
Judul Film: Barbie
Produser: Greta Gerwig
Distributor: Warner Bros. Pictures
Tanggal Rilis: 9 Juli 2023
“Men look at me like I’m an object, girls hate me.” – Barbie
Barbie. Satu kata yang mungkin mencerminkan keseluruhan hidup seorang anak perempuan. Pada tahun 1945, Ruth Handler dan pasangannya, Elliot, mendirikan perusahaan mainan Mattel di garasi rumah mereka di California Selatan. Dialah yang menciptakan boneka Barbie, yang pertama kali dirilis pada tahun 1959 (bbc.com/31/07/2023). Barbie tidak hanya dijual sebagai boneka, tetapi juga menjadi bagian dari game dan film animasi sejak tahun 2001.
Pada bulan Juli 2023 kemarin, Barbie akhirnya “dihidupkan” dalam film live action setelah lama menjadi salah satu boneka terpopuler. Greta Gerwig, yang juga menyutradarai “Little Women” (2019) dan “Lady Bird” (2017), adalah pembuat film Barbie. Diperankan oleh Margot Robbie (Barbie protagonis), Ryan Gosling (Ken protagonis), Kate McKinnon, dan Simu Liu, film live action ini menampilkan berbagai versi Barbie dan Ken sekaligus.
Selain itu, film ini menampilkan karakter manusia, yang diperankan oleh America Ferrera, Will Ferrell, Rhea Perlman, dan lainnya.
Permulaan film dibuka dengan visual kehidupan Barbie yang sempurna. Adegan yang ditunjukkan serupa dengan ingatan masa kecil setiap anak perempuan, di mana Barbie selalu hidup serba sempurna, dengan Ken-nya, aksesoris dan make up serba pink, hingga nuansa rumah idaman. Segalanya berjalan semestinya, meski berupa repetisi demi repetisi yang terjadi setiap hari.
Dunia Barbie yang digambarkan sempurna itu tiba-tiba merosot ketika Barbie bertemu dengan situasi yang tidak biasa. Selama pesta dansa, Barbie tiba-tiba dilanda kekhawatiran tentang kematian. Keesokan harinya, dia menemukan dia tidak bisa lagi menyelesaikan rutinitasnya yang biasa dan menemukan kakinya menjadi rata dan dia memiliki selulit. Barbie menerima saran Weird Barbie (Kate McKinnon) untuk berkeliling dunia nyata bersama Ken untuk menemukan solusi masalah besarnya karena dia ingin kembali “sempurna”.
Untuk kali pertama, Barbie mengalami berbagai emosi, bukan hanya kepuasan. Di dunia nyata, laki-laki membuatnya marah, kesal, dan tidak nyaman.
Sesampainya di sana, Barbie menerima banyak “catcall” dari polisi dan tukang kuli sampai ia harus menjelaskan bahwa dia tidak memiliki penis. Tak cuma itu, asumsi dia bahwa Barbie berjasa untuk perempuan ternyata jauh dari realitas. Saat bertemu Sasha (Ariana Greenblatt), Barbie justru dicap ikut berkontribusi membuat perempuan merasakan dismorfia tubuh. Barbie adalah semua definisi berkebalikan dari ikon feminisme, demikian kesan dari Sasha.
Dalam setengah perjalanan filmnya, Greta berhasil membawa isu mengenai standar kecantikan di dunia perempuan yang tidak realistis. Greta menggambarkannya lewat sosok Barbie yang khawatir akan “penyakitnya”. Barbie tidak mau disebut sebagai “Weird Barbie” karena penyakitnya yang tidak biasa tersebut. Hal ini pun sesuai dengan realita masa kini yang menuntut perempuan “mau tidak mau” untuk mengikuti standar dan stereotip yang dibuat masyarakat.
Greta juga mengilustrasikan stereotip yang mengukung perempuan dengan beberapa narasi terselip. Misalnya, “Dia didiskon oleh Mattel karena boneka hamil terlalu aneh,” ucap narator. Berbeda dengan Barbie, Ken, yang biasanya berfungsi sebagai pelengkap, justru menemukan bahwa perjalanannya kali ini mengajarkannya tentang patriarki. Greta berbicara tentang pandangan pria ini dari sudut pandang perempuannya. Ken yang selalu merasa dirinya sekadar aksesorisnya Barbie, senang bukan kepalang saat menemukan konsep patriarki dan laki-laki yang “berkuasa” di dunia nyata. Ini membuat Ken ingin mengajarkan konsep patriarki di Barbie Land.
Hal inilah yang kemudian membuat film Barbie kental dengan unsur patriarki dan bagaimana Ken menyadari hal tersebut usai pidato Gloria menyentil pandangannya. Sesuai dengan yang ditampilkan dalam film, lama-kelamaan, masyarakat membakukan konsep gender menjadi satu kesaturan ‘budaya’ dan seakan tidak bisa lagi ditawar apalagi diubah. Membahas masalah gender bukan sekedar perihal masalah perempuan yang menghadapi laki-laki saja, melainkan permasalahan universal untuk memahami pembagian peran dan kedudukan, serta hak dan kewajiban masing-masing gender.
Ada beberapa aspek yang mempertegas konstruksi masyarakat terhadap masalah gender ini. Kebanyakan para orang tua masih menggambarkan anak laki-laki harus tangguh, macho, dan tahan banting. Di satu sisi, ajaran seperti ini membuat seorang laki-laki menjadi lebih siap menjalani kehidupan yang matang. Namun, di sisi lain, hal ini tak jarang membuat seorang laki-laki merasa lebih mempunyai ‘kuasa’ atas perempuan, memberi mereka beragaman label dan batasan yang akan menyesakkan perempuan.
Hal ini yang kemudian digambarkan sebagai patriarki di film Barbie, di mana adanya distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, sehingga laki-laki dipandang mempunyai keunggulan dalam satu aspek atau bahkan lebih dibandingkan seorang perempuan. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender, seperti hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, atau agama dari berbagai pekerjaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual (media.neliti.com).
Selanjutnya, konsep patriarki memengaruhi proses pengukuhan norma-norma yang membatasi gerak perempuan. Citra, peran, dan status sebagai perempuan telah diciptakan oleh budaya, sehingga akhirnya perempuan menganggap bahwa label itu memang bagian dari takdir. Menurut beberapa teori feminisme psikoanalisis, hal ini dipengaruhi oleh penggunaan bahasa dalam media, serta konteks budaya yang melatarbelakanginya. Ironisnya, konstruksi yang selama ini ingin dihilangkan dari dan oleh perempuan justru semakin dikukuhkan oleh media.
Pengukuhan stereotip perempuan seringkali menjadi tema-tema yang menarik dalam media umum atau media yang dikhususkan untuk perempuan. Beberapa media perempuan mengukuhkan stereotip-stereotip itu dengan menentukan rubrik-rubrik yang ditampilkan, menggunakan sebutan-sebutan perempuan yang sudah ada dalam masyarakat, menampilkan cara-cara yang dapat ditempuh untuk melakukan tugas perempuan yang sudah dikonstruksikan masyarakat, baik dalam hubungan sesama perempuan maupun relasi gender dengan laki-laki. Hal ini menyebabkan masyarakat sangat sulit mengubah persepsi tentang perempuan karena peran-peran perempuan terus menerus disosialisasikan seperti tokoh “Barbie”, sempurna, hanya berdandan, bersenang-senang, dan membutuhkan sosok Ken dalam hidupnya.
“Barbie is a doctor, and a lawyer, and so much more than that”. Pada akhirnya, film Barbie tidak hanya sukses menampilkan ikon boneka masa kecil yang asik, tetapi juga merevolusi cara pandang penontonnya dalam melihat Barbie, dengan perspektif gender, relasi gender, dan interseksionalitas, dari beragam referensi yang serius.
Referensi
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c6pw8prlpgyo Diakses pada 6 Agustus 2023, pukul 18.50 WIB.
https://media.neliti.com/media/publications/107368-ID-relasi-gender-dalam-hubungan-pacaran.pdf Diakses pada 6 Agustus 2023, pukul 23.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.