Pandemik virus Corona saat ini telah menjadi salah ancaman terbesar terhadap umat manusia di seluruh dunia. Hampir di seluruh benua di permukaan bumi, virus ini hadir dan telah menyebabkan puluhan ribu jiwa kehilangan nyawa, dan lebih dari 2 juta orang lainnya terinfeksi.
Berbagai pihak pun mencoba menyalahkan pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas pandemik tersebut. Pemerintah Komunis China umumnya merupakan pihak yang dianggap paling bertanggung jawab, karena di periode awal munculnya virus Corona pada akhir tahun 2019, Partai Komunis China menutup informasi mengenai Corona dan mempidanakan para ilmuwan dan pakar kesehatan yang mencoba memberi informasi kepada publik.
Selain itu, Pemerintah China juga gagal menutup dan menindak mereka yang menjual dan mengkonsumsi hewan liar, yang dijual bebas di berbagai pasar di negara Tirai Bambu tersebut. Hal tersebut menyebabkan virus Corona yang berasal dari hewan liar berpindah dan menyebar kepada manusia.
Namun, Pemerintah China ternyata bukan merupakan satu-satunya pihak yang disalahkan atas pandemik ini. Tidak sedikit kalangan yang justru menyalahkan peradaban manusia modern yang dianggap tidak selaras dengan alam sebagai penyebab munculnya virus Corona.
Kepala lembaga program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Enviroment Programme) Inger Andersen misalnya, menyatakan bahwa virus Corona merupakan “peringatan dari alam.” Andersen menyatakan bahwa berbagai tindakan manusia yang merusak dan memberi tekanan yang berlebih kepada alam untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia menyebabkan alam berbalik melawan manusia (The Guardian, 25/03/2020).
Pandemik Corona juga memunculkan berbagai sisi gelap gerakan enviromentalisme yang anti kemajuan dan modernisme. Di berbagai media sosial, tidak sedikit mereka yang menyatakan bahwa manusia merupakan virus yang sesungguhnya bagi bumi, dan munculnya virus Corona merupakan salah satu akibat dari cara umat manusia memperlakukan bumi tempat ia tinggal di era modern.
Namun, apakah anggapan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Apakah pandemik Corona merupakan salah satu dampak dari kemajuan dan peradaban modern umat manusia?
*****
Pandemik Corona tidak bisa dibantah merupakan salah satu pandemik terbesar yang dialami oleh umat manusia di era modern, atau setidaknya selama 100 tahun terakhir. Per bulan April 2020, virus ini sudah menginfeksi lebih dari 2 juta penduduk bumi di lebih 200 negara dan teritori, dan menyebabkan kematian lebih dari 160.000 jiwa. Hingga saat ini, belum ada kepastian kapan pandemik tersebut akan berakhir.
Tidak hanya berdampak pada kesehatan, pandemik Corona juga memiliki dampak ekonomi yang sangat besar di berbagai negara di dunia. Tidak sedikit negara yang saat ini sudah memberlakukan kebijakan lockdown nasional dan menutup berbagai fasilitas publik yang dianggap tidak esensial.
Akhirnya banyak usaha, terutama yang bergerak di bidang jasa seperti penerbangan dan rumah makan, yang harus berhenti beroperasi dan merumahkan pegawai mereka. Tidak sedikit pula para karyawan yang harus diberhentikan karena perusahaan tempat mereka bekerja tidak lagi mendapat pemasukan.
Bagi kita yang hidup di paruh awal abad ke-21, virus Corona seakan menjadi “kiamat kecil” bagi umat manusia. Suatu bencana yang luar biasa besar dan membawa dampak negatif, baik kesehatan maupun ekonomi, bagi miliaran penduduk bumi di seluruh dunia.
Pandangan demikian bisa muncul karena sangat sedikit manusia yang mencapai usia lebih dari 1 abad. Apalagi hingga 2, 3, 5, atau 10 abad. Tidak ada satupun orang di dunia yang dapat mencapai usia demikian. Seandainya ada manusia saat ini yang berusia 2 milenium, pasti ia akan melihat pandemik Corona dari sudut pandang yang sangat berbeda dari kita semua.
Pandemik merupakan hal yang selalu hadir dari catatan awal sejarah homo sapiens. Penyebaran penyakit secara cepat dan luas kepada manusia tidak hanya terjadi di zaman modern. Sejarah mencatat berbagai kejadian pendemik global yang terjadi berdekade-dekade hingga berabad-abad yang lalu, yang mengambil puluhan juta nyawa.
Pandemik Black Death misalnya, yang terjadi di Eropa selama 22 tahun di abad ke-14, tepatnya tahun 1331 – 1353, telah menelan korban jiwa hingga lebih dari 100 juta orang. Wabah tersebut telah membuat populasi penduduk dunia berkurang dari sekitar 475 juta sebelum pandemik menjadi hanya 350 juta jiwa. Eropa membutuhkan waktu lebih dari 200 tahun untuk mengembalikan jumlah penduduk sebanyak sebelum wabah tersebut.
Black Death tentu juga bukan satu-satunya pandemik yang terjadi pada periode lampau. Penyakit cacar selama ribuan tahun merupakan salah satu ancaman besar bagi umat manusia dan telah menjadi sumber berbagai pandemi dan epidemi. Pada tahun 1520 misalnya, Meksiko dilanda epidemi cacar yang menyebabkan 8 juta warga meninggal, atau 40% dari populasi Meksiko pada masa itu. Di abad ke-20 sendiri, cacar telah menjadi penyebab kematian hingga 500 juta jiwa.
Peradaban manusia di abad ke-12 atau abad ke-14 tentu sangat berbeda dengan peradaban modern di abad ke-21. Mereka tidak memiliki akses terhadap berbagai teknologi modern yang kita anggap taken for granted, diantaranya barang-barang elektronik dan alat-alat transportasi berbasis bahan bakar fosil seperti mobil, kereta api, dan pesawat terbang. Bila anggapan berbagai kaum environmentalis bahwa peradaban manusia di abad modern merupakan penyebab dari segala pandemik seperti Corona, pastinya mereka yang hidup ratusan tahun yang lalu terbebas dari wabah penyakit.
Justru, berkat peradaban manusia modern, yang bertumpu pada sains dan kemajuan teknologi, kita dapat mengatasi berbagai wabah penyakit yang pada masa lalu seakan mustahil untuk dikalahkan. Cacar misalnya, merupakan salah satu penyakit mematikan yang secara global sudah diberantas pada tahun 1977, dan ratusan juta jiwa akhirnya bisa diselamatkan.
Contoh lain, pandemik global Spanish Flu misalnya, yang terjadi pada tahun 1918 – 1920. Pandemik tersebut telah menyebabkan 50 juta jiwa melayang dan menginfeksi 500 juta orang, atau sekitar seperempat dari penduduk bumi pada masa itu. Pandemik influenza mematikan ini disebabkan oleh virus H1N1 dan tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Pada tahun 2009, terjadi pandemik virus H1N1 kembali, yang berasal dari babi. Pandemik yang dikenal dengan nama flu babi (swine flu) tersebut telah menginfeksi sekitar 1,4 miliar penduduk bumi.
Namun, meskipun jumlah orang yang terinfeksi hampir 3 kali lipat dari pandemik H1N1 yang terjadi hampir 1 abad sebelumnya, tingkat fatalitas yang terjadi jauh di bawah Spanish Flu. Berkat perkembangan sains dan teknologi, kita memiliki informasi yang jauh lebih banyak tentang nature dari virus tersebut dan bagaimana cara memitigasi dampak negatif dari pandemik pandemik penyakit, dibandingkan mereka yang hidup di awal abad ke-20. Secara global, pandemik tersebut menyebabkan kematian sekitar 18.000 jiwa.
Kembali ke pandemik Corona yang masih terjadi hingga saat ini, karena sains dan teknologi yang semakin berkembang, setidaknya kita saat ini sudah mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memitigasi dampak dari pandemik tersebut. Tidak seperti mereka yang hidup di abad ke-14, kita mengetahui kalau penyakit ini disebabkan oleh virus yang berukuran mikro, dan bukan karena hal misterius yang tidak bisa diselidiki oleh ilmu pengetahuan.
Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah, perkembangan sains dan teknologi hanya bisa terjadi karena ekonomi yang semakin tumbuh. Biaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tidaklah kecil, dan dibutuhkan dana yang sangat besar. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi, niscaya sains dan teknologi akan sangat sulit untuk berkembang, yang tentunya kita semua menjadi pihak yang paling dirugikan.
Seandainya ada manusia yang saat ini berusia 2.000 tahun, niscaya ia akan bersyukur terhadap kemajuan sains dan teknologi yang menjadi fondasi dari peradaban manusia modern. Ia telah menjadi saksi bagaimana, selama berabad-abad, berbagai wabah penyakit telah merenggut nyawa ratusan juta manusia tanpa mereka mengetahui penyebab dan cara mengatasi bencana tersebut.
Peradaban modern merupakan sesuatu yang patut kita syukuri dan apresiasi. Tanpa perkembangan sains dan teknologi, niscaya kita akan bergantung pada “belas kasihan” alam untuk memberi kita kesempatan hidup, tanpa kuasa untuk memperbaiki kehidupan yang kita miliki.
Penyakit hingga pandemik global merupakan sesuatu yang akan selalu hadir selama kita, homo sapiens, masih berjalan di atas permukaan bumi. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah, bagaimana mencegah dan memitigasi dampak negatif dari bencana tersebut hingga seminim mungkin. Dan sepanjang sejarah umat manusia, peradaban modern terbukti telah mencapai prestasi yang luar biasa dalam melakukan hal tersebut.
Referensi:
https://www.theguardian.com/world/2020/mar/25/coronavirus-nature-is-sending-us-a-message-says-un-environment-chief Diakses pada 19 April 2020, pukul 23.45 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.