Berdasarkan data BPS bulan Februari tahun 2016, tingkat pengangguran terbuka Indonesia sebesar 5,5%. Sementara tingkat kemiskinan mencapai 10,86% di bulan Maret 2016. Hutang luar negeri yang tercatat hingga bulan Juli 2016 sebesar 3.359,82 triliun. Pertumbuhan ekonomi hingga Triwulan II tahun 2016 sebesar 5.175%. Lalu apa salah satu isu kebijakan yang masih sempat diurusi oleh negara? Ranah privat dan sekitar selangkangan!
Membingungkan sekaligus menjijikkan, bukan? Bukan sekali ini kita terhenyak ketika membaca berita dari tanah air. Yang masih hangat adalah soal permohonan untuk meluaskan pasal asusila dalam KUHP. Intinya, ada usulan untuk menggugat pidana terhadap homoseks dan kumpul kebo. Sangat tidak masuk akal, ketika kita menghadapi masalah nyata seperti yang data BPS angkat di atas, tapi negara masih sempat merecoki ruang pribadi warga negaranya.
Syukurnya masih ada pihak-pihak yang waras dan punya argumen yang masuk akal, seperti Komnas Perempuan yang menolak homoseks dan kumpul kebo dipidana. Ketika para pihak yang terlibat adalah orang dewasa dan dilakukan adalah suka sama suka, seharusnya bukan ranah negara untuk turut campur dalam kehidupan pribadi warganya.
Mempidanakan sesuatu yang berada di ranah pribadi dan bersifat moral seharusnya bukan jadi urusan, apalagi prioritas negara. Negara seharusnya fokus pada hal-hal mendasar, seperti pelayanan kebutuhan dasar warganya. Bukankah itu yang selalu digarisbawahi dan didengungkan di konstitusi kita? Tapi mengapa bahkan Pasal 28 yang jelas-jelas melindungi hak asasi manusia, termasuk ranah pribadi setiap individu warga negara, malah jelas-jelas semakin rentan dilanggar oleh negara dan para pihak yang berpikir dangkal dalam memahami relasi antarmanusia.
Bahwa demokrasi memungkinkan berbagai pihak untuk berkontribusi menyuarakan pendapat dalam proses kebijakan memang tidak dapat dipungkiri. Namun, ketika negara bersepakat dalam kesesatan untuk meloloskan, mensahkan, melembagakan, dan mensosialisasikan usulan yang jelas melanggar HAM sebagai bagian dari kebijakan publik, tentunya kita yang masih awas dan waras akan kebebasan individu dan HAM tidak boleh diam.
Sangat menguatirkan ketika demokrasi selalu diasosiasikan dengan keputusan mayoritas dan absolut berlaku untuk semua. Apalagi saat negara dan pihak-pihak tertentu yang merasa paling bermoral dan lebih baik berhak dengan mudah memojokkan dan menghukum orang-orang yang dianggap tidak ‘sama’ atau orang-orang yang bebas melakukan apapun dalam ‘ranah privatnya’ atas pilihan sadar dan karena kepentingan pribadinya.
Ketika negara bisa permisif dan toleran terhadap para pihak yang anarkis dan jelas-jelas berani menyuarakan kebencian dan menyulut konflik, ketika negara tunduk pada pihak-pihak yang berkuasa dan bermodal besar namun mengorbankan keadilan dan mengenyampingkan penegakan hukum, dan ketika negara berkoalisi jahat dengan pihak-pihak yang merasa paling ‘bermoral’ untuk melanggar HAM kelompok minoritas atau sekedar ‘gatal’ untuk ikut campur urusan pribadi warganya, harus ada yang berteriak lantang dan bergerak untuk melawan kesesatan seperti ini. Siapa?
Ya kita semua, siapa saja, individu maupun kelompok, tua muda, kaya miskin, kita semua yang masih punya nalar sehat dan sadar bahwa sekali kita membiarkan hal ini terjadi, berarti kita akan terus melanggengkan pelanggaran terhadap kebebasan individu kita. Bahwa ada batas kebebasan kita terhadap kebebasan orang lain ya.
Namun, ketika jelas hal-hal yang merupakan urusan pribadi antar individu dan bukan ranah publik apalagi hukum mau dicampuradukkan demi intervensi negara, seharusnya kita yang harus menuntut negara dan pihak-pihak yang ‘buta hukum dan HAM’ karena telah melanggar HAM dan tentunya konstitusi kita sendiri.

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org