
Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang dihormati oleh umat Islam seluruh dunia. Bukan hanya sebagai momentum pembersih hati dan jiwa, bulan Ramadhan adalah bulan perdamaian, di mana kesabaran diutamakan, sedangkan emosi dan egoisme ditekan.
Sayangnya, fadhillah (keutamaan) kembali tercoreng oleh kebencian dan bentrokan antara Israel dan Palestina yang makin memperlebar rasa kebencian dan permusuhan antara dua etnis atau dua negara (karena Israel mengakui wilayah Gaza Palestina sebagai wilayah merdeka).
Memang sudah menjadi hal yang umum bahwa bentrokan antara Palestina dan Israel menjadi sebuah tragedi kelam sekaligus aib di era modern ini. Bagaimana tidak, ketika berbagai negara menekankan kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan perdamaian, namun mereka (atau kita) gagal untuk menghentikan konflik dan mencegah peperangan yang sudah berlangsung lama.
Konflik antara dua bangsa tersebut juga menimbulkan rasa anti semitisme di hati orang-orang Muslim seluruh dunia. Ini kita bisa lihat misalnya dari narasi di berbagai media sosial yang memberitakan tentang konflik tersebut, pasti diiringi oleh hujatan, kutukan, dan makian terhadap suku Yahudi baik di Israel atau diseluruh dunia.
Meskipun kelompok Yahudi, seperti di Iran dan beberapa negara lainnya juga menginginkan perdamaian tercipta di tanah suci dan mendesak segenap pihak untuk menghentikan konflik yang berkepanjangan, namun tetap saja suku Yahudi hingga saat ini masih tak bisa jauh dari hujatan akibat konflik Timur Tengah.
Bukan Masalah Agama
Dalam sebuah postingan di media sosial Facebook, Syaikh Tawhidi, tokoh Muslim ternama di Australia, mengunggah beberapa foto dan situasi di kompleks Masjid Al-Aqsa atau Har Ha Bayt, di mana seorang pria membaca Al-Qur’an sembari menutupi tubuhnya dengan bangku dan tampak acuh tak acuh pada situasi di sana. Si bapak nampak asyik membaca Al-Qur’an dan berharap mendapat keberkahan Ramadhan dengan membaca firman Allah ketimbang ikut berkonflik dengan polisi Israel (Imam Tahwidi, Facebook, 21/04/2022).
Dalam unggahan lainnya,Tawhidi juga menunjukkan seorang perempuan muslimah yang berjalan menjauhi daerah konflik. Di sana terlihat beberapa polisi Israel melindungi perempuan tersebut dengan perisainya dari lemparan batu para demonstran. Tanpa membela siapapun, Tawhidi ingin menunjukan bahwa ada “sisi” yang tak disorot oleh dunia. Sisi kemanusiaan dan rasa ingin berhentinya konflik yang sudah berlarut-larut menanamkan kebencian antar ras dan menciptakan instabilitas pada dua bangsa (Imam Tahwidi, Facebook, 21/04/2022).
Tidak dapat dibantah, bahwa banyak orang menganggap bahwa konflik antara Palestina dan Israel dilatarbelakangi oleh masalah perbedaan agama, yaitu antara Islam dan Yahudi. Penulis pun dahulu juga menganggap demikian dalam melihat konflik ini. Apalagi, masalah Israel – Palestina kerap menjadi topik di mimbar-mimbar ceramah yang isinya adalah mengutuk para Yahudi yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan di tanah suci Yarusalem. Namun, setelah mengkaji dan membaca beberapa penelitian soal konflik Israel dan Palestina, penulis menangkap bahwa kesimpulannya adalah konflik tersebut bukan masalah agama. Agama hanya imbas dari konflik yang tak kunjung selesai dan sengketa yang berlarut-larut.
Ketika Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, datang ke Indonesia pada tahun 1984 dan menyinggung negeri Palestina. Ia berkata bahwa itu salah tempat bagi orang Arab, Yahudi, Afrika dan Asia. Ia mengatakan, “Kami ingin mendirikan negara Palestina yang demokratis bagi seluruh orang Palestina yang beragama Kristen, Yahudi dan Islam dapat hidup dengan baik dan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara” (Detik.com, 24/11/2012).
Dalam kacamata Yasser, ia menginginkan wilayah Palestina yang disengketakan dengan Israel hadir sebagai negara majemuk dan demokratis, bukan negara homogen yang hanya terdiri satu suku atau agama saja. Jelas jika pada dasarnya perjuangan pembebasan Palestina bukan soal agama, tetapi soal kemanusiaan dan kemerdekaan.
Hal serupa juga disampaikan oleh pengamat politik Timur Tengah, Dina Sulaiman. ia tidak setuju jika akar konflik antara Israel dan Palestina adalah agama. Akar sebenarnya adalah kolonialisme dan perebutan kemerdekaan (Gatra.com, 22/05/2021). Namun sayangnya, Dina Sulaiman sendiri tidak keberatan jika masalah agama juga terkait dalam persoalan sengketa ini. Dengan alasan bahwa orang Yahudi sendiri ingin membuat negara Israel untuk agama Yahudi dan bersifat eksklusif.
***
Jika kita membicarakan mengenai asal-usul masalah pembentukan negara Palestina, sebagian orang pasti cepat menjustifikasi bahwa itu kolonialisme, kapitalisme, konspirasi dan lain sebagainya.
Mereka tak paham bahwa dalam sejarah, suku Yahudi adalah suku yang sering mengalami intimidasi dan diskriminasi. Dalam Alkitab saja, orang Yahudi mengalami pembuangan babil di era pemerintahan Nebukadnezar yang membuat orang Yahudi meninggalkan tanah airnya dan berpencar ke wilayah Asia dan Eropa Timur. Penjajahan bangsa Yahudi oleh Babilonia, Persia dan Romawi membuat kebanyakan orang Yahudi berdiaspora ke berbagai daerah meninggalkan tanah air mereka di Palestina. Di bawah pendudukan Romawi, Yahudi menjadi warga negara nomor dua, bahkan kerap bersitegang dengan kaum Kristiani. Keadaan berubah ketika bangsa Arab Islam datang dan menaklukkan Romawi Timur (Bizantium) (Sumber, tahun?).
Menurut Philips Hitti dalam The History of Arab (1970), bangsa Yahudi Samaritan turut membantu pasukan Muslim untuk menaklukkan Yarusalem. Hal ini membuat hubungan masyarakat Yahudi dan Islam di masa itu secara umum stabil dan harmonis.
“Boleh jadi orang-orang Yahudi di abad ke-7 itu memandang kaum Arab Muslim lebih dekat kepada mereka dalam kaitan kesukuan, bahasa maupun barangkali juga agama, dibanding para penguasa Bizantium (Romawi Timur),” tulis Philip Hitti (Hitti, 1970).
Pun, dalam perjanjian antara Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup Yarusalem, Shapronius, Umar menolak jika orang Yahudi dilarang memasuki dan berdiam di Yarusalem. Khalifah ingin kedudukan Islam, Kristen dan Yahudi setara dan hidup harmonis di tanah suci. (Republika, 26/07/2020)
Jika kita memperhatikan sikap Khalifah Umar di atas, ini membantah dugaan bahwa sejak zaman dahulu Yahudi dan Islam telah bermusuhan. Tidak ada pertengkaran yang abadi.
Lalu, mengapa orang-orang Yahudi membentuk negara Israel? Hal ini tidak lepas dari gerakan Zionisme yang dicetuskan oleh Theodor Herzl. Herzl sendiri adalah seorang wartawan di Austria. Ia yang keturunan Yahudi menyaksikan bagaimana sikap para penguasa Eropa terhadap etnis Yahudi. Di Austria sendiri, suku Yahudi jadi etnis nomor dua dan di tempat lain, seperti Rusia, Yahudi mengalami diskriminasi (Encyclopedia Britannica, Online, 27/04/2022).
Ini yang membuat Herzl paham bahwa tanpa adanya negara, Yahudi akan tetap ditindas di negara manapun tempat mereka bernaung. Dari sinilah asal usul berdirinya negara Israel. Semangat nasionalisme yang hadir karena intimidasi dan diskriminasi oleh bangsa Eropa kepada etnis Yahudi telah mendorong orang-orang Yahudi untuk bermigrasi ke tanah Palestina. Pergolakan politik yang rumit, tekanan rasial yang kuat dari berbagai pihak, mendorong orang Yahudi untuk kembali ke Yerusalem dan membangun negara bernama Israel (Encyclopedia Britannica, Online, 27/04/2022).
Pendirian Israel itu juga berkat desakan etnis Yahudi kepada Inggris saat itu. Namun, untuk menghindari konflik, wilayah Palestina (yang saat itu terdiri dari Suriah, Lebanon dan Yordania), akhirnya dibagi menjadi wilayah untuk Yahudi Palestina dan Arab Palestina. Arab Palestina mendapatkan wilayah yang luas di kawasan Trans-Yordania dan kini menjadi negara Yordania (Encyclopedia Britannica, Online, 27/04/2022).
Namun, urusan belum selesai. Etnis Arab Palestina yang berada di Yerusalem tetap menganggap Palestina adalah wilayah mereka dan menolak berdirinya negara Israel. Penolakan ini yang hingga saat ini menimbulkan konflik.
Jalan Buntu Perdamaian
Perebutan tanah Palestina dari dahulu hingga kini telah menciptakan jalan panjang konflik dan peperangan Israel dan warga Palestina. Jumlah peperangan dan bentrokan antara kedua bangsa tersebut sudah tidak dapat dihitung lagi karena sudah terlalu sering baku-hantam.
Justru banyak orang yang skeptis pada perdamaian antara Palestina dan Israel. Bagi mereka, perdamaian tersebut adalah hal yang mustahil alias tidak mungkin terjadi. Hal Ini dikarenakan berbagai macam perjanjian damai yang disepakati pada akhirnya berhenti di tengah jalan alias tidak menghasilkan kesepakatan seperti apa yang diharapkan.
Ya, memang konflik antara Palestina dan Israel adalah konflik terpanjang dalam sejarah modern. Kedua belah pihak saling menyalahkan dan menuduh pihak lawan sebagai orang yang bertanggung jawab atas korban jiwa dari kalangan warga sipil. Hingga detik ini, konflik dan ketegangan masih terjadi dan dirasakan oleh dua belah pihak. Dan celakanya, konflik Israel dan Palestina saat ini tengah menjadi alat politik dari negara lain.
Iran misalnya yang menyokong pengusiran warga Yahudi dari tanah Palestina dan memberikan persenjataan terbaik mereka kepada milisi Hamas. Setiap Jumat terakhir di bulan Ramadhan, orang Iran dan umat Muslim lainnya merayakan hari Al-Quds yang menjadi pendorong pada kaum Muslim untuk terus melawan bangsa Israel (Antaranews.com, 26/04/2022). Bagi saya, ini bukan solusi menuju penyelesaian masalah, tetapi hanya memperpanjang masalah.
***
Pernah saya berdiskusi dengan sahabat tentang bagaimana penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina. Sahabat saya dengan bersemangat menjawab bahwa satu-satunya cara adalah Palestina merdeka dan orang Yahudi harus angkat kaki dari Palestina.
Untuk poin pertama, saya setuju. Palestina harus merdeka dan itu adalah hak mereka sebagai sebuah bangsa. Namun, poin kedua bagi saya, amat tidak masuk akal bahkan mustahil. Mengapa? Jika kemerdekaan Palestina harus disertai dengan pengusiran jutaan penduduk Yahudi di sana, maka kita sama saja mendukung kebiadaban.
Bagaimanapun kita harus sadar bahwa kini generasi yang mendiami Israel bukan lagi generasi perang masa lampau. Tetapi generasi baru yang menghendaki kenyamanan dan stabilitas. Jika kita menghapus Israel dengan mengusir Yahudi dari tanah Palestina merdeka, maka tindakan kita sama kejamnya, karena kita mengusir penduduk dari kediamannya dan menghapus hak anak-anak Yahudi di sana untuk berkembang dan hidup dengan damai.
Pengusiran Yahudi bukan solusi, penghapusan Israel juga bukan solusi terbaik. Oleh karena itu, saat ini harus bisa legowo dan berbesar hati untuk kedamaian bangsa Israel dan Palestina. Solusi terbaik adalah memberikan kemerdekaan Palestina, baik di wilayah Gaza dan wilayah Tepi Barat, serta membiarkan Israel tetap eksis. Tanpa kemerdekaan Palestina, mustahil kedamaian dua bangsa tercapai.
Saya mengacu pada pandangan Gus Dur, bahwa solusi terbaik untuk meredakan konflik adalah terus menjalin dialog dan hubungan kerjasama antar dua bangsa. Gus Dur menilai bahwa memang sudah menjadi hak komunitas Yahudi untuk mendirikan sebuah negara, namun kesalahannya adalah, mereka merampas tanah milik orang lain.
“Adalah hak Bangsa Israel untuk mendirikan sebuah negara. Salahnya ialah mereka mendirikan negara dengan cara merampas tanah Palestina,” ungkap Gus Dur (Ngopi bareng.id, 20/05/2021).
Karena itu, jika konflik ingin diselesaikan dengan baik. Dengan demikian, solusinya adalah mengakui eksistensi kedua bangsa tersebut sebagai sebuah negara yang sah dan merdeka.
Jika keduanya saling menghormati dan bekerjasama tanpa ada rasa saling mencurigai, maka perlahan tapi pasti, konflik antara Israel dan Palestina akan segera berakhir, dan agama tidak akan diseret-seret dalam konflik ini.
Referensi
https://www.britannica.com/topic/Zionism diakses pada 27 April 2022, pukul 17.45 WIB.
https://www.gatra.com/news-512480-internasional-palestina-israel-isu-agama-atau-bukan-ini-penjelasan-ahli.html diakses pada 27 April 2022, pukul 16.43 WIB.
https://www.google.com/m.antaranews.com/amp/berita/2846505/sambut-hari-internasional-al-quds-iran-serukan-pembebasan-palestina Diakses pada 28 April 2022, pukul 12.33 WIB.
Hitti, Phillips K, 1970, Dunia Arab: Sejarah Ringkas, Bandung: Sumur Bandung.
https://news.detik.com/opini/d-2100145/palestina-vs-israel-benarkah-konflik-agama diakses pada 27 April 2022, pukul 16.30 WIB.
https://www.ngopibareng.id/read/dua-hal-pesan-gus-dur-soal-konflik-palestina-israel/amp diakses pada 27 April 2022 pukul 18.03 WIB.
https://m.republika.co.id/amp/qe2jdn320 diakses pada 27 April 2022, pukul 17.11 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com