Jika mendengar kata “militerisme”, pasti orang-orang membayangkan tentang atribut militer, tentara, barak-barak dan hal dengan kemiliteran. Tidak begitu salah, namun bila kita membuka kamus bahasa Indonesia, antara militer dengan militerisme, walau sekilas mirip, namun terdapat perbedaan yang cukup menonjol.
Jika militer adalah sebuah institusi angkatan bersenjata yang bersinonim dengan alat negara atau tentara atau prajurit, militerisme adalah terminologi politik atau pemerintahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Militerisme adalah a) paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan, b) pemerintah yang mengatur negara secara militer (keras, disiplin, dan sebagainya) (KBBI, 1991).
Dengan demikian, militerisme adalah kekuasaan di tangan kelompok militer yang mengatur negara dengan keras dan pendisiplinan. Pendisiplinan pada siapa? Tentu saja pada warga sipil. Pendisiplinan di sini bukan arti disiplin secara positif, tetapi disiplin dalam artian ketaatan mutlak pada pemerintah yang berada dalam genggaman militer.
Pendisiplinan dalam militerisme yang dipaksakan kepada warga setiap lapisan, tentu merupakan presenden buruk bagi iklim demokrasi dan kebebasan individu. Istilah yang sinonim dengan militerisme adalah “junta” yang berasal dari bahasa Spanyol, ‘hunta’ atau sebuah pemeritahan yang dikontrol oleh dewan militer, baik militer itu berperan aktif secara praktis atau bermain di belakang layar.
Dalam sejarah negara seperti Chile, Libya, Mesir, Thailand, bahkan Korea Selatan, juga pernah mengalami dipimpin oleh Junta Militer. Di Indonesia, barangkali rezim Orde Baru bisa dikatakan sebagai “rezim junta” dengan semangat dwifungsi ABRI dan juga pendisiplinan masyarakat pada masa itu, seperti larangan berambut gondrong pada dekade 70-80an, merupakan bentuk pengekangan kebebasan berekspresi.
*****
Modernisasi yang merebak ke seluruh penjuru dunia telah merubah gaya hidup manusia. Kehidupan yang ditopang oleh teknologi dan pasar bebas membuat orientasi kehidupan masyarakat lebih mengedepankan pleasure alias kesenangan. Mereka ingin berbahagia, ingin bebas dalam berkreasi, dan menunjukkan eksistensi dirinya di media sosial.
Pola hidup manusia yang menginginkan kebebasan dan juga kesenangan, tentu saja membutuhkan sebuah sistem politik di suatu negara yang demokratis, menghargai supremasi sipil, rule of law, dan terbuka. Ini yang menjadi alasan dasar kenapa rakyat di berbagai belahan dunia ingin menciptakan suatu ekosistem politik sedemokratis mungkin, dan meminimalisir segala tekanan dan kediktatoran yang dilakukan oleh pemerintah.
Kediktatoran dan militerisme, secara perlahan sudah tidak memiliki ruang di era modern. Sedikit demi sedikit, negara-negara yang dipimpin oleh junta militer bertumbangan karena digugat oleh rakyat yang menuntut kebebasan, tak terkecuali dengan Myanmar.
Seperti yang diberitakan oleh para pewarta di berbagai media, gejolak politik yang terjadi di Myanmar semakin hari semakin mengkhawatirkan. Kudeta yang dilakukan oleh militer berubah menjadi sebuah petaka nasional yang justru membuat negara tersebut terpuruk.
Hal ini berawal dari suksesnya Aung San Suu Kyi dan partainya, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang berhasil memenangkan pemilu bulan November lalu dengan suara telak dan 396 kursi di parlemen. Suksesnya NLD dan Aung San Suu Kyi dalam pemilu lalu menimbulkan kegeraman dari pihak oposisi yang didominasi oleh militer. Dan seperti yang kita ketahui, awal bulan Februari lalu, militer mengambil alih seluruh pemerintahan sekaligus menahan tokoh pejuang demokrasi di negeri tersebut beserta para pendukungnya (Sindonews.com, 1/2/2021).
*****
Tidak diragukan lagi bahwa, apa yang terjadi di Myanmar adalah sebuah bentuk kemunduran bagi negara tersebut. Memang, secara kultur politik, peran tentara sangat besar pengaruhnya dalam pencaturan politik di Burma (yang diubah menjadi Myanmar tahun 1989). Hingga ketika kasus Rohingya mencuat dan mendapat protes dari berbagai negara, Aung San Suu Kyi tidak dapat berbuat banyak karena ada campur tangan militer dalam kasus tersebut.
Perlu diketahui bahwa, kudeta militer di Myanmar bukan hanya peristiwa baru dasawarsa ini. Di tahun 1962 dan 1988, militer Myanmar telah melakukan kudeta dan menciptakan sebuah sistem di mana militer memainkan peran yang besar dalam perpolitikan Myanmar.
Dan kini, tahun 2021, sejarah terulang kembali. Tokoh-tokoh demokratis seperti Aung San Suu Kyi dilengserkan oleh Jenderal Min Aung Hlaing dari pihak Junta. Penggulingan paksa ini tentu saja mendapat respon keras dari masyarakat. Ribuan orang berkumpul di kota Yangoon untuk memprotes kudeta.
Mahasiswa dan dokter memprotes tindakan sang Jenderal yang tidak demokratis dan melabrak konstitusi dengan paksaan. Sebagaimana yang bisa kita baca dan simak di media cetak, elektronik atau media sosial. Demonstrasi meluas di berbagai kota dan mengutuk penahanan pemerintah hasil pemilihan umum.
Alih-alih menginginkan stabilitas, justru tindakan junta yang sangat tidak taktis menyebabkan ratusan ribu orang bergerak untuk melawan. Bentrokan terjadi di mana-mana. Salah satunya adalah di kawasan Ibukota Yangon (Koran Jakarta, 26/2/2021).
Tentu saja, rezim junta militer cukup terkejut dengan perlawanan massa. Anak-anak muda dengan gagah berani menerjang asap gas air mata dan blokade yang dibuat oleh kepolisian. Generasi muda Burma cukup cerdik, mereka mempelajari aksi-aksi demonstrasi di Thailand dan Hong Kong untuk menghadapi aparat.
Para mahasiswa dan dokter turun ke jalan, para pekerja mogok bekerja untuk ikut berdemo, dan para perempuan menggantungkan pakaian mereka di jalan untuk menghalangi pergerakan aparat. Semua elemen bersatu mempertahankan demokrasi untuk menentang militerisme (Jawa Pos, 9/3/2021).
Diskriminasi rasial, tindakan represif dan kronisme yang menggerogoti sektor ekonomi Myanmar, menjadi salah satu alasan mengapa rakyat menjadi gerah dengan rezim Junta yang melanggengkan kediktatoran. Setidaknya, 70 orang telah meninggal akibat bentrokan dengan aparat. Sedangkan, jumlah orang yang luka dan ditangkap mungkin sudah mendekati angka ratusan orang (Kompas.com, 12/3/2021).
Yang paling heroik dari semua itu adalah, sosok Kyal Sin yang gugur dengan luka tembak di kepala, dan yang membuat hati menjadi getir. Kaus yang dikenakan Kyal Sin ketika berdemonstrasi bertuliskan “everything will be ok” walau akhirnya tidak berujung baik untuk dirinya sendiri.
Menghargai Kebebasan
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang, kenapa ribuan orang dengan tangan kosong berani turun ke jalan-jalan? Kenapa mereka secara lantang berteriak walau dihujani peluru dan gas air mata? Kenapa mereka tidak takut pada tangan besi aparat yang sudah memakan puluhan korban?
Jawabnya tidak mudah, mereka yang nekat turun ke jalan untuk menyuarakan protes bukan sekedar terdorong oleh romantisme darah muda. Bukan juga karena mereka kebencian mereka pada tentara dan aparat keamanan. Mereka berani turun karena rezim junta telah merampas apa yang menjadi hak mereka, yaitu kebebasan.
“Zaman Batu sudah berakhir, kami tidak takut karena Anda (junta) mengancam kami!” teriak para demonstran. Hidup dalam tekanan militerisme memang bukan hal yang mudah. Di masa lalu, junta militer Myanmar membungkam demokrasi dan kebebasan. Atas nama stabilitas politik, kebebasan sipil dikorbankan (Republika, 6/3/2021).
Peristiwa yang terjadi di Myanmar saat ini, adalah tragedi yang dapat diambil pelajaran oleh kita, bahwa betapa pentingnya kebebasan sehingga orang-orang rela kehilangan nyawanya hanya dan demi menegakkan kebebasan. Memang, pada tahun 1988 rezim Junta berhasil membungkam para demonstran dan melakukan tekanan dan penangkapan bagi mereka yang berusaha melawan. Namun, apakah ini pertanda gerakan pro kebebasan dan demokrasi kalah?
Jawabannya tidak. Demokrasi dan kebebasan bisa saja mengalami kemunduran. Satu juta demonstran pro kebebasan bisa saja diberangus dan ditangkap. Namun, ide-ide kebebasan tak bisa mati. Ia secara laten bergerilya di pikiran generasi muda Myanmar.
Memperjuangkan kebebasan memang bukan sebuah perjuangan instan. Perjuangan tersebut membutuhkan proses yang lama dan semangat yang terus berestafet dari generasi ke generasi. Sekarang, generasi muda Myanmar adalah mereka yang hidup di era reformasi politik di bawah Aung San Suu Kyi. Mereka adalah generasi yang sudah menikmati kebebasan dan demokrasi.
Kebebasan yang mereka kecap selama era refomasi politik, memberi mereka sebuah pengalaman berharga bahwa kebebasan adalah kebutuhan alami yang harus terpenuhi untuk hidup yang lebih baik. Semangat untuk kebebasan inilah yang kemudian menumbuhkan kesadaran pada generasi muda Myanmar untuk turun ke jalan, dan berkata “tidak!” pada aparat dan junta khususnya.
Referensi
Buku
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Jakarta: Balai Pustaka.
Surat Kabar
Koran Jakarta. Tajuk berita “Bentrokan Terjadi di Yangon”. Jumat, 26 Februari 2021.
Republika. Tajuk berita “Siaga II di Myanmar”. Sabtu, 6 Maret 2021.
Jawa Pos. Tajuk berita “Mogok Kerja Massal Demi Lumpuhkan Ekonomi”. Selasa, 9 Maret 2021.
Internet
https://international.sindonews.com/read/320278/40/diduga-terjadi-kudeta-militer-suu-kyi-dan-presiden-myanmar-ditangkap-1612134175 Diakses pada 13 Maret 2021, pukul 21.56 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com