Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah bunyi dari Sila Kedua yang merupakan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Saat ini, masyarakat di Indonesia tengah dihebohkan dengan persoalan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) yang kembali menjadi perdebatan di masyarakat setelah salah satu artis Dedi Corbuzeer melalui podcast-nya mengundang pasagangn LGBT sebagai narasumbernya. Mayarakat Indonesia begitu kuat dalam merespons persoalan LGBT tersebut lantaran dinilai bertentangan dengan norma agama, sehingga banyak melemparkan komentar negatif hingga pengucilan terhadap kelompok lain seperti transgender.
Lantas, bagaimana Pancasila menempatkan kelompok rentan ini? Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, negara memberikan jaminan kebebasan sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-undang dasar 1945 Pasal 28 dan UUD No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut, negara memberikan jaminan kepada setiap orang untuk hidup tanda diskriminasi apapun. Namun, melihat persoalan di lapangan, kelompok LGBT masih kerap menjadi sasaran tindak diskriminasi oleh masyarakat.
Pancasila yang sejatinya merupakan falsafah bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, penetapan Pancasila sebagai falsafah bagi masyarakat Indonesia tidak lepas dari pengaruh politik pada pasca kemerdekaan. Jika kita amati, pemahaman soal Pancasila di masyarakat masih seringkali ditafsirkan secara sepihak, seperti Sila Pertama yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, seolah-olah hanya memberikan hak kepada golongan mayoritas yang hidup di Indonesia. Padahal, Sila Pertama ini berarti Tuhan dengan kepercayaan dari tiap-tiap individu, baik itu penganut enam agama yang tercatat oleh negara ataupun agama-agama atau kepercayaan lain yang belum tercatat oleh negara. Pancasila juga mengamanatkan kesetaraan dalam soal kemanuasiaan, seperti yang tertulis dalam Sila Kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni perlakuan adil yang harus dipenuhi baik oleh negara maupun oleh masyarakat sediri kepada orang lain tanpa melihat ras, agama, warna kulit, dan lain sebagainya.
Masyarakat yang saat ini berpegang teguh pada norma agama menuntut negara untuk memberikan sanksi pidana kepada kelompok LGBT tersebut, meskipun secara hukum, belum ada yang mengatur secara spesifik soal LGBT tersebut. Mengutip filsuf Jean-Jacques Rousseau, dalam buku “Politik dan Kebebasan” (2017), kita sebagai anggota masyarakat telah bersepakat untuk patuh terhadap semua aturan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah merupakan pengemban “kehendak umum” masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintah sedang menjalankan kehendak dari kita sendiri sebagai masyarakat. Tidak dapat kita pungkiri bahwa proses pengambilan keputusan, baik itu secara hukum terkadang masih terpengaruh pada soal mayoritas dan minoritas. Padahal menurut Rousseau dalam bukunya “The Social Contract”, “kehendak umum selalu bersifat benar dan cenderung mengarah pada kebaikan umum, tetapi mesti dipahami bahwa tidak semua kehendak dan keinginan masyarakat memiliki nilai kebenaran yang setara.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, LGBT juga memiliki hak yang sama dalam UUD dan negara tidak boleh memberikan sanksi atau hukuman pidana hanya karena persoalan orentasi seksual. Hukum positif sendiri sejatinya dibuat untuk memberikan pengaturan agar terhindar dari hal-hal yang merugikan baik itu secara kelompok, individu dan lain-lain, kelompok LGBT tidak dapat diatur secara hukum karena merupakan ekspresi gender dan urusan privat tiap individu. Dengan demikian, negara seharusnya tidak mengatur masyarakatnya hingga pada persoalan pribadi selama persolan tersebut tidak memberikan ancaman kepada siapapun.
Daftar Pustaka
Palmer G Tom, Politik dan Kebebasan, Suara kebebasan, 2017.