minyak goreng) ke Korea Utara.
Dengan demikin, harga komoditas di Korea Utara menjadi terjangkau tanpa pemeritah melakukan kontrol terhadap harga dan mematok pasokan makanan dan barang yang diterima rakyat. Mungkin masih lama bagi Korea Utara untuk menyadari betapa menguntungkannya sistem pasar bebas dan demokrasi bagi negara mereka. Atau barangkali kita hanya menunggu keajaiban agar Kim Jong Un sadar.

Referensi
Barton, Greg. 2016. Membela Kapitalisme Global. Jakarta: FNF Indonesia.
Mallarangeng, Rizal. 2019. Dari Jokowi ke Harari. Jakarta: KPG
Saputra, Andi Rafael. 2014. Dari Kim Jong Il ke Kim Jong Un,Yogyakarta: Palapa.
Pinker, Steven.2019. Enlightment Now, Jakarta: CV Global Indo Kreatif.
Internet
https://www.kompas.com/global/read/2020/10/10/220413370/ceritakan-kesulitan-korea-utara-kim-jong-un-menangis?page=all diakses pada 17 Januari 2022 pukul 14.00 WIB
https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-072963406/bencana-kelaparan-di-depan-mata-kim-jong-un-perintahkan-rakyat-amankan-tiap-butir-kim-jong-un-juga-dikabarkan diakses pada 17 Januari 2022 pukul 15.43 WIB
https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-073418019/korea-utara-dilanda-badai-krisis-harga-minyak-goreng-mencapai-rp718-ribu-per-liter diakses pada 17 Januari 2022 pukul 15.30 WIB

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com