Istilah politik selama ini kerap dikonotasikan sebagai sebuah hal yang negatif oleh khalayak umum. Hal ini tentu tidak lepas dari bagaimana sepak terjang para politisi di berbagai lembaga politik Indonesia selama ini yang jauh dari harapan positif. Para politisi lekat dengan berbagai aktivitas negatif dan kriminal seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan misalnya dalam catatan Transparency International yang merilis hasil survei tahun 2021, Indonesia meraih Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) sebesar 38, atau hanya naik 1 poin dari capaian sebelumnya, dan masih jauh dari skor rata-rata global yaitu 43 (Media Indonesia, 2022).
Hal ini menunjukkan betapa bobroknya sistem perpolitikan Indonesia dan para politisi yang mengisi sistem tersebut. Indonesia sebagai negara yang diberkahi oleh Tuhan sebagai salah satu negara dengan bonus demografi tertinggi, sebuah kondisi di mana negara memiliki populasi usia produktif (15-64 tahun) yang lebih banyak daripada populasi usia non-produktif. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi sistem dan seluruh instrumen perpolitikan di Indonesia, karena sebagai sebuah negara demokratis Indonesia perlu untuk terus menjalankan roda kepemerintahan secara demokratis melalui pemilu atau voting. Namun, hal ini menjadi masalah besar saat kebanyakan populasi muda yang menjadi penduduk mayoritas justru apatis atau bahkan anti-politik. Hal ini dapat dilihat misalnya pada Pemilihan Umum 2019 lalu di mana banyak aktivis muda mendeklarasikan sikap politiknya untuk memilih golput karena berbagai alasan (Wijaya, 2019).
Kondisi ini tentu diakibatkan oleh banyak faktor, di mana kebobrokan lembaga politik di Indonesia selama ini menjadi salah satu faktor di dalamnya. Faktor-faktor lain yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah ketidakmampuan partai-partai politik di Indonesia dalam menghadirkan alternatif calon yang kompeten dan menarik. Imaji politik selama ini selalu dipenuhi oleh sosok laki-laki tua berpeci dengan sederet gelar dan berlatar belakang pengusaha atau juragan yang kekayaannya unlimited. Hal ini tentu mengakibatkan rakyat khususnya kaum muda merasa tidak memiliki ikatan kebutuhan dengan para politisi yang terasa begitu jauh dari hidupnya. Namun, apakah hal ini tidak dapat dirubah?
Dalam catatan yang diterbitkan oleh laman Suara Kebebasan (Surya, 2022), memunculkan survei dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) yang mendapatkan temuan bahwa lebih dari 99% anak muda Indonesia sudah terkoneksi dengan smartphone dan internet. Dengan demikian, sangat penting bagi para politisi dan lembaga-lembaga politik terkait untuk dapat memanfaatkan internet dan sosial media secara maksimal, sehingga anak muda dapat hadir dan mendengarkan kebutuhan kaum muda secara tepat dan efektif. Selain itu juga, dalam angket dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) (20 April – 11 Mei 2022) tentang persepsi politik anak muda jelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, menemukan fakta bahwa generasi muda memilih kandidat lebih berdasarkan pada kesesuaian visi, misi, dan kejelasan program yang diusung. Hal ini tentu berbeda dengan generasi tua yang cenderung fanatik kepada partai, identitas, serta politik uang.
Perubahan besar ini tentu perlu diakomodasi oleh partai politik selaku kendaraan utama dalam sistem perpolitikan Indonesia. Partai politik perlu untuk melakukan transparansi dan merekrut para bakal kandidat yang kompeten, populer, serta dapat memaparkan seluruh visi, misi, dan program kerjanya secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Kegagalan paratai politik dalam mengakomodasi perubahan ini tentu akan dapat berakibat negatif dengan semakin rendahnya kesadaran politik generasi muda di Indonesia sehingga dapat membahayakan demokrasi dan kebebasan masyarakat.
Apa yang perlu dilakukan partai politik saat ini adalah pembenahan secara besar-besaran, bukannya solusi-solusi instan, seperti merekrut artis, anak-anak pengusaha, atau menghadirkan citra “sok milenial” yang justru membuat kaum muda merasa semakin cringe atau menjijikkan. Apa yang perlu diingat adalah semakin rendahnya keterlibatan politik generasi muda di Indonesia menunjukkan semakin buruknya kualitas politik di Indonesia yang berarti ekuivalen pula dengan munculnya berbagai masalah ekonomi sosial budaya yang harus dihadapi oleh masyarakat.
Referensi
Media Indonesia. (2022). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2021 Masih Jauh dari Skor Rata-Rata Global. https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/468099/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2021-masih-jauh-dari-skor-rata-rata-global. Diakses pada 23 Agustus 2022, pukul 19.30 WIB.
Surya, R. A. (2022). Mendorong Partisipasi Politik Anak Muda. Suara Kebebasan. https://suarakebebasan.id/mendorong-partisipasi-politik-anak-muda/. Diakses pada 24 Agustus 2022, pukul 15.00 WIB.
Wijaya, C. (2019). “Golput adalah hak”, Sejumlah Warga Memilih Golput di Pilpres 2019. BBC Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46970330. Diakses pada 24 Agustus 2022, pukul 15.00 WIB.
Boggy Mukti Sanjaya saat ini tengah menempuh pendidikan S1 Sastra Inggris di Universitas Terbuka Surakarta.