
Jika ditanya bagaimana gagasan kebebasan dan demokrasi disebarluaskan? Tentu, jawabannya adalah pendidikan.Hal itu akan lebih efektif jika pendidikan kebebasan dimulai dari anak belia dan para siswa. Para siswa atau pelajar adalah salah satu kelompok yang penting untuk mendapat bimbingan dan edukasi mengenai demokrasi dan kebebasan.
Kelompok anak yang masih hijau ini, sangat tepat jika diedukasi dengan ide-ide dan praktik penghormatan terhadap kebebasan, penghargaan hak orang lain, dan sikap demokratis. Selain karena memiliki semangat untuk belajar yang tinggi memberikan edukasi kepada kaum pelajar serupa dengan investasi kebebasan untuk masa depan. Sebab 10-20 tahun ke depan, para pelajar inilah yang akan memimpin dan menentukan arah politik di negeri ini.
Payahnya Pendidikan Demokrasi dan Kebebasan
Namun, problemnya adalah, pendidikan mengenai hak asasi dan demokrasi di negeri kita masih bisa dikatakan kurang memuaskan. Betapa tidak, perilaku yang tak mencerminkan nilai-nilai tersebut kerap terjadi di berbagai sekolah, seperti bullying, diskriminasi, dan kekerasan fisik antar anak sekolah.
Saya sendiri mengingat saat duduk di bangku SD, saya memiliki teman sekelas yang beretnis Tionghoa. Teman-teman di kelas jarang ada yang memanggilnya dengan nama, tetapi dengan julukan rasis “cina”, “sipit”, “cibeng (Cina Benteng)”.
Mungkin beberapa orang diantara pembaca masih memaklumi bahwa itu hanyalah “kenakalan” remaja atau anak-anak. Dalam beberapa hal saya setuju, tapi faktor tersebut bukan berarti kita membiarkan anak atau pelajar membuli teman sekelas dengan bahasa kasar dan rasis. Lebih parah lagi, praktik diskriminasi bukan hanya dilakukan oleh siswa, bahkan oleh guru dan institusi sekolah itu sendiri. Contohnya adalah kejadian di SMAN 2 Depok, Jawa Barat, yang dituding telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap kegiatan ekstrakurikuler kerohanian Kristen.
Pembina Kerohanian Kristen SMAN 2 Kota Depok, Mayesti Sitorus, mengatakan kejadian itu bermula saat puluhan siswa beragama Kristen hendak menggunakan salah satu ruangan sekolah untuk melaksanakan peribadatan rutin pagi sebelum jam pelajaran dimulai. Namun, mereka tak bisa menggunakan ruang sekolah dengan alasan tak jelas. “Sudah sering, setiap kami mau menggunakan ruangan kaya abu-abu gitu (dilempar-lempar),” kata Mayesti (Tempo.co, 07/10/2022).
Lain di Depok lain lagi di sebuah SMA Negeri di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi sorotan publik usai seorang siswi melaporkan dirinya dipaksa mengenakan jilbab di sekolah. Pemaksaan ini dilakukan oleh guru bimbingan konseling (BK) kepada seorang siswi saat masa pengenalan ;ingkungan sekolah (MPLS). Karena tekanan pada siswi tersebut, akhirnya membuat si siswi mengalami depresi hingga ingin pindah sekolah (Detik.com, 02/08/2022).
Padahal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadhiem Makarim, sudah menekankan bahwa sekolah harus menjadi ruang inklusif dan bebas dari setiap tekanan, namun himbauan itu seolah tinggal lalu saja. Hingga saat ini masih banyak oknum di beberapa sekolah yang mencontohkan sikap intoleran dan memaksa para pelajar agar seperti dirinya.
***
Masa sekolah adalah periode penting untuk anak muda, di mana mereka dilatih untuk berbudi, mengenal dunia dan bersikap sebagaimana mestinya. Jika dalam proses pendidikan tersebut justru yang dipraktekkan adalah aturan dan pendidikan yang berbau rasisme, tentu saja dapat ditebak bagaimana kualitas dan kepribadian orang kita kedepannya.
Memang dalam kurikulum kita terdapat mata pelajaran (mapel) kewarganegaraan dan pendidikan Pancasila. Namun, mapel ini hanya dianggap sebagai tambalan saja, tak dianggap penting. Padahal nilai-nilai demokrasi dan hak asasi diajarkan dalam mapel ini, namun karena dianggap kurang penting, beberapa sekolah menugasi guru yang kurang berkompeten untuk membawakan pelajaran ini kepada siswa.
Jika kita membuka lembar sejarah, pelajar memiliki tempat yang istimewa dalam memerangi faham rasialisme. Contohnya adalah gerakan mahasiswa Cekoslovakia pada 28 Oktober 1939. Mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Charles University di Praha menggelar demo untuk memperingati 21 tahun kemerdekaan Republik Cekoslowakia sekaligus menentang keras kaum rasis Nazi. Namun demonstrasi itu dihadang dan dibungkam secara brutal oleh pasukan Nazi. Sebanyak 15 mahasiswa terluka parah dan salah satu dari mereka kemudian meninggal karena luka tembak.
Sehari setelah pemakamannya, 15 November 1939, rekan-rekan mahasiswa yang berduka meminta izin untuk melakukan prosesi pemakaman melalui pusat kota Praha. Izin pun diberikan oleh pemerintah protektorat. Prosesi pemakaman itu diikuti ribuan mahasiswa dan terjadi unjuk rasa menentang pasukan Nazi. Unjuk rasa tersebut kemudian dibungkam secara brutal oleh Nazi. Perlawanan para pemuda dan pelajar Cekoslovakia terhadap rasisme Nazi, kemudian diperingati sebagai Hari Pelajar Internasional yang diperingati setiap 17 November (Tirto.id, 16/11/2020).
Dari kejadian di atas, terang sudah bahwa pelajar adalah pion utama untuk melawan semua paham radikal, rasis dan ekstrim. Kemurnian cita-cita dan idealisme membuat kaum pelajar menjadi garda terdepan untuk memberantas ideologi radikal. Tetapi jika kaum pelajar itu sendiri ‘dicekoki’ oleh paham radikal di sekolah mereka seperti kasus di atas, bagaimana mungkin mereka bisa merintangi paham-paham yang berbahaya?
Dan celakanya, pelajar yang dididik secara keliru, mereka yang kelak akan menjadi pemimpin akan memproduksi aturan-aturan yang keliru dan menyimpang pula dari semangat demokrasi.
***
Problematika dan kenyataan pahit kondisi pelajar dan institusi pendidikan kita yang kurang memiliki semangat kebebasan dan penghargaan terhadap hak asasi adalah dilema pahit yang harus dihadapi. Agitasi dan edukasi organisasi pro demokrasi dan aktivis di kebebasan harus masuk ke ruang-ruang kelas.
Bekerjasama dengan beberapa sekolah adalah program yang harus dilakukan. Mereka yang “tercerahkan” harus berinteraksi kepada para siswa, mengenalkan kebebasan, demokrasi dan indahnya penghormatan terhadap hak asasi. Saya optimis jika program edukasi ini dilakukan secara serentak oleh organisasi dan aktivis pro kebebasan (serta meminta dukungan pemerintah) proses deradikalisasi dan edukasi anti SARA bisa berjalan baik.
Namun, jika kelompok pro kebebasan tidak bisa menaungi para siswa, dikhawatirkan kelompok radikal-lah yang akan menyusup dan mempengaruhi pola pikir mereka dan dalam jangka waktu beberapa tahun, para pemimpin yang sudah terpapar radikalisme sejak mereka sekolah, akan memerangi gagasan pro demokrasi dan memasung hak asasi dengan berbagai kebijakan kontroversial mereka.
Referensi
https://www.detik.com/edu/sekolah/d-6212100/viral-pemaksaan-jilbab-di-sekolah-negeri-jogja-ini-tanggapan-pakar/amp#top Diakses pada 24 November 2022, pukul 10.46 WIB.
https://tekno.tempo.co/amp/1642776/diskriminasi-siswa-rohani-kristen-di-sma-2-depok-nadiem-lakukan-investigasi Diakses pada 24 November 2022, pukul 10.03 WIB.
https://tirto.id/sejarah-hari-pelajar-internasional-17-november-kenapa-diperingati-f64p?page=all#secondpage Diakses pada 24 November 2022, pukul 11.20 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com