Olimpiade Tokyo dan Seksisme Netizen Indonesia Pada Perempuan

    651

    Pesta olahraga dunia kali ini nampak luar biasa. Betapa tidak, ketika beberapa negara berusaha menghindari setiap acara besar di negerinya untuk menghindari mobilitas massa dan juga penyebaran virus varian baru, tetapi Pemerintah Jepang memutuskan untuk melanjutkan olimpiade di negerinya.

    Namun, bukan penyelenggaraan olimpiade atau korban infeksi virus yang menjadi sorotan menarik dan menggelitik penulis. Tetapi, komentar-komentar menarik dari netizen Indonesia yang menggerakkan penulis untuk membuat artikel ini, khususnya komentar mereka terhadap atlet perempuan.

    Belakangan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendapat aduan dari seseorang yang menggugat acara olimpiade yang menampilkan olahraga voli pantai. Pasalnya, menurut pendapat dia, olahraga voli pantai tidak pantas untuk ditayangkan karena dianggap mengumbar aurat (Tempo.co, 4/8/2021).

    Pengaduan tersebut tentu saja mendapatkan respon dan tanggapan beraneka ragam dari netizen. Bagi penulis, hal yang cukup aneh dan sangat tidak objektif. Kenapa atlet perempuan yang selalu dipermasalahkan mengenai masalah aurat? Kenapa tidak olahraga yang dimainkan oleh atlet laki-laki?

    Kita tahu bahwa olahraga renang, tinju, dan gulat seperti di WWE atau MMA tidak menutup aurat. Tayangan olahraga renang di televisi yang dilakoni oleh atlet laki-laki pun hingga detik ini tidak ada yang memprotes sebagai “pengumbaran aurat”.

    Sebelumnya, media berita swasta di Indonesia juga memberitakan sisi eksotis tubuh atlet perempuan yang dimuat dalam konten mereka. Dengan judul yang mengumbar sisi vulgar tubuh atlet perempuan, berita ini langsung trending dan banyak dikomentari oleh pembaca khususnya netizen laki-laki dengan komentar yang tak pantas (Aji.or.id, 30/7/2021).

    *****

    Sebagai laki-laki, tentu saja hal-hal yang berkaitan dengan perempuan tentu menarik. Tetapi, menjadikan perempuan sebagai objek seksual pembaca dan mengekspos keindahan tubuhnya sedetail mungkin, jelas tidak beretika.

    Perlu dicatat, dalam ranah jurnalistik dewasa, konten yang disajikan bukan mengekspos dan mengeksploitasi keindahan tubuh tetapi lebih kepada personal dirinya. Jika para pembaca pernah membaca majalah dewasa, mungkin foto-foto “menantang” hanya sedikit saja, sisanya adalah konten artikel hiburan, edukasi, dan gosip.

    Pernah saya berdiskusi dengan seorang teman yang memang sudah “sepuh” dalam dunia jurnalistik. Saya menyodorkan sebuah foto vulgar dan bertanya kepadanya, “Apa foto ini bernilai seni atau pornografi?” Dengan enteng dia berpendapat, “Jika foto tersebut terlihat jelas fokus ke bagian intim maka itu pornografi. Tetapi jika memotret keseluruhan posenya dan letak ruangnya, maka itu seni,” katanya.

     

    Stereotipe Seksisme di Media Sosial

    Seksisme dan misogini adalah pola pemikiran yang satu rumpun yang dihasilkan dari konstruksi budaya patriarki. Pola pemikiran ini menganggap bahwa jenis kelamin yang satu lebih superior ketimbang jenis kelamin lainnya (Kuncoro, 2017).

    Persoalan mengenai gender rasanya masih menjadi hal yang tabu di masyarakat akar rumput. Ya, meskipun tidak separah dua abad yang lampau, namun gagasan-gagasan mengenai kesetaraan gender tetap bukan pembicaraan yang pas untuk didiskusikan pada ruang publik. Ketika seorang istri berbicara mengenai kehormatan dan haknya misalnya, tidak sedikit para suami menjustifikasi mereka sebagai istri durhaka bahkan menghina istri dengan perkataan yang tak pantas.

    Tetapi, diskursus mengenai gender dan soal-soal perempuan, menjadi begitu bebas dibicarakan di media sosial. Saking bebasnya, banyak laki-laki yang mencemooh gagasan ini pula secara terang-terangan.

    Misalnya, persoalan dalam RUU PKS mengenai pemerkosaan istri pasca menikah, beberapa netizen laki-laki mencemooh dengan berkomentar, “Kalau istri meminta uang bulanan, apakah itu termasuk perampokan?” Komentar semacam ini akan banyak kita temui di media sosial jika kita mencari dengan keyword perkosaan istri.

    Selain itu, banyak pula komentar seksis dan diskriminatif yang dilayangkan oleh netizen laki-laki kepada kaum perempuan di media sosial. Lihat saja misalnya, berbagai komentar di berbagai akun media sosial terhadap sebagian influencer perempuan.

    Dari sini bisa kita lihat, perlakukan netizen laki-laki terhadap perempuan di media sosial lebih melihat kecantikan dan kemolekan tubuh. Yang paling ekstrim, beberapa komentar laki-laki mengatakan mereka sebagai perempuan dianggap durhaka dan berdosa karena membuka aurat mereka.

    *****

    Sekelumit komentar bernada seksisme yang arahkan kepada para atlet perempuan dari luar negeri bagaikan fenomena puncak gunung es. Sebab, komentar seksis dari netizen laki-laki juga kerap diarahkan para perempuan Indonesia bahkan mirisnya, komentar seksis dan melecehkan tersebut seolah dianggap wajar oleh para netizen (Tirto.id, 21/1/2021).

    Lalu, bagaimana pemecahannya?

    Jawabannya belum diketahui oleh penulis, karena bagaimanapun komentar seksis yang bernada pelecehan terhadap perempuan merupakan cerminan dan fakta bahwa kebudayaan kita masih patriarkis. Jika kita berharap pemerintah membuat polisi moral dan undang-undang pelecehan di media sosial pun rasanya mustahil. Yang paling logis adalah, perempuan dan laki-laki “yang tercerahkan” agar terus mengkampanyekan kesetaraan gender.

    Baik di media sosial, lingkungan, sekolah, dan pergaulan dalam berbagai ranah dan cakupan gagasan tentang keadilan gender. Selain itu, penghapusan stigma negatif terhadap perempuan harus terus dikumandangkan dan diperjuangkan.

     

    Referensi

    Jurnal

    Kuncoro, Joko. 2007. “Diskriminasi dan Prasangka”. Jurnal Psikologi Proyeksi. Vol.2 No.2.

     

    Internet

    https://aji.or.id/read/press-release/1245/kompaks-kecam-media-siber-yang-lakukan-objektifikasi-perempuan-dan-seksisme-dalam-berita.html Diakses pada 5 Agustus 2021, pukul 20.45 WIB.

    https://seleb.tempo.co/read/1490745/kpi-dapat-aduan-tayangan-bola-voli-olimpiade-pengadu-minta-bajunya-diblur Diakses pada 5 Agustus 2021, pukul 21.03 WIB.

    https://tirto.id/apa-itu-seksisme-dan-contohnya-dalam-kehidupan-sehari-hari-f9si Diakses pada 5 Agustus 2021, pukul 21.53 WIB.