Nisrina: Anak Muda Belum Melek HA

805

Akhir-akhir ini isu hak asasi manusia kembali mengemuka dengan beberapa tragedi kekerasan seksual yang mendorong masyarakat meminta hukuman berat terhadap pelaku, termasuk hukuman mati. Beberapa saat sebelumnya, publik di Indonesia juga dihebohkan oleh simposium nasional yang diadakan oleh Kementerian Politik, Hukum, dan HAM yang mengangkat fakta tentang pembantaian massal 1965 dan pertama kali mendengarkan kesaksian korban kekerasan yang selama ini disingkirkan. Pro dan kontra terkait hukuman mati dan kepedulian terkait korban pembantaian 1965 membuat isu HAM kembali diperbincangkan. Bagaimana masyarakat di Indoensia, terutama kalangan generasi muda bersikap dalam isu tentang HAM? Kami mewawancarai Nisrina Nadhifah Rahman, yang merupakan aktivis kampanye HAM di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS). Pengalamannya dalam menginisiasi dan mengorganisasi acara-acara anak muda memberikan perspektif kondisi kekinian dalam kaitannya anak muda dan HAM. Editor SuaraKebebasan.org, Rofi Uddarojat mewawancarainya untuk anda.

Bisa dijelaskan awal keterlibatannya dalam aktivitas HAM?

Sebenernya agak unik sih karena aku dari dulu SD, SMP, hingga homescholling, jadi memang punya banyak waktu buat meng-explore hal-hal yang mungkin gak banyak di dalami remaja-remaja SMP-SMA. Jadi waktu umur 15 tahun, aku jadi relawan di lembaga perempuan yang namanya Yayasan Jurnal Perempuan, nah di yayasan itu memang focus bekerja untuk isu-isu perempuan khususnya untuk isu HAM, demokrasi dan feminism. Sejak disana, awalnya memang relawan contributor aja, contributor untuk jurnalnya sama untuk bikin majalah anak muda namanya “change magazine”. Nah di Change itu, diasahlah kemampuan kita untuk bener-bener kritis sama persoalan sosial terutama yang berkaitan dengan HAM, Feminisme dan demokrasi. Nah kemudian tahun 2011 ternyata Majalah ini berkembang menjadi Youth Center. Youth Center yang mana kita memang bertemu dengan anak-anak muda dengan sedikit konseling dan sedikit banyak memfasilitasi mereka untuk bikin beberapa gerakan ataupun aktivisme-aktivisme terkait soal hak asasi manusia.

Itu dari interaksi, kalau dari bacaan dan tokoh?

Dulu sih aku memang banyak denger cerita soal munir dari mamah-ku mungkin karena pas munir lagi happening-happening-nya lah. Saat aku masih kecil mamahku masih up-to-date tentang isu-sosial dan dia banyak cerita juga bahwa ada aktivis buruh, pengacara, namanya Munir Said Thalib walaupun kemudian akhirnya pas tahun 2004 dia meninggal. Dan pas tahun 2004 itu aku baru berumur 10 tahun jadi juga bingung siapa sih bapak-bapak ini. Tapi akhirnya karena banyak diceritain oleh orang tua, termasuk ngenalin aku ke beberapa bukunya Pramoedya Ananya Toer, terus tentang beberapa sejarah-sejarah yang kental kaitannya dengan HAM di Indonesia, akhirnya mungkin ini adalah hal yang nggak ada habisnya gitu untuk di eksplore.

Sebagai Aktivis HAM, apa yang sekarang sedang diperjuangkan?

Kalo dari sisi kebijakan adalah agar indonesia meratifikasi beberapa konvensi yang belum diratifikasi seperti “second protocol”-nya konveksi hak sosial dan politik. Juga kebijakan diskriminatif lain seperti misalnya UU Kebudayaan, UU Ormas, dan UU ITE juga banyak mengundang masalah dan mengekang kebebasan bereksperesi, juga UU pornografi. KontraS sendiri banyak aktif untuk mendampingi korban-korban penyiksaan yang notabene pelakunya banyak dari pihak kepolisian. Banyak polisi yang nggak tahu bahwa indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan, tapi di banyak level kepolisian itu tidak diterapkan.

Banyak anak muda yang tidak paham tentang HAM. Pendapat kamu?

Secara umum yang aku lihat sebenarnya banyak anak muda yang menyadari bahwa negara kita ada yang salah, ada sesuatu yang harus diubah. Walaupun nggak langsung berkaitan ke HAM. Misalnya mereka melihat persoalan pembunuhan terhadap aktivis tambang, ya mereka melihatnya itu pembunuhan, kejam, dan seterusnya. Tapi kepekaan mereka atau daya kritis mereka gitu belum sepenuhnya langsung bisa menarik ke “eh berarti ini ada hak asasi manusia yang dirampas nih” gitu.

Berarti kesadaran HAM belum sepenuhnya terbangun di anak muda?

Belum. Dan itu menurutku juga bukan semata-mata soal anak muda itu sendiri, tapi juga ada banyak faktor penyebab misalnya keluarga yang belum banyak terbuka untuk berdiskusitentang isu-isu HAM, misalnya seperti ada masjid atau gereja yang dilarang dibangun, belum banyak keluarga yang berani membuka persoalan-persoalan seperti itu di rumah. Misalnya di sekolah, tidak semua guru-guru terbuka untuk diskusi bebas, mungkin ada beberapa guru progresif tapi nggak semua punya kesempatan untuk dapat guru yang bisa diajak diskusi secara terbuka. Hal-hal seperti itu sebenarnya menjadi faktor utama yang membuat anak muda akhirnya memendam rasa ingin tahu mereka, daya kritis mereka, dan akhirnya malah nggak pengen tahu sama sekali.

Banyak anak muda, misalnya, mendukung hukuman mati. Kenapa ya?

Ya itu tadi. Mereka peka dengan persoalan di sekitar mereka. Misalkan bahaya narkoba atau pembunuhan atau terorisme tapi mereka cuma bisa sampai pada pemahaman bahwa itu salah dan harus dihukum tanpa mengkaji lebih dalam apa masalah sebenarnya. Bukan masalah seberapa kejam hukuman itu tapi seberapa itu korektif pelaku tersebut dan mendukung proses kemasyarakatan.

Sama dengan isu pembantaian massal 1965 misalnya, karena kita sudah terlanjur selama berpuluh-puluh tahun menerima sejarah versi negara. Di sekolah sejarah yang diajarkan versi orde baru, sejarah yang menyatakan PKI itu jahat dan membuat NKRI pecah belah dan harus dibumi hanguskan segala macem, bukan fakta bahwa memang adanya keberagaman dan perbedaan ideologi dan itu wajar aja terjadi dimana-mana.

Saya sendiri melihat ada beberapa anak muda yang rajin ikut aksi kamisan. Apakah itu bisa disebut sebagai kemajuan untuk anak muda?

Iya, belakangan ini sedang banyak-banyaknya anak SMA dan kampus yang mulai ikut aksi kamisan, dan rata-rata apabila ditanya mereka tahu dari internet. Tetapi lagi-lagi tetap sangat ekslusif sih dalam artian masih kampus-kampus yang  erat kaitannya dengan sejarah misalnya Trisakti dan Atmajaya, tapi misalnya kampus-kampus besar justru jarang juga atau bahkan nggak ada. Ini masih benar-benar segmented. Aksi kamisan yang sudah 8 tahun dan campaign online-nya itu baru 3 tahun terakhir sejak media sosial booming dan membantu membuat audience-nya jadi semakin beragam untuk datang ke aksi kamisan. Awalnya, tahun-tahun pertama sampai tahun kelima kamisan isinya cuman korban-korban pelanggaran HAM saja. Remaja, keluarga, dan sekarang mungkin baru anak-anak muda yang baru tahu akhirnya mengenal aksi kamisan setiap hari kamis jam 4 sampai jam 5 di depan istana. Mereka coba datang “ah penasaran nih”, bawa kamera, bawa HP untuk foto sama ibu-ibu korban dan bapak-bapak korban.

Setelah itu apakah ada dari mereka yang terlibat lebih jauh dalam aktivitas HAM?

Ada beberapa sih yang mencoba buat tugas sekolah tentang sejarah misalnya, lalu mengangkat tragedi 1998 dengan membuat video dokumenter. Ada anak kuliah juga yang skripsinya mengangkat tentang tragedi 1998 dan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya. Sehingga mereka intens datang ke aksi kamisan. Tapi kalau ikut ke dalam gerakannya sih bisa dibilang jarang, makanya yang aku bilang tadi, hanya ada beberapa segmented groups di kampus-kampus, yang punya keterkaitan atau memang yang kita ajak secara khusus di luar aksi kamisan. Misalnya ke kampus dengan buat workshop atau roadshow, lalu mereka jadi peserta acara. Dengan cara itulah kita “meracuni” pemikiran mereka untuk involve lebih dalam di gerakan HAM.

Ada strategi khusus untuk menarik anak muda ke isu HAM?

Sejauh ini strateginya mau nggak mau jadi online-base ya. Anak muda jumlahnya banyak banget, dan sangat sporadis, sangat beragam juga. Akhirnya kita benar-benar berlomba-lomba buat kemasan campaign HAM yang bisa diterima sama anak muda lewat media online. Nah pertayaannya kemudian adalah gimana cara menjaring anak-anak muda yang nggak terlalu aktif di media online, misalnya anak-anak sub-urban yang nggak punya gadget canggih. Mau nggak mau kita harus menjemput bola, misalnya datang ke kelompok mereka, bikin diskusi, bikin nonton film bareng, atau bikin karya stensil moral yang sedekat mungkin dengan keseharian mereka. Dan itu pun butuh kerja keras banget, karena anak muda jumlahnya seperlima penduduk indonesia jadi kebayang betapa banyaknya yang harus disamperin.