Akhir-akhir ini, khalayak ramai sedang penuh dengan kata-kata “demonstrasi”, “unjuk rasa”, dan “hidup mahasiswa”. Pastinya Anda sekalian sudah tahu alasan dibalik aksi-aksi massa tersebut. Yang pertama, pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh DPR dan pemerintah pada 14-15 September 2019 lalu dianggap berisi pasal-pasal yang merenggut hak sipil dan demokrasi. Dalam pasal-pasal yang tertera dalam RKUHP tersebut, terdapat banyak pasal-pasal karet yang melanggar kebebasan berbicara dan mengintervensi urusan ranah privat warga. Selain itu, formulasi kalimat-kalimat dalam pasal RKUHP tidak jelas sehingga rentan menimbulkan multitafsir.
Masyarakat menganggap bila RKUHP ini disahkan, maka Indonesia saat ini tak ada bedanya dengan zaman kolonial dulu. Negara terlalu mencampuri urusan yang seharusnya sudah mutlak adalah hak-hak hakiki warga. Serta, masih banyak lagi pasal-pasal yang sebenarnya tidak penting dan tidak perlu.
Sedari masa kolonialisme, kita memang sudah memiliki dasar hukum-hukum turunan dari pemerintahan Belanda. Beberapa di antaranya sudah tidak relevan dengan budaya Indonesia saat kini. Oleh karena itu, pemerintah dengan bangganya mencap label diri sebagai nasionalis, kemudian mengajukan rancangan undang-undang yang justru malah memberi kesan seakan negara bertindak menjadi polisi moral warganya.
Hak untuk Bebas Berbicara dan Berekspresi
Dalam Pasal 218 sampai 220 tercantum tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Hukuman di setiap tindak pidana penghinaan tersebut bervariasi, antara denda 150 juta dan penjara maksimal 3,5 tahun sampai 4,5 tahun.
Selain itu, masih ada Pasal Penistaan Agama yang sebelumnya sudah kontroversial sejak kasus mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, yang dipenjara karena orasinya di kepulauan seribu. Pasal penistaan agama dapat menimbulkan gelombang panjang radikalisme agama yang ujungnya akan bermuara pada politik identitas.
Saya mengambil dua contoh pasal ini sebagai contoh bahwa Indonesia sedang darurat demokrasi. Tindak pidana pada masyarakat yang mengkritik kebijakan pemerintah, menyerang secara tulisan atau lisan, dan penghinaan tersebut tidak mengandung logical reasoning yang jelas sehingga dapat menimbulkan multi-interpretasi.
Dua pasal ini merupakan pasal yang sangat terbuka terhadap celah-celah yang bahaya. Takaran terhadap ucapan orang atau tindakan orang berbeda-beda. Misal si B menganggap bahwa apa yang diucapkan si A itu biasa saja. Namun, di luar sana mungkin ada yang menganggap omongan si A itu termasuk pelecehan atau penghinaan.
Intinya, substansi dari dua pasal ini tafsirannya luas sehingga tidak jelas batasan-batasan apa saja yang bisa dianggap kriminalisasi. Bayangkan influencers media sosial yang ingin menghibur atau mengedukasi followersnya bisa saja terjerat hukum ini bila tidak sangat hati-hati. Ruwet, kan?
Yang ideal adalah pasar bebas. Kalau ada yang punya ide dikekang pemerintah dan dianggap ide itu subversive atau mengancam negara, ide secara moral salah, tetapi secara hukum tidak salah. Idenya tidak harus dihukum atau dilarang, cukup hanya kasih ide antitesis. Kalau ada banyak pilihan suara, pertimbangkan baik-baik.
Selama itu bukan agresi atau penyerangan langsung secara fisik dan perang, semua kebebasan tersebut masih sehat. Hal seperti itu tidak ada sangkut pautnya dengan budaya kolonial, negara tidak usah mengkhawatirkan kebebasan bicara layaknya turunan budaya barat. Itu merupakan bagian dari demokrasi.
Jangan jadi negara yang pemerintahnya takut dikritik, tidak mau keluar zona nyaman, dan tetap berkutat pada konservatisme yang tidak memperbaiki masa depan negara. Pemerintah harus bisa menerima setiap aspirasi masyarakat dengan suportif. Bila ada yang tidak disetujui, perdebatkanlah dengan gagasan lain yang Anda pegang. Hal yang sama juga berlaku pada masyarakat.
Hak untuk Memilih Jalan Hidup
Selain masalah hak kebebasan pers, RKUHP ini juga bermasalah pada hak dalam kebebasan memilih jalan hidup. Mulai dari larangan kumpul kebo, urusan aborsi, permasalahan alat kontrasepsi, sampai perzinaan.
Setelah membaca keseluruhan draf RKUHP, saya menyimpulkan ada poin-poin di mana pemerintah sepertinya sangat menghindari masalah seks dan lagi-lagi seakan-akan menganggap seks itu tabu.
Pelarangan aborsi dan kumpul kebo yang teramat ketat merupakan hal yang paling banyak disoroti mahasiswa dalam demo kemarin. Kenapa? Karena isinya benar-benar tidak bisa ditolerir dan sama sekali tidak ada yang setuju. Pidana terhadap aborsi tanpa pengecualian, juga dinilai dapat mengkriminalisasi perempuan korban pemerkosaan. Selain itu, petugas medis yang membantu aborsi juga terancam pidana.
Wajarnya, perempuan penyintas pemerkosaan akan mengalami post-traumatic yang berbeda-beda efeknya. Cara menyembuhkannya pun juga bervariasi, misalnya terapi, pengasingan diri dari lingkungan laki-laki untuk sementara waktu, bahkan harus berdiam diri beberapa bulan.
Meski dalam kajian agama, ruh yang dititipkan pada manusia sudah mempunyai hak untuk hidup dan tidak boleh diambil nyawanya, namun hak kehidupan si bayi masih melekat pada si ibu (selaku pemilik tubuh) dan kesepakatan sosial si ibu.
Permasalahan kumpul kebo dianggap merupakan social damage yang lebih baik diterapkan. Ada yang pro dan kontra terhadap pasal pelarangan kumpul kebo tersebut.
Kita ambil contoh negara Amerika dan bagian Eropa sana yang menerapkan sistem kebebasan dalam hal seks di luar nikah maupun dalam pernikahan. Apakah negara mereka hancur karena kebijakan tersebut? Kendurnya pemerintah menghadapi seks bebas di barat sana tidak membuat negara tersebut terpuruk.
Kebijakan publik dipertimbangkan dengan cost-benefit analysis. Orang-orang menganggap bila kumpul kebo diperbolehkan, maka kejadian hamil di luar nikah akan semakin banyak dan akan menganggu tatanan sosial masyarakat. Padahal, tidak sama sekali. Tidak ada kausalitas antara kumpul kebo dengan anak di luar nikah.
Semua ini balik lagi pada pendidikan seks yang jarang diobrolkan dan masih dianggap tabu oleh sebagian orang tua. Generasi anak cucu kita membutuhkan pendidikan seks yang benar. Kita sama-sama homo yang pintar, yang berbeda dari jenis hewan-hewan lainnya. Kita bisa membedakan akal budi mana yang benar dan salah asalkan otak sudah terstimulasi dengan bekal pengetahuan yang benar.
Hukuman-hukuman yang ada dalam RUU tersebut sudah terlalu masuk basis kehidupan kita sehari-hari. Siapa saja bisa terjerat, baik sadar maupun tidak sadar melakukannya. Kalau saya lihat sih, pasti kebanyakan tidak sadar melakukannya karena hal-hal yang ditindak pidana sudah sangat melekat pada kehidupan sehari-hari kita.
======================================
Samuella Christy adalah kontributor tetap Suara Kebebasan yang saat ini masih duduk di bangku kelas 11 SMA, Ia juga aktif menulis di berbagai media mengenai isu-isu politik dan sosial. Dapat dihubungi melalui samuellachristy3005@gmail.com.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.