Di depan gedung DPR, dibatasi pagar , siang beberapa hari yang lalu, amarah mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia memuncak diiringi dengan poster-poster lucu nan kisruh yang semakin menunjukkan eksistensi propaganda mereka agar lebih dekat dengan basis privatisasi kehidupan sehari-hari.
Berbagai BEM dari kampus-kampus di seluruh Indonesia hadir untuk menggemakan nama HAM dan menyampaikan tuntutan-tuntutan mereka yang antara lain : menolak sejumlah RUU bermasalah (RKUHP, Pertambangan Minerba, Pertahanan, Permasyarakatan, Ketenagakerjaan, mendesak pembatalan RUU KPK dan pengesahan RUU PKS), mendesak batalkan pimpinan KPK yang dianggap memiliki track record buruk, menyetop militerisme di Papua dan daerah lain kemudian membebaskan tahanan politik papua, serta masalah karhutla di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh korporasi.
Demo mahasiswa tahun ini yang membawa tema “Reformasi Dikorupsi” ini kerap dibandingkan-bandingkan dengan kerusuhan 1998 saat itu. Jika demo tahun 1998 untuk hal-hal politik yang menghasilkan demokrasi multipartai, maka demo tahun 2019 untuk hal-hal sipil.
Kandungan demonya paling liberal dalam sejarah Indonesia, di mana saat ini Gen Z berperan sebagai aktor paling massif di demo kemarin. Ini merupakan tamparan balik pada arus pro konservatisme yang bulan-bulan lalu menguasai jalanan.
Selain itu, sempat viral beberapa video yang menampilkan suara-suara laki-laki yang terkesan sangat menjaga perempuan yang ikut aksi saat itu. Ada yang tidak setuju dengan perilaku tersebut karena merasa emansipasi wanita kurang dihargai dan dianggap remeh.
Anggapan perempuan yang perlu dijaga ketika aksi berujung ricuh adalah buah budaya patriarki yang sudah mengakar lama. Sehingga tak heran masih diamini mayoritas demonstran laki-laki. Namun, saya sudah melihat perubahan pandangan di generasi kita saat ini.
Keterlibatan perempuan dalam aksi demo sudah dimulai dan itu adalah sebuah prestasi untuk Gen Z yang terbukti lebih menuju ke arah progresif.
Perkumpulan massa ini, menurut Yuval Noah Harari, berhubungan dengan kodrat manusia sebagai sapiens. Manusia secara individu memang bisa membuat perlawanan dalam bentuk tulisan atau orasi yang menggebu-gebu. Sebagai contohnya, ada Adolf Hitler dengan julukan bapak pidato yang berhasil mengasingkan Yahudi, kemudian Fidel Castro, Mussolini, dan masih banyak lagi orator-orator ulung yang berhasil menggiring opini khalayak pada masanya berdasar kompas politik mereka masing-masing.
Secara individu itu tadi contohnya, akan tetapi ketika manusia berkumpul dalam jumlah besar dan bercampur dalam gelora yang sama, mereka dapat membelokkan arus sejarah. Sebut saja demonstrasi 1965 pada era Soekarno, kemudian kerusuhan 1998 yang berhasil menumbangkan kekuasaan Soeharto, serta demo tahun 2019 ini yang membuat pemerintah menunda pengesahan RKUHP (yang artinya RKUHP tidak akan disahkan dalam periode DPR saat ini karena masa jabatan mereka yang sudah habis).
Manusia, sebagai makhluk sosial, takkan pernah lepas dari sifat kooperatif sepanjang peradaban. Saintis menyelidiki hal tersebut untuk memajukan kehidupan bersama, perusahaan memanfaatkannya untuk memahami alokasi pasar, dan politikus menggunakannya untuk menggaet suara. Sebagian laginya tidak malu-malu mengolahnya menjadi ide-ide populis yang sudah saya bahas di artikel sebelumnya.
Guna memainkan sentimen suatu kondisi masyarakat yang terpuruk atau merasa tertindas, dibutuhkan organisasi massa yang baik. Kelompok-kelompok inilah yang diawasi pemerintah agar demonstrasi tidak berujung keos yang hanya merugikan kedua belah pihak.
Perkumpulan massa ini kadang dijadikan tunggangan bagi penumpang gelap yang berusaha memobilisasi massa ke arah yang diinginkan. Kemarin, ada beberapa orang yang mendemo dengan sangat rusuh lewat belakang gedung yang pura-pura mengaku sebagai mahasiswa. Esensi bising mereka tentu berbeda dengan para mahasiswa yang jelas dengan tuntutan-tuntutannya.
Cara kelompok tersebut memanfaatkan momentum ini antara lain melazimkan kebencian, kekerasan, rasa tertindas yang teramat, dan genosida berasas kemanusiaan yang akan menstimulasi otak para massa yang mendengarnya. Mendengar narasi pro rakyat seperti itu, pikiran akan langsung terkonklusi untuk mengiyakan semua kata-kata itu benar.
Pernah diskusi bersama teman ditemani bubble tea dengan boba yang masih terkunyah, waktu itu ia mengkritik tendensi sebagian orang untuk demo saat menolak atau menuntut sebuah perubahan. Katanya, tidak mengubah apa-apa, hanya menambah keringat. Lebih baik aksi langsung, menggagas ide revolusioner, atau masuk jajaran pemerintah untuk mengubah regulasi.
Masalahnya, tidak semua orang mempunyai akses untuk masuk jajaran DPR selaku pembuat undang-undang. Indonesia memiliki penduduk yang sangat melimpah. Dengan terbatasnya tampungan aspirasi masyarakat di pemerintahan, tak jarang akan banyak ide atau kritik yang terlewat sehingga tidak terjawab.
Yang terakhir, memang dari dulu politisi mempunyai janji-jani kampanye yang tidak mungkin semuanya terealisasi karena memang nature-nya politisi politik praktis begitu. Dengan titel sebagai rakyat biasa, kita mampu memperbanyak literatur politik agar tidak mudah tergoda populisme yang mengakibatkan substansinya buram.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.