Papua dan Konflik yang Berkepanjangan

    629

    Minggu siang kelabu, wilayah Tangerang diguyur hujan cukup deras. Di antara riak hujan yang membasahi tanah, handphone saya tiba-tiba berdering cukup keras. “Rey, Agus meninggal! Dia gugur di Papua.” Suara lirih yang membawa kabar duka tersebut tentu saja membuat shock seketika. Seorang sahabat karib kami saat bersekolah di STM (sekarang SMK) Voctech 1 Tangerang, telah gugur menunaikan tugas sebagai prajurit sejati.

    Tragedi tersebut terjadi di wilayah Distrik Intan Jaya, Provinsi Papua. Terjadi baku tembak antara TNI dengan gerombolan KKB. Dalam peristiwa ini, Prada Agus Kurniawan, sahabat karib kami, gugur sebagai kusuma bangsa.

    Berita duka tersebut sejenak membuat kami tak percaya. Namun, peristiwa baku tembak antara KKB dengan TNI ini ternyata dikonfirmasi pula kebenarannya. Kontak tembak tersebut terjadi antara Batalyon 400 dengan KKB di wilayah Titigi, yang mengakibatkan satu anggota meninggal dunia, dan anggota tersebut adalah sahabat kami (Kompas.com, 10/1/2021).

    Baku tembak antara gerombolan KKB dengan TNI bukan hanya sekali ini saja. Menurut kantor berita Antara, hingga penghujung tahun 2020, telah terjadi baku tembak antara TNI dengan KKB lebih dari 20 kasus. Tentu saja telah banyak anak-anak bangsa yang gugur demi menjalankan tugasnya (Antaranews.com, 10/10/2020).

    Penembakan pada anggota TNI dan munculnya kelompok-kelompok separatis di provinsi Papua masih menjadi batu ganjalan bagi republik ini. Membaca masalah konflik dan keamanan di Papua takkan lengkap jika tidak melihat dari berbagai segi. Untuk masalah konflik di Papua, terlalu banyak sudut pandang yang harus kita lihat untuk mengetahui jawaban dan pemecahan masalahnya.

    Entah itu dari sudut pandang ekonomi, sosial, politik, agama, keamanan, hingga masalah yang menyinggung SARA. Konflik di Papua bukan hanya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi saja. Polemik megenai tanah Papua sudah terjadi sejak era Presiden Soekarno. Dari tahun 1963 hingga memasuki abad 21, Papua terus bergejolak.

    Di era presiden pertama Indonesia, Soekarno mengkampanyekan aksi Dwikora. Dapat dikatakan, aksi ini sebagai instruksi Bung Besar untuk melakukan operasi militer di wilayah Papua yang saat itu masih diduduki oleh Belanda. Operasi militer besar-besaran untuk memasukan wilayah Papua ke dalam Republik Indonesia berhasil dengan sukses. Namun, sayangnya pembangunan ekonomi sama sekali belum dilaksanakan, program ekonomi di era Soekarno, seperti Pembangunan Semesta Berencana, belum menyentuh tanah Papua.

    Hingga orde berganti (dari Orde Lama ke Orde Baru), situasi di Papua masih tak banyak berubah. Meskipun era Orde Baru disebut sebagai era pembangunan, dan Presiden Suharto terus menyerukan pemerataan pembangunan, namun kebijakan ekonomi yang sentralistik di era Orde Baru, justru membuat daerah-daerah di luar pulau Jawa merasa dimarginalkan.

    Papua adalah salah satu wilayah yang sangat sedikit menikmati era pembangunan yang diprakarsai oleh Orde Baru. Kondisi alam yang masih asli dan pola ekonomi masyarakat masih sangat tradisional, membuat pembangunan di tanah paling timur Indonesia sangat sukar dilakukan. Meskipun, masuknya modal asing seperti PT. Freeport turut membantu meningkatkan ekonomi tanah Papua.

    Sayangnya, PT. Freeport lebih sering menggunakan tenaga ahli dari luar Papua ketimbang memanfaatkan tenaga penduduk setempat. Walhasil, banyak pendatang-pendatang dari berbagai wilayah datang dan berkerja di Papua. Program transmigrasi yang juga gencar dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, membuat pendatang semakin gencar menetap dan mencari nafkah di Papua. Inilah yang kemudian menyebabkan gerakan nasionalisme Papua lahir (Historia.id, 28/7/2018).

    Pada tahun 1971, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai salah satu organisasi pemberontak yang berusaha untuk melepaskan tanah Papua dari Republik Indonesia. Para militan Papua selama dekade 70-an hingga 80-an terus melakukan aksi perlawanan seperti teror kepada pekerja Freeport atau melakukan penyerangan secara frontal pada pos-pos polisi dan tentara Indonesia seperti yang terjadi saat ini.

    *****

    Jika kita mau belajar dari sejarah, konflik yang terjadi di Papua, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Aceh dan juga Timor Timur. Pemberontakan dan aksi-aksi yang dilakukan oleh para gerombolan adalah bagian dari protes masyarakat terhadap kesewenang-wenangan, kemiskinan, dan diskriminasi yang mereka rasakan.

    Ambillah contoh di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Saat Timor Timur teritegrasi ke wilayah Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27, tidak serta merta pembangunan bisa berjalan dengan gencar. Uskup Belo dalam bukunya Voice of The Voiceless, menggambarkan tekanan dan ketidakbebasan yang dialami oleh rakyat Timor Timor pada masa Orde Baru (Belo, 1997).

    Ini yang harus digarisbawahi, kita tidak ingin kedepannya puluhan bahkan ratusan anak bangsa yang gugur di medan tempur menjaga NKRI. Bagaimanapun, kita harus tahu bahwa sekarang Papua adalah bagian dari republik ini. Jika konflik di wilayah Papua ingin diselesaikan (mungkin tidak bisa selesai dalam waktu singkat), pemerintah harus melakukan pendekatan lain selain pendekatan kekerasan seperti yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya.

    Pendekatan lewat dialog, pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan ekonomi harus lebih serius dan gencar dilakukan, serta melibatkan masyarakat Papua. Intinya adalah, kita harus mampu “merebut hati” masyarakat Papua. Moncong senjata bukan jalan satu-satunya untuk menciptakan perdamaian di Papua dan dengan memusnahkan gerombolan KKB, tidak berarti masalah Papua tuntas.

    Ya, KKB atau OPM bukan representasi rakyat Papua, dan segala tindakan kriminalnya harus dilawan dan ditindak tegas. Tetapi yang perlu diingat, jangan fokus kita hanya pada gerombolan tersebut, tetapi fokuskan perhatian kepada rakyat Papua. Jika Pemerintah Indonesia bisa merebut kembali hati masyarakat Papua, melakukan pendekatan yang lebih humanis pada rakyat Papua, kita yakin konflik Papua secara bertahap bisa selesai dan gerombolan tersebut akan menghilang seiring dengan simpati rakyat kepada pemerintah.  

     

    Referensi

    Buku

    Belo, Carlos F. Ximenes. 1997. Voice of The Voiceless. Jakarta: Obor.

     

    internet

    https://regional.kompas.com/read/2021/01/10/20261041/1-anggota-tni-gugur-dalam-kontak-senjata-dengan-kkb-di-intan-jaya. Diakses pada 11 Januari 2021, pukul 20.54 WIB.

    https://historia.id/politik/articles/papua-di-tangan-soeharto-DpwQV/page/2 Diakses pada 11 Januari 2021, pukul 23.43 WIB.

    https://www.antaranews.com/berita/1776129/kkb-intan-jaya-23-kali-lakukan-teror-penembakan-selama-2020 Diakses pada 11 Januari 2021, pukul 22.32 WIB.