Jum’at dua minggu lalu 26 April, Obrolan Kebebasan (OrKes) seri keempat kembali hadir menyapa mahasiswa dan kalangan praktisi di Anggon Universitas Paramadina. OrKes kali ini bersama Yuna Farhan dari International Budget Partnership (IBP) Indonesia. Yuna membawakan disertasinya di Universitas Sydney Australia, berjudul Politics of Budgeting in Indonesia. Acara selepas hujan deras sebelum acara dihadiri oleh sekitar dua puluh orang peserta.
Ingatan saya yang menjadi moderator acara seri kali ini, kemudian seperti kembali ke masa lalu yaitu saat saya menghadiri pelatihan Reformasi Keuangan Publik di John F Kennedy School of Government di Universitas Harvard, Cambridge AS. Ringkasan cerita juga telah dipublikasikan oleh laman SuaraKebebasan.id. Bila saat itu, saya lebih banyak belajar dari contoh pengalaman reformasi anggaran dari pelbagai negara. Pada OrKes dua minggu lalu, saya belajar dari pengalaman negeri sendiri.
Pembicara kali ini Bung Yuna Farhan mengawali materinya dengan pernyataan bahwa riset anggaran di Indonesia lebih fokus pada aspek administrasi dan teknokrasi. Sementara, masalah anggaran belum (banyak) dilihat sebagai arena politik. Lebih jauh, Yuna menandaskan bahwa anggaran sebagai instrumen pihak eksekutif mengatasi kombinasi rumit yang seringkali dihadapi oleh negara dengan sistem politik terus mencari keseimbangan.
Seperti dinyatakan ilmuwan politik, Indonesia mengadopsi sistem multipartai presidensial yang menghadapi kombinasi yang sulit berupa fragmentasi politik dan dual legitimasi.
Selanjutnya melalui tiga kasus yang pembicara bahas guna menjelaskan argumentasinya tentang anggaran sebagai instrumen eksekutif mengatasi kombinasi yang sulit, yaitu: pertama, Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Time-line dari penyertaan modal negara terjadi pada tahun pertama dan kedua dari Kabinet Indonesia Kerja. PMN utamanya menyorot perhatian pada publik pada pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN-Perubahan 2015 dan APBN 2016.
Pembicara menemukan simpulan yang menarik bahwa tidak ada perbedaan ideologi dan kebijakan antar partai politik menyangkut pilihan pemerintah melakukan penyertaan modal pemerintah terhadap BUMN-BUMN guna menjamin misi pembangunan infrastruktur terus dapat berlangsung.
Kedua, dana optimalisasi bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terutama dibagikan bagi mereka yang menjadi anggota Badan Anggaran, Ketua Fraksi, serta pimpinan fraksi. Bagi pembicara dari IBP ini, praktik dana optimalisasi dapat tetap berjalan dengan lancar tanpa kegaduhan yang berarti, kecuali pada beberapa kasus anggota DPR yang didakwa korupsi, disebabkan adanya saling pengertian dan manfaat bersama antara para pemain anggaran di DPR dan pihak eksekutif.
Bagi anggota DPR yang terhormat, dana optimalisasi artinya dana bagi konsitituen, fasilitas tambahan, dan rente ekonomi. Sementara bagi eksekutif, instrumen pembahasan anggaran dapat terus berjalan dan menjadi saluran untuk menambah anggaran. Perilaku birokrat serupa ini telah lama menjadi bahasan dalam literatur pilihan publik (public choice), dimana birokrasi mempunya tendensi untuk terus menambah anggaran tanpa peduli darimana asal tambahan tersebut berasal.
Ketiga, dana aspirasi anggota dewan yang muncul pertama kali setelah diusulkan oleh fraksi Partai Golkar DPR hasil pemilihan umum tahun 2009, yang memperoleh dukungan dari Sekretariat Gabungan Koalisi Pemerintah. Pembicara kemudian menambahkan dana aspirasi muncul seiring perubahan sistem pemilihan umum dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka, sehingga orientasi politik mengarah pada personalisasi calon kandidat ketimbang partai politik.
Apa yang bisa dipelajari dari contoh ketiga ini? Bahwa dana aspirasi tidak terkait dengan afiliasi partai, melainkan lebih didominasi oleh kepentingan individu anggota Dewan.
Setelah pembicara selesai membawakan makalahnya, audiens dengan antusias menanyakan dan memberikan pernyataan dalam sesi tanya jawab. Kurang lebih terdapat sepuluh orang penanya yang memberikan pertanyaan maupun pernyataan. Satu statement yang paling saya ingat tidak lain dari penting dan mendesaknya untuk kembali melakukan kerja politik mendidik masyarakat/pemilih agar sadar dan mau mengawal haknya sebagai pembayar pajak. Untuk alasan inilah, maka transparansi dan akuntabilitas anggaran menjadi hal yang sangat penting dan ingin kita wujudkan.

Muhamad Iksan (Iksan) adalah Pendiri dan Presiden Youth Freedom Network (YFN), Indonesia. YFN berulang tahun pertama pada 28 Oktober 2010, bertempatan dengan hari Sumpah Pemuda. Iksan, juga berprofesi sebagai seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel menyangkut isu Kebijakan Publik. (public policy). Sebelum bergabung dengan Paramadina sejak 2012, Iksan berkarier sebagai pialang saham di perusahaan Sekuritas BUMN. Ia memiliki passion untuk mempromosikan gagasan ekonomi pasar, penguatan masyarakat sipil, serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia.